Showing posts with label konsultan skripsi jogja. Show all posts
Showing posts with label konsultan skripsi jogja. Show all posts

Thursday, November 14, 2019

Pengertian saham (skripsi dan tesis)

Saham merupakan salah satu instrumen pasar modal yang paling diminati investor karena memberikan tingkat keuntungan yang menarik. Menurut Sapto (2006:31) saham adalah “…surat berharga yang merupakan instrument bukti kepemilikan atau penyertaan dari individu atau institusi dalam suatu perusahaan.” Menurut Husnan Suad (2008:29) saham merupakan “…secarik kertas yang menunjukan hak pemodal yaitu pihak yang memiliki kertas tersebut untuk memperoleh bagian dari prospek atau kekayaan organisasi yang menerbitkan sekuritas tersebut, dan berbagai kondisi yang memungkinkan pemodal tersebut menjalankan haknya.” Selanjutnya, menurut Fahmi (2012:81) saham merupakan “…kertas yang tercantum dengan jelas nilai nominal, nama perusahaan, dan diikuti dengan hak dan kewajiban yang telah dijelaskan kepada setiap pemegangnya.” Berdasarkan pengertian para ahli di atas maka dapat disimpulkan saham merupakan surat bukti tanda kepemilikan suatu perusahaan yang didalamnya tercantum nilai nominal, nama perusahaan, dan diikuti dengan hak dan kewajiban yang dijelaskan kepada setiap pemegangnya

Struktur Kepemilikan (skripsi dan tesis)

Struktur kepemilikan oleh beberapa peneliti dipercaya mampu mempengaruhi jalannya perusahaan yang pada akhirnya berpengaruh pada kinerja perusahaan dalam mencapai tujuan perusahaan yaitu memaksimalisasi nilai perusahaan. Berikut penulis mengemukakan beberapa definisi kepemilikan saham yang dinyatakan oleh para ahli diantaranya: Menurut Sugiarto (2009:59) struktur kepemilikan adalah “ …perbandingan jumlah saham yang dimiliki oleh orang dalam (insider) dengan jumlah saham yang dimiliki oleh investor.” Menurut I Made Sudana (2011) struktur kepemilikan adalah “ …pemisahan antara pemilik perusahaan dan manajer perusahaan, dimana pemilik atau pemegang saham adalah pihak yang menyertakan modal kedalam perusahaan sedangkan manajer adalah pihak yang ditunjuk pemilik dan diberi kewenangan mengambil keputusan dalam mengelola perusahaan.” 
Menurut Kharis Raharjo (2016) dalam Rezky (2017) struktur kepemilikan adalah “…proporsi kepemilikan manajemen, institusional, dan kepemilikan publik, dan strukur kepemilkan merupakan suatu mekanisme untuk mengurangi konflik antara manajemen dengan pemegang saham.” Dari definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa struktur kepemilikan adalah informasi tentang pemisahan antara kepemilikan sahamm perusahaan yang terdiri dari pemegang saham selaku pihak yang menyertakan modal serta manajer selaku pihak yang ditunjuk oleh pemilik saham unutk mengambil keputusan dalam mengelola perusahaan untuk mempertanggungjawabkan kinerja perusahaan kepada pemilik saham. Berdasarkan penelitian Siregar dan Utama, struktur kepemilikan saham dibedakan menjadi dua, yaitu struktur kepemilikan manajerial dan struktur kepemilikan institusional.
 Menurut Yana dan Wati dalam Bernandhi (2013) Struktur kepemilikan manajerial adalah “…tingkat kepemilikan saham oleh pihak manajemen yang secara aktif terlibat di dalam pengambilan keputusan. Pengukurannya dilihat dari besarnya proporsi saham yang dimiliki manajemen pada akhir tahun yang disajikan dalam bentuk presentase.” Born dalam Efendi (2013), menyatakan bahwa kepemilikan manajerial adalah “…presentase kepemilikan saham yang dimiliki oleh direksi, manajer dan dewan komisaris.” Menurut Imanta dan Satwiko (2011:68) definisi kepemilikan manajerial adalah “…kepemilikan saham oleh pihak manajer atau dengan kata lain manajer juga sekaligus sebagai pemegang saham.” Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kepemilikan majaerial adalah proprsi saham yang dimiliki oleh manajer yang dinyatakan dalam presentase sehingga manajer sekaligus sebagai pemegang saham. Menurut Efendi (2013) adanya kepemilikan manajemen dalam sebuah perusahaan akan menimbulkan dugaan yang menarik bahwa nilai perusahaan akan mengalami peningkatan sebagai akibat dari kepemilikan manajemen yang meningkat dalam perusahaan tersebut. Hal ini sangat potensial dalam mengurangi alokasi sumber daya yang tidak menguntungkan, yang pada gilirannya akan meningkatkan nilai perusahaan. Cho dan Mark dalam Efendi (2013) menyatakan hubungan struktur kepemilikan manajerial dan nilai perusahaan merupakan hubungan non-monotonik. Hubungan nonmonotonik antara kepemilikan manajerial dan nilai perusahaan disebabkan adanya insentif yang dimiliki oleh manajer dan mereka cenderung berusaha untuk melakukan pensejajaran kepentingan dengan outside owners dengan cara meningkatkan kepemilikan saham mereka jika nilai perusahaan yang berasal dari investasi mengalami peningkatan. Menurut Nabela (2012:2) kepemilikan institusional adalah “…proporsi saham yang dimiliki oleh institusi pada akhir tahun yang diukur dengan presentase.” Nuraina (2012:6) menjelaskan bahwa kepemilikan institusional adalah “…presentase saham perusahaan yang dimiliki institusi atau lembaga (perusahaan asuransi, dana pensiunan, atau perusahaan lain).” Braley dan Marcus dalam Fandini (2013) mendefinisikan bahwa kepemilikan institusional adalah “…beberapa saham yang dipegang langsung oleh para investor individu tetapi proporsi yang besar dimiliki oleh lembaga keuangan seperti reksa dana, dana pension, dan perusahaan asuransi.” Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kepemilikan institusional merupaka proporsi saham yang dimiliki pihak institusi seperti perusahaan asuransi, dana pension, atau perusahaan lain yang diukur dengan presentase pada akhir tahun. Braley dan Marcus dalam Fandini (2013) menyatakan bahwa kepemilikan institusional memiliki peranan yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi antara mnajet dan pemegang saham. 
Beberapa kelebihan dari struktur kepemilikan saham institusional disebutkan oleh Permanasari (2010) sebagai berikut : 
1. Memiliki profesionalisme dalam menganalisis informasi sehingga dapat menguji keandalan informasi. 
2. Memiliki motivasi yang kuat untuk melaksanakan pengawasan lebih ketat atas aktivitas yang terjadi di dalam perusahaan. 
Nuraina (2012:12) menjelaskan bahwa kepemilikan institusional memiliki arti penting dalam memonitor manajemen karena dengan adanya kepemilikan institusional maka akan mendorong peningkatan pengawasan terhadap operasional perusahaan yang lebih optimal. Hal ini disebabkan investor institusional terlibat dalam pengambilan keputusan yang strategis sehingga tidak mudah percaya terhadap tindakan manajemen laba. Monitoring tersebut tentunya akan menjamin kemakmuran untuk pemegang saham, pengaruh kepemilikan institusional sebagai agen pengawas ditekan melalui investasi mereka yang cukup besar dalam pasar modal

Asimetri Informasi (skripsi dan tesis)

Menurut Jogiyanto (2010:387) asimetri informasi adalah “…kondisi yang menunujkan sebagian investor mempunyai informasi dan yang lainnya tidak memiliki.” Sejalan dengan pengertian di atas, Suwarjono (2014:584) menyatakan bahwa asimetri adalah “…kondisi dimana manajemen sebagai pihak yang lebih menguasai informasi dibandingkan investor/kreditur.” Selanjutnya Mamduh M. Hanafi (2014:217) mengemukakan bahwa asimetri adalah dimana “…pihak-pihak yang berkaitan dengan perusahaan tidak mempunyai informasi yang sama mengenai prospek dan risiko perusahaan, sedangkan pihak tertentu mempunyai informasi lebih baik dibandingkan dengan pihak luar.” Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa asimetri informasi merupakan suatu keadaan dimana manajer memiliki akses informasi atas prospek perusahaan yang tidak dimiliki oleh pihak luar perusahaan. Asimetri informasi terjadi karena manajer lebih superior dalam menguasai informasi dibandingkan pihak lain (pemilik atau pemegang saham). Dengan asumsi bahwa individu- individu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri sendiri, maka dengan informasi asimetri yang dimilikinya akan mendorong agent untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui principal sebagai pemilik. 
Sehingga dengan adanya asimetri antara manajemen (agent) dengan pemilik (principal) memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan manajemen laba (earnings management) dalam rangka meningkatkan utilitasnya. Fleksibilitas manajemen untuk memanajemenkan laba dapat dikurangi dengan menyediakan informasi yang lebih berkualitas bagi pihak luar. Kualitas laporan keuangan akan mencerminkan tingkat manajemen laba. Menurut Dai et al.,(2013) dalam Andrie dan Nur Cahyonowati (2015) terjadinya asimetri informasi di suatu perusahaan dapat mempengaruhi tingkat praktik manajemen laba yang dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan. Kecenderungan manajemen mengotak-ngatik besarnya laba perusahaan demi tujuan untuk memaksimalkan nilai agar terlihat kondisi perusahaan tersebut baik. Manajemen laba merupakan praktik yag digunakan perusahaan untuk mencapai laba sesuai keinginan dari perusahaan agar terlihat baik. Kualitas laba yang baik merupakan cerminan dari kondisi suatu perusahaan. 

Agency Theory (skripsi dan tesis)

Bagi perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) terlebih untuk perusahaan yang telah terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI), seringkali terjadi pemisahan antara pengelola perusahaan dengan pemilik perusahaan. Disamping itu, untuk perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas, tanggung jawab pemilik hanya terbatas pada modal yang disetorkan. Artinya, apabila perusahaan mengalami kebangkrutan, maka modal sendiri (ekuitas) yang telah disetorkan oleh para pemilik perusahaan mungkin sekali akan hilang, tetapi kekayaan pribadi pemilik tidak akan diikutsertakan untuk menutup kerugian tersebut (Husnan dan Pudjiastuti; 2006). Jensen dan Meckling (1976) dalam Efendi (2013) menjelaskan hubungan keagenan didalam teori agensi (Agency Theory) bahwa perusahaan merupakan kumpulan kontrak (nexus of contract) antara pemilik sumber daya ekonomis (principal) dan manajer (agent) yang mengurus penggunaan dan pengendalian sumber daya tersebut. Agency Theory memiliki asumsi bahwa masing-masing individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara principal dan agent. Pemegang saham sebagai pihak principal mengadakan kontrak untuk memaksimumkan kesejahteraan dirinya dengan profitabilitas yang selalu meningkat. Manajer sebagai agent termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologinya antara lain dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak kompensasi (Sugiarto; 2009).
 Sedangkan menurut Halim (2005) masalah keagenan muncul karena adanya perilaku oportunistik dari agent, yaitu perilaku manajemen untuk memaksimumkan kesejahteraanya sendiri yang berlawanan dengan kepentingan principal. Manajer memiliki dorongan untuk memilih dan menerapkan metode akuntansi yang dapat memperlihatkan kinerjanya yang baik untuk tujuan mendapatkan bonus dari principal. Warsono (2009) menjelaskan bahwa terdapat cara-cara langsung yang digunakan pemegang saham untuk memonitor manajemen perusahaan sehingga membantu memecahkan konflik keagenan. Pertama, pemegang saham mempunyai hak untuk mempengaruhi cara perusahan dijalankan melalui voting dalam rapat umum pemegang saham. Hak voting pemegang saham merupakan bagian penting dari aset keuangan mereka. Kedua, pemegang saham melakukan resolusi dimana suatu kelompok pemegang saham secara kolektif melakukan negosiasi terhadap manajer (mewakili perusahaan) berkenaan dengan isu-isu yang tidak memuaskan mereka. Pemegang saham juga mempunyai opsi divestasi (menjual saham mereka), divestasi mereprestasikan suatu kegagalan dari perusahaan untuk mempertahankan investor, dimana divestasi diakibatkan oleh ketidakpuasan pemegang saham atas aktivitas manajer. Manajemen laba didasari oleh adanya Agency Theory yang menyatakan bahwa setiap individu cenderung untuk memaksimalkan utilitasnya. Konsep Agency Theory adalah hubungan atau kontrak antara principal dan agent. Principal memperkerjakan agen untuk melakukan tugas dalam rangka memenuhi kepentingan principal. Eisenhardt (1989) dalam Darmawati (2005) berpendapat bahwa teori keagenan mampu mengatasi dua permasalahan dalam hubungan keagenan. Pertama, adalah masalah keagenan yang timbul ketika (a) adanya keinginan dan tujuan yang bertolak belakang antara principal dan agen, dan (b) kesulitan principal dalam memverifikasi apa yang sesungguhnya sedang dikerjakan manajemen. Kedua, permasalahan pembagian resiko akibat perbedaan sikap principal dan agent

Pengaruh Koneksi Politik Terhadap Tax Avoidance (skripsi dan tesis)

Koneksi politik yang dimiliki membuat perusahaan memperoleh perlakuan khusus, seperti kemudahan dalam memperoleh pinjaman modal, resiko pemeriksaan pajak rendah yang membuat perusahaan makin agresif dalam menerapkan tax planning yang berakibat pada menurunnya transparansi laporan keuangan. Kehilangan investor akibat penurunan transparansi laporan keuangan dapat digantikan dengan peran pemerintah sebagai penyandang dana utama. Selain itu, perusahaan yang memiliki koneksi politik dengan pemerintah yang sedang berkuasa terbukti memiliki tingkat tax avoidance yang signifikan tinggi jika dibandingkan dengan perusahaan sejenis yang tidak memiliki koneksi politik (Francis et al.,2012; Kim dan Zhang, 2013; Leuz dan Gee, 2013; Christensen et al., 2014). Penelitian yang dilakukan Adhikari (2006), Christensen et al. (2013) dan Hardianti (2014) menyimpulkan koneksi politik berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance. Sedangkan penelitian yang dilakukan Nugroho (2011) dan Fatharani (2012) menyimpulkan koneksi politik tidak berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance.

Koneksi Politik (skripsi dan tesis)

Faccio (2006) menyatakan sebuah perusahaan dikatakan memiliki koneksi politik jika paling kurang satu pemegang saham utama (orang yang memiliki setidaknya 10 persen hak suara berdasarkan jumlah saham yang dimiliki) atau satu dari pimpinan (CEO, presiden direktur, wakil presiden direktur, kepala bagian atau sekretaris) merupakan anggota parlemen, menteri, atau memiliki hubungan dekat dengan tokoh atau partai politik. 
Gomez dan Jomo (1997); Johnson dan Mitton (2003) dalam Faccio (2006) menjelaskan hubungan dekat yang dimaksud meliputi : 
1. Perusahaan yang top eksekutif atau pemegang saham utama memiliki hubungan pertemanan dengan kepala negara, menteri atau anggota parlemen. 
2. Koneksi dengan pejabat yang pernah menjabat sebagai kepala negara atau perdana menteri pada periode sebelumnya. 
3. Perusahaan yang top eksekutif atau pemegang saham utama terlibat secara langsung dalam dunia politik. Koneksi politik akan semakin nampak di negara yang memiliki tingkat korupsi tinggi. Walaupun pada kenyataannya korupsi memiliki efek negatif terhadap perekonomian dan tingkat pertumbuhan suatu negara, hal yang sama tidak berlaku bagi koneksi politik yang dianggap bermanfaat oleh banyak perusahaan (Faccio, 2009).
 Indonesia berada di peringkat 107 dari 175 negara pada tahun 2014 berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dinilai oleh Lembaga Transparasi Internasional. Perusahaan dengan koneksi politik mampu melakukan tax planning yang lebih agresif karena adanya perlindungan dari pemerintah yang berdampak pada menurunnya transparansi laporan keuangan. Kualitas laba dalam laporan keuangan oleh perusahaan dengan koneksi politik secara signifikan lebih buruk dibandingkan perusahaan sejenis yang tidak memiliki koneksi politik. Keburaman laporan keuangan membawa dampak negatif bagi perusahaan seperti kebutuhan modal yang tinggi karena kurangnya investor atau resiko terjadinya pemeriksaan. Namun perusahaan dengan koneksi politik tampak tidak peduli dengan konsekuensi yang terjadi, salah satunya karena hubungan politik yang dimiliki mampu mengurangi atau bahkan menghilangkan konsekuensi negatif yang ada. (Chaney et al. 2007 ; Kim dan Zhang, 2013). 
Sulitnya mendapat investor sebagai penyandang dana tidak menjadi masalah besar bagi perusahaan. Koneksi politik membuat perusahaan mudah mendapatkan pinjaman dengan batas kredit yang bisa diperpanjang. Hal ini terjadi karena pemberi pinjaman juga memperoleh dukungan ekonomi langsung dari pemerintah dimana perusahaan terhubung serta adanya jaminan dari pemerintah bahwa peminjam maupun pemberi pinjaman yang terhubung secara politik akan diberikan dana bailout saat keduanya mengalami krisis keuangan (Faccio et al. 2006).

Karakter Eksekutif (skripsi dan tesis)

Setiap perusahaan memiliki seorang pemimpin yang menduduki posisi teratas baik sebagai top eksekutif maupun top manajer, dimana setiap pimpinan memiliki karakter-karakter tertentu untuk memberikan arahan dalam menjalankan kegiatan usaha sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai perusahaan (Pranata, 2014). Setiap individu pimpinan perusahaan sebagai eksekutif memiliki dua karakteristik yaitu risk taker dan risk averse. Eksekutif yang bersifat risk taker akan lebih berani mengambil resiko dalam berbisnis karena adanya paham bahwa semakin tinggi resiko yang diambil akan semakin tinggi keuntungan yang diperoleh.
 Banyaknya keuntungan yang ditawarkan seperti kekayaan melimpah, penghasilan tinggi, kenaikan jabatan dan pemberian wewenang atau kekuasaan menjadi motivasi tersendiri bagi para eksekutif menjadi semakin bersifat risk taker (Low, 2009; MacCrimmon dan Wehrung, 1990). Berkebalikan dengan risk taker, eksekutif yang bersifat risk averse akan lebih memilih untuk menghindari segala bentuk kesempatan yang berpotensi menimbulkan resiko dan lebih suka menahan sebagian besar aset yang dimiliki dalam investasi yang relatif aman untuk menghindari pendanaan dari utang, ketidakpastian jumlah return dan sebagainya. Saat manajer dengan karakter risk averse diberikan kesempatan untuk memilih investasi, karakter ini akan cenderung memilih investasi jauh dibawah resiko yang dapat ditolerir perusahaan (Low, 2009; MacCrimmon dan Wehrung, 1990). Untuk mengetahui jenis karakter dan menilai seberapa berani eksekutif perusahaan mengambil resiko dapat dilakukan dengan melihat risiko perusahaan (corporate risk). Paligorova (2010) mengukur corporate risk menggunakan persamaan standar deviasi dari EBITDA (earning before income tax, depreciation and amortization) dibagi dengan total aset perusahaan. Tingginya rendahnya corporate risk akan menunjukkan kecondongan karakter eksekutif, risk taking atau risk averse

Tax avoidance (skripsi dan tesis)

Tax avoidance adalah alat untuk melakukan tax saving dengan mengalihkan sumber daya yang seharusnya diperuntukkan untuk negara kepada para pemegang saham yang mampu menaikkan nilai after-tax perusahaan. Wang (2010) mengatakan agar jumlah pendapatan yang sebenarnya tidak diketahui oleh otoritas pajak manajer seringkali mencoba untuk menutupi atau mengaburkan informasi dalam laporan keuangan yang mengarah pada tax avoidance. Menurut Zain (2007) tax avoidance merupakan contoh dari tax planning yang dapat dilakukan melalui proses pengelolaan laba untuk mengurangi pengenaan pajak yang tidak diinginkan perusahaan sehingga perusahaan dapat melakukan tax saving. Untuk menjaga tax avoidance agar tetap sesuai dengan peraturan yang berlaku, perusahaan memerlukan ahli keuangan yang paham mengenai aturan perpajakan secara menyeluruh sehingga mampu mencari celah agar terhindar dari pengenaan pajak yang lebih tinggi atau ekstremnya sama sekali tidak dikenakan pajak.
Menurut Mortenson dalam Zain (2008) tax avoidance berhubungan dengan proses pengelolaan dalam perusahaan untuk meminimalkan atau menghilangkan beban pajak dengan tetap melihat akibat pajak yang ditimbulkan bagi perusahaan. Secara keseluruhan tax avoidance adalah cara atau usaha wajib pajak mengurangi, menghindari, meminimalkan atau meringankan beban pajak dengan tetap patuh pada undangundang pajak. Tax avoidance bukan tindakan melanggar hukum, melainkan tindakan mengambil keuntungan dari aturan yang ada untuk mengecilkan kewajiban pajak. Pokok utama dari tax avoidance adalah mengurangi kewajiban pajak dengan menghilangkan konsekuensi ekonomi yang ditujukan kepada setiap individu yang telah memenuhi syarat sebagai wajib pajak. Sifat tax avoidance yang sah menurut hukum membuat perusahaan tidak dapat dijatuhi sanksi langsung, sanksi dapat diberikan apabila undang- undang telah secara jelas mengatur batasan-batasan dalam tax avoidance (Prebble dan Lincoln, 2012). 
Pengukuran tax avoidance dalam penelitian ini mengikuti Dyreng et al. (2008) dan Budiman (2012) menggunakan CETR (Cash Effective Tax Rate) dengan membagi cash tax paid dengan pretax income. Dyreng (2008) menyatakan tidak seperti ETR (Effective Tax Rate), CETR tidak terpengaruh oleh perubahan estimasi seperti valuation allowance dan tax cushion. Nilai cash tax paid dapat dilihat pada laporan arus kas dari aktivitas operasi. Semakin besar nilai CETR mengindikasikan perusahaan tidak melakukan tax avoidance

Pengaruh Koneksi Politik Terhadap Tax Aggressiveness (skripsi dan tesis)

Perusahaan berkoneksi politik akan memiliki hubungan yang dekat dengan pemerintah. Koneksi politik yang dimiliki membuat perusahaan memperoleh perlakukan istimewa, seperti kemudahaan dalam memperolehh pinjaman modal, resiko pemerikasaan pajak yang rendah tang membuat perusahaan makin agresif dalam menetapkan tax planning yang berakibat pada menurunya transparasi laporan keuangan. Senada dengan Kim dan Zhang (2014) menyatakan dampak positif dari perusahaan memiliki koneksi politik yaitu mendapatkan perlakuan khusus dari pemerintah dalam hal perpajakan seperti menghindari audit pajak. Perusahaan tidak takut untuk melakukan perencanaan pajak di karenakan pemeriksaan pajak yang rendah. Hubungan politik yang dimiliki perusahaan mampu megurangi atau bahkan menghilangkan konsekuensi negative yang ada. 
Dalam penelitian ini untuk mengetahui ada atau tudaknya koneksi politik yang ada pada perusahaan, perusahaan tersebut harus memiliki minimal 1 dari 3 kategori, kategorinya adalah sebagai berikut : 
1. Perusahaan merupakan BUMN atau BUMD yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia 
2. Direktur, komisaris, dewan direksi dan komite audit di perusahaan merupakan politisi yang berafiliasi dengan partai politik
 3. Direktur, komisaris, dewan direksi dan komite audit di perusahaan merupakan penjabat pemerintah dalam periode saat ini maupun periode sebelumnya. 
Beberapa penelitian sebelumnya mencoba mengkaitkan koneksi politik dengan tax aggressiveness. Penelitian yang di lakukan Kim dan Zhang (2014) menghubungkan pengaruh koneksi politik terhadap tindakan pajak agresif menemukan bahwa perusahaan yang mempunyai koneksi politik lebih memiliki agresivitas pajak dibanding perusahaan yang tidak mempunyai koneksi politik. Menurut Butje dan Tjondo (2014), koneksi politik berpengaruh signifikan terhadap penghindaran pajak. Sementara Marfu’ah (2015) menyimpulkan koneksi politk tidak berpengaruh terhadap penghindaran pajak

Koneksi politik (skripsi dan tesis)

Koneksi politik merupakan suatu kondisi di mana terjalin suatu hubungan anatara pihak tertentu dengan pihak yang memiliki kepentingan dalam politik yang digunakan untuk mencapai suatu hal tertentu yang dapat menguntungkan kedua belah pihak (Purwanti dan Sugiyarti 2017). Perusahaan berkoneksi politik adalah perusahaan dengan cara tertentu mempunyai ikatan secara politik atau mengusahakan adanya kedekatan dengan politisi atau pemerintah. Koneksi politik di percaya sebagai sumber yang sangat berharga bagi banyak perusahaan (Leuz and Gee 2006). Perusahaan yang melakukan koneksi politik adalah perusahaan yang mempunyai hubungan istemewa dengan pihak pemerintah (Pronoto dan Widagdo 2016).
 Hubungan istimewa terhadap pihak pemerintah bisa diartikan sebagai perusahaan milik pemerintah, bisa dalam bentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Hubungan istimewa antara pemilik perusahaan dengan pihak pemerintah tentu pemilik perusahaan merupakan adalah tokoh politik terkemuka yang dimana merupakan anggota dewan baik itu pemerintah pusat maupun daerah atau sebagai bagian dari anggota partai politik. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Purwanto (2011) menyebutkan bahwa perusahaan yang mempunyai koneksi politik atau mengusahakan adanya kedekatan dengan politisi atau pemerintah. Faccio (2006) mennyatakan sebuah perusahaan di anggap memiliki koneksi politik jika setidaknya salah satu pemegang saham yang besar (seseorang yang mengendalikan setidaknya 10% dari total saham dengan hak suara) atau salah satu pimpinan perusahaan (CEO, presiden, wakil presiden, ketua atau sekretaris) adalah anggota parlemen, menteri, atau yang berkaitan erat dengan politikusnatas atau partai politik. Sedangkan menurut Gomez dan Jomo (2009), perusahaan yang mempunyai koneksi politik merupakan perusahaan atau konglomerat yang mempunyai hubungan dekat dengan pemerintah. Perusahaan yang mempunyai hubungan dekat dengan pemerintah dapat diartikan sebagai perusahaan milik pemerintah, yaitu perusahaan yang berbentuk BUMN dan BUMD. Koneksi politik juga dapat di lihat dari ada atau tidaknya kepemilikan lansung oleh pemerintah pada perusahaan (Adhikari et al., 2006). 
Sedangkan Fuccio (2006) juga menjelaskan hubungan dekat yang dimiliki perusahaan berkoneksi politik yang dimaksud meliputi:
 1. Perusahaan yang top eksekutif atau pemegang saham utama memiliki hubungan pertemanan dengan kepala negara, menteri atau anggota parlemen. 
2. Koneksi dengan penjabat yang pernah menjabat sebagai kepala negara atau perdana menteri pada periode sebelumnya. 
3. Perusahaan yang top eksekutif atau pemegang saham utama terlibat secara lansung kedalam dunia politik..
 

Pengertian Tax aggressiveness (skripsi dan tesis)

 Tax aggressiveness adalah suatu tindakan yang ditunjukan untuk menurunkan laba kena pajak melalui perencanaan pajak (tax planning) (Frank, Lynch, dan Rego 2009). Tax aggressiveness ini dilakukan untuk memenuhi kewajiban perpajakan yang tidak melanggar ketentuan perpajakan (lawfull). Menurut Mardiasmo (2016), penghindaran pajak adalah suatu usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang yang ada. Penghindaran Pajak adalah upaya mengefesiensikan beban pajak dengan cara menghindari pengenaan pajak dengan mengarahkanya pada transaksi yang bukan objek pajak (Pohan, 2016:11). Rinaldi dan Cheisviyanny (2015) menyimpulkan bahwa penghindaran pajak adalah segala kegiatan yang menghambat dalam pemungutan pajak sehingga mengakibatkan berkurangnya penerimaan kas negara. Senada dengan Suyanti dan Dahlan (2015;12) penghindaran pajak adalah perlawanan dilakukan melalui berbagai cara yang masih dapat dibenarkan secara hukum, memanfaatkan celah dan kelemahan perundangan. Penggunaan kata tax aggressiveness dapat juga dikatakan sebagai istilah penghindaran pajak ( tax avoidance) Chen (2010)

Pengertian pajak (skripsi dan tesis)

Pangertian pajak sesuai UndangUndang Nomor 16 tahun 2009 tentang perubahan ke empat atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada pasal 1 ayat 1 (2013:2) berbunyi “pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara lansung dan di gunakan untuk keperluan Negara dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pengertian pajak menurut Prof. Dr MJH. Smeets dalam bukunya De Over Heidsmiddelen Van Indonesia (terjemahan) dalam Waluyo (2010:2) menyatakan Pajak adalah prestasi kepada pihak pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum dan dapat dipaksakanya, tanpa adanya kontra prestasi yang dapat ditunjukan dalam hal yang individual: maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah

Teori Agensi (skripsi dan tesis)

 Pandangan agency theory melihat penyebab munculnya potensi konflik yang mempengaruhi kualitas informasi laporan keuangan karena adanya pemisahan antara pihak principal dan agent. Jansen and Mackling (1976) menjelaskan hubungan keagenan merupakan “suatu kontrak dimana satu atau lebih orang (principal) yang memerintah orang lain (agent) untuk membuat keputusan yang terbaik bagi prisipal”. Sehingga teori agensi ini dapat digunakan sebagai dasar untuk memahami isu pengaruh koneksi politik terhadap tax aggresiveness. Teori ini mengakibatkan adanya asimetri informasi antara manajemen dengan pemegang saham. Prinsip utama teori agansi ini menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang (agensi) yaitu manajer entitas bisnis. Hubungan keagenan adalah suatu kontrak dimana seseorang atau lebih (prisipal) melibatkan orang lain (agen) untuk melakukan beberapa layanan atas nama mereka yang melibatkan mendelegasikan sebagai kewenangan pengambilan keputusan agen (Victory 2016). 
Hubungan antara teori keagenan dengan penelitian ini menjelaskan bahwa adanya perbedaan kepentingan yang timbul antara pemilik perusahaan dan manajemen perusahaan termasuk perusahaanperusahaan pemerintah yang telah listing di BEI. Konflik kepentingan yang timbul dari  teori keagenan ini akan mempengaruhi tax aggressiveness. Di satu sisi, manajemen mempunyai pandangan bahwa manajemen harus mendapatkan laba yang tinggi dengan menghasilkan beban pajak yang serendahrendahnya, disisi lain pihak pemerintak (fiskus) yang merangkap sebagai pembuat regulasi perpajakan berharap akan adanya pemasukan sebesar-besarnya dari sektor pajak. Perbedaan sudut pandang tersebut tentunya akan menyebabkan konflik diantara pemerintah sebagai pemilik perusahaan dengan pihak manajemen perusahaan 

Thursday, November 7, 2019

Minat Beli (Intention to Buy) (skripsi dan tesis)

Minat beli merupakan kecenderungan konsumen untuk membeli suatu merek atau mengambil tindakan yang berhubungan dengan pembelian yang diukur dengan tingkat kemungkinan konsumen melakukan pembelian (Assael, 2001:75). Menurut Peter dan Olson (2005:149) intention adalah sebuah rencana untuk terlibat dalam suatu perilaku khusus guna mencapai tujuan. Assael (2001:53) mendefinisikan minat beli (intention to buy) merupakan perilaku yang muncul sebagai respon terhadap obyek, atau juga merupakan minat pembelian yang menunjukan keinginan pelanggan untuk melakukan pembelian. Minat beli menurut Assael (2001:53) juga merupakan perilaku yang muncul sebagai respon terhadap obyek, atau juga merupakan minat pembelian ulang yang menunjukan keinginan pelanggan untuk melakukan pembelian ulang. Berdasarkan berbagai definisi mengenai minat beli yang telah dijelaskan berdasarkan teori yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa minat beli adalah kecendrungan sikap respontif konsumen terhadap suatu produk atau obyek yang menunjukan keinginan pelanggan untuk melakukan pembelian.

Citra Merek (skripsi dan tesis)

 Kotler dan Armstrong (2004:164) mendefinisikan Brand Image adalah himpunan keyakinan konsumen mengenai berbagai merek. Brand images yaitu deskripsi mengenai asosiasi dan keyakinan konsumen terhadap suatu merek tertentu. Sebuah produk dapat lahir dari sebuah merek jika produk itu menurut persepsi konsumen mempunyai keunggulan fungsi yang kemudian menimbulkan asosiasi dan citra yang diinginkan konsumen dan membangkitkan pengalaman tertentu saat konsumen berinteraksi dengannya. Berdasarkan definisi yang telah dijelaskan maka penulis dapat simpulkan bahwa citra merek merupakan gambaran hasil keyakinan konsumen berupa keunggulan maupun kekurangan dari sebuah merek yang pernah digunakan dan kemudian menjadikan citra merek timbul yang dideskripsikan oleh konsumen tersebut baik maupun buruknya.

Perluasan Merek (skripsi dan tesis)

Perluasan merek adalah pemakaian merek yang sudah ada dalam suatu kelas produk untuk memasuki kelas produk yang lain (Aaker, 1991:7). Sedangkan menurut Kotler (2000:443) perluasan merek (brand extension) didefiniskan sebagai usaha apapun yang dilakukan untuk menggunakan sebuah nama merek yang sudah berhasil untuk meluncurkan produk baru atau produk yang dimodifikasi dalam kategori baru. Sehingga perusahaan tidak perlu membuat merek baru lagi untuk produk tersebut. Mengetahui beberapa definisi diatas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa perlausan merek adalah suatu strategi mengembangkan produk dengan kelas baru dengan menggunakan merek yang sudah mapan. 

Konsep sistem pertanggungjawaban pidana menurut RUU KUHP (skripsi dan tesis)

 Konsep rancangan KUHP Baru disusun dengan bertolak pada tiga materi/substansi/masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu: 
1. masalah tindak pidana; 
2. masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana; dan 
3. masalah pidana dan pemidanaan. 
Pokok pemikiran tentang “Pertanggungjawaban Pidana” yaitu: 
1. bertolak dari pokok pemikiran keseimbangan mondualistik, konsep memandang bahwa asas kesalahan (asas culpabilitas) merupakan pasangan dari asas legalitas yang harus dirumuskan secara eksplisit dalam undang-undang. Oleh karena itu ditegaskan dalam konsep (Pasal 35), bahwa “asas tiada pidana tanpa kesahan merupakan asas yang sangat fundamental dalam mempertanggungjawabkan pembuat yang telah melakukan tindak pidana”.
 2. walaupun prinsipnya bertolak dari ”pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan” (Liability based on fault), namun dalam hal-hal tertentu konsep juga memberikan kemungkinan adanya “pertanggungjawaban yang ketat” (Strict liability) dalam Pasal 37, dan “pertanggungjawaban pengganti” (Vicarious liability) dalam Pasal 36 (Konsep 1993). Perumusan dalam pasal 35 Konsep 2004 “ tidak seorang pun dapat dipidana tanpa kesalahan”, dan dalam Pasal-Pasal 37 Konsep 2005 dan 2006/2007 perumusannya menjadi “tidak seorang pun yang melakukan tindak pidana dipidana tanpa kesalahan” (Barda Nawawi Arief, 2009: 83).
 Untuk lebih jelas dikutipkan pasal – pasal yang bersangkutan sebagai berikut: Pasal 37 Sebagai perkecualian dari Pasal 35, undang-undang dapat menentukan bahwa untuk tindak pidana tertentu pembuat dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana, tanpa memperhatikan lebih hauh kesalahan pembuat dalam melakukan tindak pidana tersebut. Pasal 36 Dalam hal-hal tertentu, orang juga bertanggungjawab atau perbuatan orang lain jika ditentukan demikian oleh peraturan perundang-undangan. (kedua pasal diatas dalam Konsep 2004-2005 digabung dalam perumusan asas culpabalitas). 
3. pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan terutama dibatasi pada perbuatan yang dilakukan dengan sengaja (dolus). Dapat dipidananya delik culpa hanya bersifat perkecualian (eksepsional) apabila ditentukan secara tegas oleh undang-undang. Sedangkan pertanggungjawaban terhadap akibat-akibat tertentu dari suatu tindak pidana yang oleh undang-undang diperberat ancaman pidananya, hanya dikenakan kepada terdakwa apabila ia sepatutnya sudah dapat menduga kemungkinan terjadinya akibat itu atau apabila sekurang- kurangnya ada kealpaan. Jadi konsep tidak menganut doktrin “Erfolgshaftung” (doktrin “menanggung akibat”) secara murni, tetapi tetap dioreintasikan pada asas kesalahan. Untuk jelasnya lihat kutipan Pasal 40 (1993).
4. dalam hal ada “kesesatan” (error), baik “error facti” maupun “error iuris”, Konsep berpendirian bahwa pada prinsipnya si pembuat tidak dapat dipertanggungjawabkan dan oleh karena itu tidak dipidana. Namun, demikian apabila kesesatannya itu (keyakinannya yang keliru itu) patut dicelakan/dipersalahkan kepadanya, maka sipembuat tetap dapat dipidana. Pendirian Konsep yang demikian dirumuskan pada Pasal 41 (1993) dan hal ini berbeda dengan Doktrin tradisional yang menyatakan, bahwa “error facti non nocet” dan “error iuris nocet”. 
5. walaupun pada prinsipnya seseorang sudah dapat dipidana apabila telah terbukti melakukan tindak pidana dan kesalahannya, namun dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu konsep memberi kewenangan kepada hakim untuk memberi maaf atau pengampunan kepada si pembuat tanpa menjatuhkan pidana atau tindakan apapun. Pedoman mengenai “Recheterlijk- pardon” ini dituangkan dalam Pasal ayat (2) sebagai bagian dari “pedoman pemidanaan” sebagai berikut: pasal 52 ayat (2) Jika hakim memandang perlu, sehubungan dengan ringannya perbuatan, keadaan pribadi dari pembuat atau keadaan pada waktu dilakukannya perbuatan atau yang terjadi kemudian, hakim dapat memberi maaf kepada si pembuat dengan tidak menjatuhkan pidana atau tindakan apapun, dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. 
6. walaupun pada prinsipnya seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atau tidak dipidana karena adanya alasan pengahapusan pidana, namun Konsep memberi kewenangan/kemungkinan kepada hakim untuk tidak memberlakukan alasan penghapusan pidana tertentu berdasarkan asas “culpa in causa”, yaitu apabila terdakwa sendiri patut dicela/dipersalahkan menyebabkan terjadinya keadaan atau situasi darurat yang sebenarnya dapat menjadi dasar adanya alasan penghapusan pidana tersebut. 
Pedoman mengenai hal ini dituangkan dalam pasal 53 konsep RKUHP yang perumusannya sebagai berikut: seseorang yang melakukan tindak pidana tidak dibebaskan dari pidana berdasar alasan penghapus pidana, apabila dia sendiri patut dicela atau dipersalahkan sebagai penyebab terjadinya keadaan yang dapat menjadi alasan penghapus pidana tersebut. Yang menjadi konsep 2004; dan pasal 42 dalam konsep 2005 s/d 2007. pasal 52 ayat (2) konsep 2005 dan 2006/2007. dalam pasal 35 konsep 2004 dan pasal 39 konsep 2005 dan 2006/2007. Kemudian dalam konsep Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum pidana (RKUHP) Tahun 2008 mengenai perkembangan sistem pertanggungjawaban pidana telah disusun pula mengenai pertanggungjawaban pidana bagi korporasi dimana korporasi dalam pasal (47) konsep RKUHP adalah merupakan subjek tindak pidana. Dalam hal ini untuk melengkapi hal-hal mengenai pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh korporasi dijelaskan pada beberapa pasal yaitu: pasal 48 RKUHP Tindak pidana dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai mkedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasar hubungan yang lain, dalam lingkup korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama. pasal 49 RKUHP Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. pasal 50 RKUHP Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut masuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan. 
pasal 51 RKUHP Pertanggungjawaban pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi. pasal 52 ayat (1) Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana terhadap terhadap suatu korporasi. 
pasal 52 ayat 2 Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan dalam putusan hakim. 
pasal 53 Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk dan atau atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasab tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan kepada korporasi. Mengenai penjelasan terhadap pertanggungjawaban pidana dalam RKUHP untuk subjek hukum pidana yaitu korprasi menurut para ahli hukum belum ada menuju ke literatur karena sistem perkembangan itu hanya merupakan penambahan bahwa korporasi dalam RKUHP sebagai subjek hukum pidana. Pertanggungjawaban dalam ayat (3) Pasal 35 Konsep 2004 dikenal dengan “Vicarious Liability” atau “pertanggungjawaban pengganti“ yaitu pertanggungjawaban seseorang tanpa kesalahan pribadi, bertanggungjawab atas tindakan orang lain (Dwidja Prayitno, 2004: 100) maksudnya seseorang dapat dituntut sebagai pelaku tindak pidana, walaupun Ia tidak melakukan tindak pidana tersebut. Pertanggungjawaban pengganti ini lah kiranya yang dapat dipergunakan untuk menuntut industri atau korporasi yang melakukan tindak pidana untuk dipertanggungjawabkan di Pengadilan.

Kesalahan Dalam Pidana (skripsi dan tesis)

 Kesalahan sebagai suatu perbuatan yang menimbulkan adanya akibat hukum. Tidak semata-mata karena kesengajaan, tetapi kesalahan dapat pula terjadi akibat adanya kelalaian. Sehingga akan menyebabkan seseorang harus mempertanggungjawabkan secara hukum, sebagaimana peraturan atau perundang-undangan yang mengaturnya. 
a. Kesengajaan arti sengaja tidak ada didefenisikan di dalam KUHP. 
Petunjuk untuk dapat mengatakan arti kesengajaan dapat diambil dari M.v.T (Memorie Van Toelicthing) yang mengartikan kesengajaan sebagai menghendaki apa yang dilakukan orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan juga mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukannya (Sudarto, 1990: 102). Terhadap pengertian perbuatan pidana, kesengajaan dapat dibedakan dengan tiga corak sikap batin yang menunjukkan atau bentuk dari kesengajaan itu, yang antara lain sebagai berikut :
 1. Kesengajaan sebagai maksud untuk mencapai tujuan (dolus directus). Pada corak ini kesengajaan merupakan bentuk yang biasa dan sederhana. Sengaja sebagimana yang dimaksud bahwa apabila si pembuat menghendaki akibat perbuatannya. Perbuatan si pembuat bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang bentuk kesengajaan inilah yang paling mudah untuk dibuktikan.
 2. Kesengajaan dengan sadar kepastian, yang di dalam hal ini perbuatan mempunyai dua akibat yang memang dituju si pembuat, dan akibat yang memang diinginkan tetapi merupakan suatu keharusan untuk mencapai tujuan itu, selanjutnya akibat perbuatannya itupun dapat dipastikan terjadi.
 3. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis). Dalam hal ini, ada keadaan tertentu yang semula mungkin terjadi kemudian benar-benar terjadi. Sengaja dengan kemungkinan terjadi, Hezewinkel Suringa yaitu Jika pembuat tetap melakukan yang dikehendakinya walaupun ada suatu kemungkinan akibat lain yang sama sekali tidak diinginkan (Andi Hamzah, 1994: 119). 
b. Kelalaian 
Menurut M.v.T, kealfaan adalah keadaan sedemikian membahayakan keamanan orang atau barang atau mendatangkan kerugian terhadap seseorang yang sedemikan besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi, sehingga undang-undang juga bertindak terhadap kekurang hati-hatian, sikap sembrono atau teledor (Sudarto, 1990: 124). Beberapa ahli menyebutkan syarat untuk adanya kelalaian, sebagai berikut :
 1. Van Hamel menyebutkan bahwa kelalaian mempunyai dua syarat yaitu : a. tidak mengadakan penduga-penduga sebagaimana diharuskan dalam hukum; b. tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum. 
2. Simons mengatakan pada umumnya kelalaian (culpa) mempunyai dua unsur :
 a. tidak ada penghati-hati; 
b. dapat diduga akibatnya. (Sudarto, 1990: 125) 
Umumnya setiap orang berpikir dan berbuat secara sadar, sedangkan pada delik culpa kesadaran si pembuat tidak berlangsung secara tepat. 
Berdasarkan kesadaran si pembuat tersebut undang-undang membagi kelalaian menjadi: 
1. Kelalaian yang disadari (bewuste schuld), yaitu pembuat menyadari tentang apa yang dilakukan beserta akibatnya, akan tetapi ia percaya dan berharap bahwa akibatnya tidak terjadi; 
2. Kelalaian yang tidak disadari (onbewuste schuld), yaitu pembuat melakukan sesuatu yang tidak menyadari kemungkinan akan timbulnya suatu akibat, padahal seharusnya ia dapat menduga sebelumnya (Andi Hamzah, 1994: 121). 
Kealfaan merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan dari kesengajaan, akan tetapi bukannya kesengajaan yang ringan. Kealfaan seseorang ditentukan secara normatif dan tidak secara fisik, sehingga tidak mungkin diketahui seseorang dengan sungguh-sungguh jika tidak ada faktor penyebab utama seseorang melakukan kesalahan. Supaya dapat menentukan adanya kealfaan, maka harus dilihat peristiwa demi peristiwa. Oleh karena itu, yang menentukan apakah seseorang itu telah melakukan kealfaan atau tidak adalah seorang Hakim. Selanjutnya untuk menentukan kekurang hati-hatian seseorang, digunakan ukuran apakah ia ada kewajiban untuk berbuat lain. Kewajiban ini dapat diambil dari ketentuan undang-undang atau dari luar undang-undang, dengan memperhatikan segala keadaan apakah yang harus dilakukan. Apabila seseorang tidak melakukan apa yang harus dilakukannya maka orang tersebut dapat dikatakan alpa

Kemampuan Bertanggungjawab Dalam Pidana (skripsi dan tesis)

Seseorang dapat dikenakan tindak pidana bilamana orang tersebut dinyatakan mampu untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukannya. Berkaitan dengan hal ini (Moeljatno, 1983: 164) menyatakan bahwa, untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus mempunyai : 
1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk, yang sesuai dengan hukum, dan perbuatan melawan hukum. Kemampuan yang dimaksud lebih menitikberatkan pada faktor akal (intellectual factor), yaitu dapat membedakan antara yang diperbolehkan dan yang tidak;
 2. Kemampuan yang menentukan kehendak menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya suatu perbuatan. Kemampuan ini lebih merupakan faktor perasaan atau kehendak (volitional factor), yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakuknya dengan keinsyafan atas nama yang diperbolehkan dan mana yang tidak. 
Sudarto (1990: 94) secara negatif menyebutkan mengenai pengertian kemampuan bertanggungjawab sebagi berikut
: 1. Dalam hal tidak ada kebebesan untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa yang diperintahkan atau yang dilarang undang-undang. 
2. Dalam hal ia ada dalam suatu keadaan yang sedemikan rupa, sehingga tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat perbuatannya. 
Sebagai dasar patutlah dikatakan bahwa orang yang normal jiwanya itu mampu bertanggungjawab, ia mampu untuk memilih dengan pikiran atau perasaannya. Didalam perbuatan pidana hanya dapat menuju atau dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan demikian juga dapat langusng dijatuhi hukuman atu pidana sebagimanan yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini ia mempunyai kesahan sebab asas dalam pertanggungjawaban pidana adalah bahwa tidak ada pidana jika tidak ada kesalahan (Moeljatno, 1983: 153).

Pengertian Pertanggungjawaban pidana (skripsi dan tesis)

Pada saat membahas mengenai strafbaar feit telah dijelaskan bahwa perbuatan atau suatu tindak pidana dipisahkan antara actus reus dengan mens rea, dalam pengertian adanya tindak pidana masih dilihat dari segi feitlijk yang dilarang oleh undang-undang dan pertanggungjawaban pidana dari pelaku. Sekalipun suatu tindak pidana telah terjadi, untuk dapat menjatuhkan pidana kapada si pelaku, masih harus diperhatikan apakah terhadap si pelaku dapat dipertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukannya. Masalah pertanggungjawaban pidana sangat berhubungan dengan kesalahan. Dalam pengertian apakah pada waktu melakukan tindak pidana itu si pelaku mempunyai kesalahan. Pertanggungjawaban adalah sesuatu yang dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan (Roeslan Saleh, 1983: 75), mengatakan pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pidana atau tidak pidana. Untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dipertanggungjawabkan. Hal tersebut berarti harus diperhatikan terlebih dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pembuat suatu tindak pidana. Sebaliknya apakah pertanggungjawaban itu diminta atau tidak, ini merupakan persoalan kedua, yang tentunya pada kebijaksanaan pihak yang berkepentingan untuk memutuskan apakah itu merasa perlu atau tidak perlu menurut pertanggungjawaban tersebut. 
Van Hammel (R.O Siahaan: 2009) merumuskan pengertian kemampuan untuk bertanggungjawab (secara hukum) adalah sebagai keadaan kematangan dan kenormalan psikis yang mencakup tiga kemampuan lainnya, yaitu: 
1. memahami arah tujuan faktual dari tindakan sendiri;
 2. kesadaran bahwa tindakan tersebut secara sosial dilarang;
 3. adanya kehendak bebas berkenaan dengan tindakan tersebut.
 Menurut Van Hattum, dengan memperhatikan pasal 44 ayat (1) KUHP, adanya keadaan-keadaan biologis dari seseorang yaitu pertumbuhan yang tidak sempurna atau gangguan penyakit yang dapat menjadi penyebab dari pertumbuhan orang tersebut secara tidak normal atau yang dapat menghambat orang tersebut dapat menentukan kehendaknya secara bebas, hingga orang tersebut harus dianggap sebagai “niet toerekeningsvatbaar” termasuk dalam pengertian “pertumbuhan yang sempurna” adalah pertumbuhan yang tidak sempurna dari orang-orang buta atau bisu tulis sejak lahir (Lamintang: 1997). 
KHUP Indonesia Pasal 44 ayat (1) dan Sr KUHP belanda pada pasal 37 ayat (1) dalam masalah pertanggungjawaban (pidana) yang dilakukan seseorang sesungguhnya hanyalah menyangkut pengertian: antara tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atas tindakan–tindakannya dengan sepenuhnya (volledige ontoerekeningsvatbaarheid) dan hal tentang, tidak dapat pertanggungjawabkannya sesuatu tindakan dengan sepenuhnya kepada pelaku (volledige ontoerekeningsvatbaarheid) yang diakibatkan ketidakmampuan akal sehat ( verstandelijke vermogens) yang tidak normal. 
KUHP Belanda (W.v.S), dikenal apa yang disebut dengan verminderde ontoerekeningsvatbaarheid, yaitu kurang dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atau tindak-tindakannya. pasal 37a W.v.S berbunyi: pada waktu dilakukan penuntutan pidana terhadap seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana terdapat pertumbuhan yang tidak sempurna atau terdapat gangguan penyakit pada kemampuan jiwannya, maka tanpa memeberlakukan pasal 37 ayat (1), Hakim akan menjatuhkan hukuman dengan memperrhatikan ketentuan- ketentuan yang terdapat dalam bab terdahulu. Ayat (2) dalam pada itu, dalam memberlakukan ayat tersebut diatas, hakim dapat menjatuhkan hukuman sesuai dengan ketentuan pasal 37 ayat (3). Ketentuan ini tidak terdapat dalam KUHP Indonesia. Menurut R.O Siahaan pencatuman pasal ini hanyalah merupakan landasan yuridis bagi hakim untuk menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap seseorang yang terganggu akal (verstand) atau mempunyai penyakit jiwa (geest) tetapi hakim ragu atas kebenaran penyakit terdakwa tersebut. Dalam hal hakim merasa ragu-ragu atas kepribadian terdakwa maka selayaknyalah hukum menjatuhkan pidana atasnya (R.O Siahaan, 2009: 246). 
Demikian Tentang ketidakmampuan bertanggungjawab dari sisi penyimpangan atau penyakit jiwa dapat kita ketahui dari pasal 44 KUHP (pasal 39 Sr = KUHP Belanda), yang berbunyi : Ayat (1): barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tindak pidana. Ayat (2): jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwa cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan. Pasal 45 KUHP disebutkan dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orangtuannya, walinya, pemeliharanya, tanpa pidana apapun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepad pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggar berdasarkan Pasal-Pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 514, 517, 519, 526, 531, 532, 536 dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut diatas, dan putusannya telah menjadi tetap atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah. Masalah pertanggungjawaban ini menyangkut subjek tindak pidana yang pada umumnya sudah dirumuskan oleh pembuat undang-undang untuk tindak pidana yang bersangkutan. Namun dalam kenyataannya untuk memastikan siapa pembuat suatu tindak pidana, tidaklah mudah karena untuk menentukan siapa yang bersalah dalam suatu perkara harus sesuai dengan proses yang ada dalam sistem peradilan pidana yang ditetapkan. Dengan demikian, pertanggungjawaban itu selalu ada meskipun belum pasti dituntut oleh pihak yang berkepentingan, jika pelaksanaan peranan yang telah berjalan itu ternyata tidak mencapai tujuan atau persyaratan yang diinginkan. Demikian pula halnya dengan masalah terjadinya perbuatan pidana atau delik, suatu tindakan melanggar hukum yang elah dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan tindakannya oleh undang-undang yang telah dinyatakan sebagai perbuatan atau tindakan yang dapat di hukum. Berdasarkan batasan diatas, dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pertanggungjawaban adalah keadaan yang dibebankan kepada seseorang untuk menerima atau menanggung akibat- akibat atau efek yang timbul dari tindakan atau perbuatan yang dilakukannya. Suatu perbuatan yang melawan atau melanggar hukum belumlah cukup untuk menjatuhkan hukuman, disamping itu perbuatan melawan hukum harus ada seorang pembuat yang bertanggungjawab atas perbuatannya. Pembuat tindak pidana harus ada unsur kesalahan. 
Pertanggungjawaban pidana harus terlebih dahulu memilih unsur yang sebelumnya harus dipenuhi : 1. suatu perbuatan yang melawan hukum (unsur melawan hukum). 
2. seorang pembuat atau pelaku yang dianggap mampu bertanggungjawab atas perbuatannya (unsur kesalahan). 
Asas legalitas hukum pidana Indonesia menyatakan, bahwa seseorang baru dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana apabila perbuatannya tersebut telah sesuai dengan rumusan dalam undang-undang hukum pidana. Meskipun demikan, orang tersebut belum dapat dijatuhi pidana karena masih harus dibuktikan kesalahannya apakah dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya tersebut. Dengan demikian, seseorang dijatuhi pidana harus terlebih dahulu memenuhi unsur- unsur pidana dan pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana. Pertanggungjawaban menurut hukum pidana adalah merupakan suatu kemampuan bertanggungjawab seseorang terhadap kesalahan akibat melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan tidak dibenarkan oleh masyarakat atau tidak patut menurut pandangan masyarakat. Melihat pengertian diatas, maka dapat di simpulkan yang dimaksud pertanggungjawaban pidana adalah suatu penderitaan atau siksaan yang harus diterima dan dipukul oleh seseorang akibat dari tindak kejahatan, kesalahan dan pelanggaran yang dilakukannya, sebagaimana telah ditetapkan dalam peraturan-peraturan, perundang-undangan dan hukum pidana yang mengaturnya. Selain itu, yang dimaksud dengan pertanggungjawab pidana adalah keadaan yang dibebankan kepada seseorang untuk menerima atau menanggung akibat-akibat atau efek yang dari tindakan atau perbuatan pidana yang dilakukannya.