Saturday, September 23, 2023

Theory Planned Behaviour

 


Theory Planed Behaviour menurut Ajzen (1991) dalam
(Baihaqi, dkk, 2021) merupakan sebuah pengembangan dari teori
yang telah ada sebelumnya yaitu Theory Reasoned Action (TRA) yang
diciptakan oleh Ajzen dan Fishbein pada tahun 1985, alasan dilakukan
pengembangan karena danya ketidakmampuan teori sebelumnya
untuk menerangkan perilaku bahwa individu tidak memiliki
pengendalian penuh untuk menentukan keinginanya. Theory Planned
Behaviour menjelakan bahwa suatu perilaku tertenu yang dilakukan
oleh seseorang atas dasar leinginan untuk melakukan perilaku tersebut. 
Faktor yang mempengaruhi minat dan perilaku pemblian dalam
theory planed behavior yang pertama berasal dari sikap terhadap
perilaku yaitu suatu hal yang positif maupun negatif dalam melakukan
perilaku serta pengendalian atas perilaku yang dirasakan individu
diterangkan oleh kepercayaan individu kan kemampuan dari
kesempatan yang ada dan sumberdaya yang akan menunjang dalam
melaksanakan perilaku tersebut. Sedangkan menurut Ajzen (2005)
dalam (Baihaqi, dkk, 2021) sikap terhadap perilaku disebut juga
dengan keyakinan terhadap perilaku yang dipengaruhi oleh
kepercayaan individi mengenai timbal balik yaitu keuntungan atau
kerugian yang dapat diperoleh dari suatu perilaku.
Faktor yang kedua yaitu norma subyektif, menurut Ajzen (2005)
dalam (Baihaqi, dkk, 2021) norma subyektif diartikan sebagai suatu
peran yang mengulas tentang kesetujuan atau ketidaksetujuan
individua tau kelompok yang akan memberikan efek pada seseorang
terhadap suatu perilaku. Faktor yang ketiga yaitu kontrol perilaku,
merupakan suatu pandangan individu mengenai mudah tidaknya
dalam merealisasikan suatu perilaku tertentu. Apabila ketiga faktor
dapat terpenuhi maka munculah minat pembelian suatu sikap yang
muncul dari seseorang karena adanya kesempatan atau peluang, usaha,
dan ketersediaanya dalam melangsungkan pembelian barang atau jasa
pada masa waktu mendatang. Dari sebuah minat pembelian timbulah
suatu perilaku pembelian. Menurut Ajzen dan Fishbein (1980) dalam 
(Baihaqi, dkk 2021) perilaku pembelian merupakan perilaku yang
sesungguhnya sebagai keinginan individu untuk membeli barang atau
jasa tertentu

Struktur Pendapatan Daerah

 Pendapatan Daerah merupakan hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan. Sesuai Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, komponen Pendapatan Daerah terdiri dari: (i) Pendapatan Asli Daerah (PAD); (ii) Dana Perimbangan; dan (iii) Lain-Lain Pendapatan Yang Sah. Adapun jenis PAD terdiri dari: (i) Pajak Daerah; (ii) Retribusi Daerah; (iii) Hasil Perusahaan Milik Daerah; (iv) Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan; dan (v) Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah. Sedangkan jenis Dana Perimbangan terdiri dari: (i) Dana Bagi Hasil ; (ii) Dana Alokasi Umum (DAU ); (iii) Dana Alokasi Khusus (DAK .

Sesuai dengan ketentuan Undang-undang No. 33 Tahun 2004, bahwa sumber-sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi adalah:

  1. Pendapatan Asli Daerah (PAD), adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berda­sarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ber­laku. Pendapatan asli daerah (PAD ) yang diperoleh dari pajak provinsi terdiri dari;

            (1) Pajak Kendaraan Bermotor;

            (a) Bea Balik Nama Kendaraan bermotor;

            (b) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;

            (c) Pajak Air Permukaan;

            (d) Pajak Rokok.

           

           

 

 

  1. b. Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada Daerah untuk menda­nai kebutuhan Daerah dalam rangka pe­laksanaan desentralisasi.

Adapun tujuan Dana Perimbangan adalah:

  • Dapat menguranggi kesenjangan fiskal antara  pemerintah ousat dan pemerintah daerah dan antara pemerintah daerah sendiri.;
  • Dapat menciptakan keseimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan juga antara pemerintah daerah sendiri.

Dana Perimbangan terdiri dari;

1).  Dana bagi hasil selanjutnya disebut DBH adalah : Dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdsarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.

2).  Dana Alokasi Umum selanjutnya disebut DAU adalah : Dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang di alokasikan dengan  tujuan pemeratn kemampuan keuangan antara daerah untuk mendanai  kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.

3).  Dana Alokasi Khusus  selanjutnya disebut DAK adalah :  Dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.

  1. c. Pinjaman Daerah; ada­lah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali, tidak termasuk kredit, jangka pendek yang lazim terjadi dalamperdagangan. Pin­jaman daerah bersumber dari: (a) Pemerintah Pusat; (b) Pemerintah Daerah lain; (c) Lembaga Keuangan Bank; (d) Lembaga Keuangan Bukan Bank; dan Ma­syarakat.
  2. d. Lain-lain penerimaan yang syah, yaitu hibah atau penerimaan dari daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota lainnya, dan penerimaan lain sesuai dengan peraturan perundangan.

Pengertian Keputusan Pembelian

 


Menurut Kotler dan Amstrong (2018) menyatakan bahwa
Keputusan pembelian tidak terlepas dari bagaimana konsumen melalui
beberapa tahap yaitu mengetahui masalah yang dihadapi sampai
terjadinya transaksi pembelian konsumen. 
Sedangkan menurut Fadila et al (2021) keputusan pembelian
ialah pilih dari dua ataupun opsi alternatif mencakup keputusan
mengenai manfaat dan jenis produk, keputusan mengenai wujud
produk, keputusan mengenai merek, keputusan mengenai total produk,
keputusan mengenai waktu pembelian, juga cara pembayaraan.
Menurut Kotler dan Amstrong (2018) terdapat beberapa
indikator dalam keputusan pembelian, di antaranya :
a) Pilihan Produk
Dalam mengambil keputusan, konsumen dapat memilih untuk
membeli sebuah produk atau menggunakan uangnya untuk tujuan
lain. Dalam hal tersebut, perusahaan harus mampu memusatkan
perhatian kepada konsumen yang berminat membeli produk serta
alternatif lain yang konsumen pertimbangkan.
b) Pilihan Merek
Konsumen dapat mengambil keputusan mengenai merek apa yang
akan mereka beli karena setiap merek memiliki perbedaannya
masing-masing. Dalam hal ini, perusahaan harus mengetahui
bagaimana cara konsumen dalam memilih dan menentukan sebuah
merek.
c) Pilihan Penyalur
Konsumen harus dapat menentukan mengenai penyalur mana yang
akan mereka kunjungi. Pilihan setiap konsumen dalam
menentukan penyalur berbeda- beda dikarenakan faktor harga, 
lokasi, persediaan barang yang lengkap, kenyamanan tempat, dan
lain-lain.
d) Waktu Pembelian
Keputusan konsumen dalam memilih waktu pembelian berbeda-
beda.
e) Jumlah Pembelian
Konsumen dapat memutuskan seberapa banyak produk yang akan
mereka beli. Pembelian yang dilakukan mungkin lebih dari satu.
Dalam hal tersebut, perusahaan harus mampu mempersiapkan
banyaknya produk sesuai dengan keinginan konsumen.
f) Metode Pembayaran
Konsumen dapat menentukan mengenai metode pembayaran yang
dilakukan dalam pengambilan keputusan. 

Keuangan Daerah

 

Keuangan daerah secara sederhana dapat dirumuskan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku (Wojang, 1995). Dalam Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 dijelaskan, bahwa keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Keuangan daerah dan desentralisasi fiskal merupakan dua hal yang saling berkaitan, terutama bila dikaji dalam konteks otonomi daerah. Keuangan daerah dalam arti sempit yakni terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Oleh sebab itu, keuangan daerah identik dengan APBD. Berbeda dengan desentralisasi fiskal dalam kaitan dengan otonomi daerah. Desentralisasi fiskal lebih banyak bersinggungan dengan kebijakan fiskal nasional dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Oleh sebab itu, desentralisasi fiskal tidak terlepas dari konteks APBN, sebagai instrumen kebijakan ekonomi makro nasional (Saragih, 2003). Namun demikian, kebijakan desentralisasi fiskal juga berpengaruh langsung terhadap kondisi keuangan daerah, khususnya APBD. Konkretnya adalah kebijakan alokasi atau transfer dana pusat kepada daerah, apapun sistem, bentuk dan jenisnya, adalah dalam kerangka pelaksanaan tugas dan wewenang pemerintahan yang sudah diserahkan kepada daerah melalui otonomi daerah atau desentralisasi (Cheema dan Rondinelli, 1983).

Konsep desentralisasi fiskal dalam kebijakan fiskal nasional mempunyai pengaruh terhadap struktur dan fungsi keuangan daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam pelaksanaan desentralisasi, keuangan daerah atau APBD banyak bergantung kepada sumber pendapatan yang diberikan pusat, seperti dana alokasi umum (DAU), pembagian penerimaan dari sumberdaya alam (SDA), pembagian penerimaan dari pajak, serta sumber pendapatan lainnya yang diserahkan pusat kepada daerah untuk mendukung pelaksanaan desentralisasi (Umar, 1999).

Kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta potensi daerah dengan berpedoman pada Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang “Pemerintahan Daerah”, Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang “Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah”, serta Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan tersebut, antara lain sebagai berikut:

  1. Dalam mengalokasikan anggaran baik rutin maupun pembangunan senantiasa berpegang pada prinsip-prinsip anggaran berimbang dan dinamis serta efisien dan efektif dalam meningkatkan produktivitas;
  2. Anggaran rutin diarahkan untuk menunjang kelancaran tugas pemerintahan dan pembangunan;
  3. Anggaran pembangunan diarahkan untuk meningkatkan sektor-sektor secara berkesinambungan dalam mendukung penyempurnaan maupun memperbaiki sarana dan prasarana yang dapat menunjang peningkatan pembangunan dan kemasyarakatan dengan memperhatikan skala prioritas.

Menurut Saragih (2003), bahwa bila dikaitkan dengan peranan pemerintah daerah, maka pada pokoknya anggaran harus mencerminkan strategi pengeluaran yang rasional baik kuantitatif maupun kualitatif, sehingga akan terlihat adanya :

  1. Pertanggungjawaban pemungutan sumber-sumber pendapatan daerah oleh pemerintah daerah, misalnya untuk memperlancar proses pembangunan ekonomi;
  2. Hubungan erat antara fasilitas penggunaan dana dan pemasukannya; dan
  3. Pola pengeluaran pemerintah daerah yang dapat dipakai sebagai pertimbangan dalam menentukan pola penerimaan yang pada akhirnya menjamin tingkat distribusi penghasilan dalam ekonomi daerah.

Untuk itu, Undang-undang No. 32 dan Undang-undang No. 33 Tahun 2004, telah meletakkan landasan hukum yang kuat dan pengaturan yang lebih terinci dalam implementasi pengelolaan keuangan daerah, bahwa dalam pengelolaan keuangan daerah dibutuhkan adanya sistem pengelolaan keuangan daerah yang mandiri, transparan dan akuntabel seiring dengan semangat otonomi daerah. Aschauer (2000) menjelaskan bahwa persoalan kebijakan fiskal pemerintah mencakup “how much you have”, “how much you pay for it”, dan how much you use it”. Selain cara bagaimana pemerintah membiayai pengeluarannya, faktor efektivitas dan efisiensi   pengeluaran pemerintah baik besarnya (size) maupun struktur alokasinya akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi.

Pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang mencakup penyusunan, penguasaan, pelaksanaan, penatausa­haan, pelaporan, pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan daerah (Devas, 1989; Bastian, 2002; Domai, 2002). Dengan demikian, rangkaian kegiatan dalam pengelolaan keuangan daerah tersebut dapat dimaknai sebagai suatu proses atau alur kegiatan dalam pengelolaan keuangan daerah yang dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, penatausa­haan, pelaporan dan pertanggungjawaban, serta pengawasan terhadap pengelolaan ke­uangan daerah itu sendiri (Mamesah, 1995). Untuk itu penge­lolaan keuangan daerah pasca Undang-undang No. 32 Tahun 2004 dan Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tidak lain adalah bagaimana implementasi pengelolaan keuangan daerah ke­ depan sesuai dengan amanat dari peraturan perundangan di bidang keuangan negara/daerah tersebut.

Obyek pengelolaan keuangan daerah adalah sisi penerimaan dan sisi pengeluaran. Pada sisi penerimaan, daerah dapat melakukan dua hal: pertama, mobilisasi sumber-sumber penerimaan konvensional melalui intensifikasi dan ekstensifikasi pajak daerah dan retribusi daerah serta optimalisasi pinjaman daerah dan laba BUMD. Kedua, daerah dapat melakukan optimalisasi sumber-sumber penerimaan baru, yaitu penerimaan dari hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan. Dari sisi pengeluaran, daerah harus dapat melakukan redefinisi proses penganggaran. Selain untuk memungkinkan adanya perbaikan pada tingkat ekonomis, efisiensi dan efektivitas setiap kegiatan pemerintahan (penghematan anggaran sesuai standar analisa belanja), redefisini anggaran juga harus mencakup ketetapan apakah suatu layanan publik masih harus diproduksi sendiri oleh pemerintah daerah atau cukup disediakan oleh pemerintah daerah melalui kemitraan atau privatisasi (Saragih 2003; Mardiasmo, 2004).

Berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah tentunya tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen yang dipakai sebagai tolok ukur dalam meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarkat di daerah (Barata dan Trihartanto, 2004). Oleh karena itu, pemerintah daerah bersama DPRD harus berupaya secara nyata dan terstruktur guna menghasilkan APBD yang dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat sehingga terpenuhi tuntutan terciptanya anggaran daerah yang berorientasi pada kepentingan publik (Kaho, 1997).

Anggaran pendapatan dan belanja daerah merupakan rencana kerja pemerintah daerah yang diwujudkan dalam bentuk uang (rupiah) selama periode waktu tertentu (satu tahun) serta merupakan salah satu instrumen utama kebijakan dalam upaya peningkatan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah (Devas, dkk, 1989 dan Simanjuntak, 2001). Dengan demikian, anggaran daerah harus mampu mencerminkan kebutuhan riil masyarakat daerah. Bertitik tolak dari norma umum anggaran daerah tersebut, maka anggaran daerah harus memperhatikan prinsip-prinsip anggaran (Widodo, 2001), sebagai berikut:

  1. Keadilan Anggaran;Keadilan merupakan salah satu misi utama yang diemban pemerintah daerah dalam melakukan berbagai kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan anggaran daerah. Pelayanan umum akan meningkat dan kesempatan kerja juga akan makin bertambah apabila fungsi aloksi dan distribusi dalam pengelolaan anggaran telah dilakukan dengan benar, baik melalui alokasi belanja maupun mekanisme perpajakan serta retribusi yang adil dan transparan. Hal tersebut mengharuskan pemerintah daerah untuk merasionalkan pengeluaran atau belanja secara adil untuk dapat dinikmati hasilnya secara proporsional oleh para wajib pajak, retribusi maupun masyarakat luas. Penetapan besaran pajak daerah dan retribusi daerah harus mampu menggambarkan nilai-nilai rasional yang transparan dalam menentukan tingkat pelayanan bagi masyarakat daerah;
  2. Efisiensi dan Efektivitas Anggaran;Hal yang perlu diperhatikan dalam prinsip ini adalah bagaimana memanfaatkan uang sebaik mungkin agar dapat menghasilkan perbaikan pelayanan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat. Secara umum, kelemahan yang sangat menonjol dari anggaran selama ini adalah keterbatasan daerah untuk mengembangkan instrumen teknis perencanaan anggaran yang berorientasi pada kinerja, bukan pendekatan incremental yang sangat lemah landasan pertimbangannya. Oleh karenanya, dalam penyusunan anggaran harus memperhatikan tingkat efisiensi alokasi dan efektivitas;
  3. Kegiatan dalampencapaian tujuan dan sasaran yang jelas. Berkenaan dengan itu, maka penetapan standar kinerja proyek dan kegiatan serta harga satuannya merupakan faktor penentu efisiensi dan efektivitas anggaran;
  4. Anggaran Berimbang dan Defisit; Pada hakekatnya penerapan prinsip anggaran berimbang adalah untuk menghindari terjadinya hutang pengeluaran akibat rencana pengeluaran yang melampaui kapasitas penerimaannya. Apabila penerimaan yang telah ditetapkan dalam APBD tidak mampu membiayai keseluruhan pengeluaran, maka dapat dipenuhi melalui pinjaman daerah yang dilaksanakan secara taktis dan strategis sesuai dengan prinsip defisit anggaran. Penerapan prinsip ini agar alokasi belanja yang dianggarkan sesuai dengan kemampuan penerimaan daerah yang realistis, baik berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan Keuangan, maupun Pinjaman Daerah. Di sisi lain, kelebihan target penerimaan tidak harus selalu dibelanjakan, tetapi dicantumkan dalam perubahan anggaran dalam pasal cadangan atau pengeluaran tidak tersangka, sepanjang tidak ada rencana kegiatan mendesak yang harus segera dilaksanakan;
  5. Disiplin Anggaran;Struktur anggaran harus disusun dan dilaksanakan secara konsisten. Anggaran pendapatan dan belanja daerah adalah rencana pendapatan dan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah untuk satu (1) tahun anggaran tertentu yang ditetapkan dengan peraturan daerah (Perda). Sedangkan pencatatan atas penggunaan anggaran daerah sesuai dengan prinsip akuntansi keuangan daerah di Indonesia. Tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan/proyek yang belum/tidak tersedia kredit anggarannya dalam APBD/Perubahan APBD. Bila terdapat kegiatan baru yang harus dilaksanakan dan belum tersedia kredit anggarannya, maka perubahan APBD dapat disegerakan atau dipercepat dengan memanfaatkan pasal pengeluaran tak tersangka, bila masih memungkinkan. Anggaran yang tersedia pada setiap pos/pasal merupakan batas tertinggi pengeluaran, oleh karenanya tidak dibenarkan melak­sanakan kegiatan/proyek melampaui batas kredit anggaran yang telah ditetapkan. Disamping itu, harus pula dihindari kemungkinan terjadinya duplikasi anggaran baik antar unit kerja antara belanja rutin dan belanja pembangunan serta harus diupayakan terjadinya integrasi kedua jenis belanja tersebut dalam satu indikator kinerja; dan
  6. Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran;Transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan anggaran, penetapan anggaran, perubahan anggaran dan perhitungan anggaran merupakan wujud pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada masyarakat. Anggaran daerah harus mampu memberikan informasi yang lengkap, akurat dan tepat waktu untuk kepentingan masyarakat, peme­rintah daerah dan pemerintah pusat, dalam format yang akomodatif dalam kaitannya dengan pengawasan dan pengendalian anggaran daerah. Sejalan dengan hal tersebut, maka perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan proyek dan kegiatan harusdilaksanakan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara teknis maupun ekonomis kepada pihak legislatif, masyarakat maupun pihak-pihak yang bersifat independent yang memerlukan.

Anggaran daerah sebagai instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah, menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah. Anggaran daerah merupakan alat dalam menentukan pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran, sumber pengembangan, ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk memobilisasi pegawai dan alat koordinasi bagi semuaaktivitas dan berbagai unit kerja (Saragih, 2003). Secara lebih spesifik, Davey (1988) dan Mardiasmo (2004) menjelaskan bahwa anggaran daerah dalam proses pembangunan merupakan:

  1. Instrumen Politik. Anggaran daerah adalah salah satu instrumen formal yang menghubungkan eksekutif daerah dengan tuntutan dan kebutuhan publik yang diwakili oleh Legislatif Daerah;
  2. Instrumen Kebijakan Fiskal. Dengan mengubah prioritas dan besar alokasi dana, anggaran daerah dapat digunakan untuk mendorong,memberikan fasilitas dan mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan ekonomi masyarakat guna mempercepat pertumbuhan ekonomi di daerah;
  3. Instrumen Perencanaan.Di dalam anggaran daerah disebutkan tujuan yang ingin dicapai, biaya dan hasil yang diharapkan dari setiap kegiatan di masing-masing unit kerja; dan
  4. Instrumen Pengendalian.Anggaran Daerah berisi rencana penerimaan dan pengeluaran secara rinci setiap unit kerja. Hal ini dilakukan agar unit kerja tidak melakukan overspending, underspending atau mengalokasikan anggaran pada bidang yang lain.

Berdasarkan uraian sebelumnya, jelas bahwa anggaran daerah tersebut tidak dapat berdiri sendiri. Anggaran daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari seluruh proses perencanaan pembangunan daerah. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, dan dis­tribusi. Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja daerah pada tahun yang bersangkutan. Fungsi pe­rencanaan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. Fungsi pengawasan me­ngandung arti bahwa anggaran daerah men­jadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Fungsi alokasi mengandung arti bahwa ang­garan daerah harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumberdaya, serta meningkatkan efisiensi dan efek­tivitas perekonomian. Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah membawa konsekuensi terhadap berbagai perubahan dalam keuangan daerah, termasuk terhadap struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Domai, 2002). Sebelum Undang-undang Otonomi Daerah dikeluarkan, struktur APBD yang berlaku selama ini adalah anggaran yang berimbang, di mana jumlah penerimaan atau pendapatan sama dengan jumlah pengeluaran atau belanja. Kini struktur APBD mengalami perubahan bukan lagi anggaran berimbang, tetapi disesuaikan dengan kondisi keuangan daerah. Artinya, setiap daerah memiliki perbedaan struktur APBD sesuai dengan kapasitas keuangan atau pendapatan masing-masing daerah (Saragih, 2003).

Berkaitan dengan sistem anggaran, dikenal tiga (3) macam sistem anggaran yakni, anggaran surplus, anggaran balance, dananggaran deficit. Disebut anggaran balance jika pengeluarannya sama dengan pendapatan yang diperoleh dalam satu tahun anggaran tertentu. Sedangkan sistem anggaran deficit memungkinkan pemerintah mempunyai pengeluaran yang melebihi pendapatannya. Kekurangan (deficit) kemudian ditutup melalui pinjaman, baik dari/melalui masyarakat (obligasi) maupun pinjaman luarnegeri (hutang). Sedangkan anggaran surplus adalah penerimaan diupayakan lebih tinggi dari pengeluaran, sehingga terdapat surplus atau tabungan (Haz, 2001; dan Suparmoko, 2002).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, struktur APBD di Indonesia, terdiri atas: (1) Pendapatan daerah, (2) Belanja daerah, dan (3) Pembiayaan. Ketiga komponen tersebut harus ada dalam setiap penyusunan APBD. Namun, bagaimana kondisi APBD suatu daerah, apakah defisit atau surplus, tergantung pada kapasitas pendapatan daerah yang bersangkutan. Oleh sebab itu, tidak ada keharusan anggaran belanja semua daerah harus surplus atau defisit. Ada daerah yang APBD-nya surplus dan sebaliknya ada daerah yang APBD-nya defisit (Saragih, 2003).

Apabila APBD suatu daerah menunjukkan posisi defisit, maka pemerintah daerah harus menetapkan sumber pembiayaan defisit anggarannya dalam struktur APBD. Komponen pembiayaan ini sangat penting untuk melihat sumber-sumber yang dapat diusahakan daerah. Biasanya sumber pembiayaan defisit dapat dilakukan melalui pinjaman dalam negeri dan luar negeri, serta melalui penjualan aset-aset daerah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan daerah (perda) yang bersangkutan.

Perilaku Konsumen

 


Menurut Kotler & Keller 2021 Perilaku konsumen merupakan
penelaahan terkait bagaimana individu, kelompok ataupun organisasi
memilih, mengambil keputusan pembeliaan, memakai, dan membuang
produk baik itu barang, jasa, ide atau pengalaman dengan tujuan
memuaskan pemenuhan kebutuhan ataupun keinginan mereka.
Perilaku konsumen dapat didefinisikan berdasarkan dua
perspektif utama, yakni (1) pemikiran serta aksi manusia, (2) Bidang
studi atau accumulated body of knowledge. Sebagai pemikiran dan aksi
manusia, perilaku konsumen merupakan serangkaian aktivitas yang
konsumen lakukan dengan tujuan mencari penyelesaian atas kebutuhan
dan keinginannya. Rangkaian aktivitas tersebut mencakup beragam
proses psikologis, yang bermuara pada terciptanya nilai spesifik, seperti
pikiran, perasaan, serta perilaku. Sedangkan sebagai bidang studi, dalam
rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen, perilaku
konsumen berfokus pada proses konsumsi yang dialaminya, serta dalam
proses menggunakan dan mentransformasi baik itu barang, jasa ataupun
gagasan menjadi nilai (value) (Tjiptono 2015:46)

Perimbangan Keuangan Pusat - Daerah

 Pakpahan (1997) menjelaskan bahwa kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan derivatif dari kebijakan otonomi daerah, yakni pelimpahan sebagian wewenangpemerintahan dari pusat ke daerah. Artinya, semakin banyak wewenang yang dilimpahkan, maka kecenderungan semakin besar biaya yang dibutuhkan oleh daerah.

Ketentuan Umum dalam Undang-undang No. 33 Tahun 2004 menjelaskan bahwa “untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pendanaan berdasarkan kewenangan Pemerintah Pusat, Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan, perlu diatur perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah berupa sistem keuangan yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang jelas antar susunan pemerintahan; ". Sedangkan yang dimaksud dengan dana perimbangan adalah "Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan efisien dalam rangka pendanaan penyelenggaraan Desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan”.

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa dana perimbangan merupakan inti dari hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah merupakan suatu sistem hubungan keuangan yang bersifat vertikal antara pemerintah pusat dan daerah (intergovernmentalfiscalrelationssystem), sebagai konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dalam bentuk penyerahan sebagian wewenang pemerintahan. Oleh karena itu, dikatakan bahwa hubungan keuangan merupakan sebuah sistem pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah.

Pengaturan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah sangat perlu dilakukan karena tidak semua wewenang pemerintahan diberikan atau diserahkan kepada pemerintah daerah (pemerintah sub-nasional). Oleh karena itu, kepentingan dan kebutuhan dana untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan pusat atau negara juga harus tersedia secara memadai.

Dana perimbangan berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam konteks otonomi daerah atau desentralisasi. Dalam arti sederhana, dana perimbangan adalah pembagian penerimaan antar tingkatan pemerintahan guna menjalankan fungsi pemerintahan dalam kerangka desentralisasi. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 159 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, dana perimbangan terdiri atas:

  1. Dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumberdaya alam. Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak terdiri dari: (i) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor perdesaan, perkotaan, perkebunan, pertambangan serta kehutanan; (ii) Bea Perolehan Atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) sektor perdesaan, perkotaan, perkebunan, pertambangan serta kehutanan; dan (iii) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, Pasal 25, dan Pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri. Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumberdaya alam berasal dari: (i) Penerimaan kehutanan yang berasal dari iuran hak pengusahaan hutan (IHPH), provisi sumber daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan; (ii) Penerimaan pertambangan umum yang berasal dari penerimaan iuran tetap (landrent) dan penerimaan iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi (royalty) yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan; (iii) Penerimaan perikanan yang diterima secara nasional yang dihasilkan dari penerimaan pungutan pengusahaan perikanan dan penerimaan pungutan hasil perikanan; (iv) Penerimaan pertambangan minyak yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan; (v) Penerimaan pertambangan gas alam yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan; dan (vi) Penerimaan pertambangan panas bumi yang berasal dari penerimaan setoran bagian Pemerintah, iuran tetap dan iuran produksi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan. Daerah penghasil sumberdaya alam, ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri berdasarkan pertimbangan dari menteri teknis terkait. Dasar penghitungan bagian daerah dari daerah penghasil sumberdaya alam ditetapkan oleh Menteri Teknis terkait setelah memperoleh pertimbangan Menteri Dalam Negeri.
  2. DAU dialokasikan berdasarkan persentase tertentu dari pendapatan dalam negeri neto yang ditetapkan dalam APBN. DAU untuk suatu daerah ditetapkan berdasarkan kriteria tertentu yang menekankan pada aspek pemerataan dan keadilan yang selaras dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang formula dan penghitungan DAU-nya ditetapkan sesuai Undang-undang.
  3. Dana Alokasi Khusus (DAK) dialokasikan dari APBN kepada daerah tertentu dalam rangka pendanaan pelaksanaan desentralisasi untuk: (i) mendanai kegiatan khusus yang ditentukan Pemerintah atas dasar prioritas nasional; (ii) mendanai kegiatan khusus yang diusulkan daerah tertentu. Penyusunan kegiatan khusus yang ditentukan oleh Pemerintah dikoordinasikan dengan Gubernur. Penyusunan kegiatan khusus dilakukan setelah dikoordinasikan oleh daerah yang bersangkutan. Ketentuan lebih lanjut mengenai DAK diatur dengan Peraturan Pemerintah.

      Dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah (Business News, No. 6742/27-3-2002, hal. 5), yaitu:

  1. Pembagian kekuasaan yang rasional di antara tingkat-tingkat pemerintahan dalam memungut dan membelanjakan sumber dana;
  2. Pembagian seluruh sumber dana yang adil dan memadai untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi, penyediaan pelayanan, dan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah; dan
  3. Upaya fiskal oleh pemerintah daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan pembagian yang adil atas seluruh beban pengeluaran pemerintah daerah dalam masyarakat.

 Dimensi ekonomi-politik hubungan keuangan pusat dan daerah tercermin dalam proses pengambilan kebijakan tentang dana perimbangan. Dana perimbangan, yang merupakan instrumen penyeimbang fiskal pusat dan daerah, dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Djaenuri (1999) mengemukakan beberapa model hubungan keuangan pusat dan daerah yang dapat dijadikan sebagai alternatif pendekatan antara lain adalah:

  1. By percentage, yakni distribusi penerimaan yang diterapkan pada Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), royalti atau license fee, land rent, di bidang kehutanan dan pertambangan umum serta pertambangan migas yang diberikan sebagian hasilnya kepada daerah dengan persentase tertentu;
  2. By origin, yakni bahwa distribusi penerimaan ke daerah didasarkan pada atau menurut asal sumber penerimaan;
  3. By formula, yakni distribusi penerimaan ke daerah yang didasarkan kepada suatu formula tertentu atau mempertimbangkan faktor-faktor tertentu; by grant to reimburse cost: artinya transfer keuangan kepada daerah untuk membiayai satu jenis pengeluaran tertentu;
  4. By ad hoc grants, yakni transfer keuangan yang didesain oleh pemerintah pusat yang didasarkan pada antara lain alokasi prioritas nasional atau alokasi tambahan yang ditujukan untuk tujuan tertentu untuk satu tahun anggaran tertentu.

Berdasarkan berbagai pendekatan di atas, maka pendekatan dalam merumuskan dana perimbangan untuk mendukung pelaksanaan desentralisasi, yakni: by percentage of share - pendekatan dalam menghitung bagi hasil pajak dan non-pajak (shared taxes and non taxes); by formula - pendekatan dalam menghitung dana alokasi umum (blockgrant) dan by ad hocatau special grant - pendekatan dalam menghitung dana alokasi khusus (specialgrant) yang sebagian besar didasarkan atas kebutuhan khusus atau yang sifatnya sangat mendesak.

Sarundajang (2001) mengemukakan bahwa secara teoretis terdapat beberapa pendekatan dalam merumuskan hubungan keuangan pusat dan daerah, yakni: (1) pendekatan kapitalisasi (permodalan); (2) pendekatan pendapatan; (3) pendekatan pengeluaran; dan (4) pendekatan komprehensif. Dalam pendekatan permodalan, pemerintah daerah memperoleh modal permulaan yang diharapkan untuk diinvestasikan menurut cara-cara yang dapat menghasilkan pendapatan untuk menutupi pengeluaran rutin. Modal untuk pemda sebagai pemberian dari pusat - dapat berbentuk bantuan (grant), sehingga tidak diperlukan adanya pembayaran kembali atau pengembalian dalam jangka waktu tertentu.

Berdasarkan pendekatan pendapatan, pemerintah pusat memberikan sejumlah sumber pendapatan bagi daerah yang dipandang potensial di masing-masing daerah untuk mengelola sejumlah urusan pemerintahan. Kendala yang dapat muncul dari pelaksanaan pendekatan pendapatan ini adalah adanya perbedaan (disparitas) potensi sumber daya (ekonomi) di masing-masing daerah. Berbeda dengan pendekatan pendapatan,pendekatan berdasarkan pengeluaran menegaskan bahwa pusat memberikan sejumlah dana pinjaman, bantuan (sumbangan) atau bagi hasil pungutan kepada pemda untuk membiayai pengeluaran tertentu. Pendekatan ini memungkinkan adanya suatu mekanisme agar sejumlah uang cukup tersedia bagi pemda (baik dari pusat atau daerah) untuk memberikan pelayanan sesuai target nasional.Dalam pendekatan komprehensif, sumber pendapatan, baik pendapatan asli daerah maupun bagian dari sumber pendapatan nasional seperti pajak, diberikan kepada pemda sebanding dengan tanggung jawab dan wewenang yang telah diberikan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pendekatan komprehensif, terutama dalam konteks hubungan keuangan pusat dan daerah, yakni:

  1. Perlunya dasar perhitungan dalam penyusunan anggaran pemda guna penentuan potensi penerimaan daerah dan kebutuhan-kebutuhan pengeluarannya.
  2. Proporsi pendanaan pemerintah pusat dan daerah hendaknya memperhatikan alasan tentang otonomi, swasembada dan pendekatan pendapatan.
  3. Kebutuhan pengeluaran tiap daerah berbeda-beda menurut kompleksitas permasalahan dan cakupan pelayanannya.
  4. Alokasi dana pusat ke daerah untuk menyeimbangkan PAD dengan kebutuhan pengeluarannya.
  5. Karena adanya perbedaan potensi pendapatannya, maka ada daerah yang berkelebihan dan ada daerah yang kekurangan anggaran.

Secara detail konsep dana perimbangan diatur lebih lanjut dalam Perauran Pemerinah No. 104 Tahun 2000 tentang “Dana Perimbangan” sebagai mana telah diperbaharui melalui Peraturan Pemerintah No. 84 Tahun 2001. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut dijelaskan tentang tata cara pembagian dana perimbangan yang terdiri atas tiga komponen transfer di atas. Khusus untuk bagian daerah dari penerimaan pajak pusat, telah dibuat peraturan teknis pelaksanaannya secara tersendiri, yaitu dalam Perauran Pemerinah No. 16 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan No. 82/KMK.04/2000 untuk bagi hasil PBB. Sedangkan  pengaturan bagi hasil dari penerimaan pajak penghasilan (PPh) perorangan diatur melalui Perauran Pemerinah No. 115 Tahun 2000 dan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 6/KMK. 04/2001.

 Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pelaksanaan desentralisasi jelas harus didukung oleh kebijakan dana perimbangan yang sering disebut dengan desentralisasi fiskal (fiscaldecentralization). Namun, tidak dapat diartikan secara sempit bahwa desentralisasi fiskal adalah sama dengan dana perimbangan. Akan tetapi dana perimbangan merupakan instrumen penting dari proses pelaksanaan desentralisasi fiskal. Sebab komponen dalam dana perimbangan sudah mencerminkan unsur dalam mendukung pelaksanaan desentralisasi fiskal.

Ketiga komponen dalam dana perimbangan tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain, mengingat tujuan dari masing-masing sumber dana perimbangan tersebut saling mengisi dalam proses implementasi otonomi daerah, meskipun masing-masing berbeda kebijakan dan fungsinya. Dana bagi hasil lebih berfungsi sebagai penyeimbang fiskal antara pusat dan daerah dari pajak yang dibagihasilkan. Sedangkan fungsi DAU adalah sebagai pemerataan fiskal antardaerah (fiscalequalization) di Indonesia. Fungsi dana alokasi khusus (DAK) adalah sebagai kebijakan yang bersifat darurat (emergency).

Sumber pokok keuangan daerah setelah dikeluarkannya undang-undang otonomi daerah, sebagian besar masih berasal dari dana pembagian dari APBN atau pemerintah pusat. Bagi daerah-daerah yang memiliki potensi sumberdaya alam (SDA) berlimpah, sebenarnya daerah tersebut memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan negara dari SDA. Namun, selama ini diakui jumlah dana yang diterima daerah, terutama daerah penghasil potensial SDA, dari pusat masih relatif kecil.

 

Sistem pembagian hasil dari sumberdaya alam (SDA) selama ini tidak transparan, sehingga daerah yang relatif kaya akan sumberdaya alam banyak yang dirugikan. Dalam hal ini terjadilah apa yang dinamakan ketimpangan atau disparitas (disparity) pembangunan antardaerah, misalnya antara Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Undang-undang otonomi daerah yang baru "sudah" mengakomodasikan hal tersebut. Misalnya, bagi hasil dari sumberdaya alam antara pusat dan daerah. Di samping itu, bagi hasil pajak pusat yang didaerahkan (sharedtaxes) terdiri atas tiga jenis pajak, yakni PBB, BPHTB, dan PPh perorangan. Baik pajak yang didaerahkan maupun pembagian hasil sumberdaya alam didasarkan atas pendekatan persentase dari total.

Dana perimbangan untuk mendukung pelaksanaan desentralisasi di daerah,  diharapkan dapat menjadi insentif bagi daerah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Dengan catatan tentunya porsi untuk anggaran pembangunan harus lebih besar dari porsi untuk belanja rutin daerah (Suparmoko, 2002).Di samping itu, pusat juga tetap mendorong adanya distribusi pembangunan di seluruh daerah yang diaktualisasikan ke dalam pos pengeluaran pembangunan dalam APBN di luar dana perimbangan. Pos belanja pembangunan ini dikelola sepenuhnya oleh pusat, tetapi proyek-proyeknya ada di berbagai daerah di tanah air. Sumber dana pembangunan ini berasal dari dana rupiah murni yang disediakan pemerintah pusat dan pinjaman luar negeri (foreignloan). Ini artinya di samping dana perimbangan, secara tidak langsung pemerintah pusat juga melakukan distribusi anggaran pembangunan melalui pos belanja pembangunan setiap tahun dalam APBN untuk duapuluh (20) sektor. Namun, pengeluaran pembangunan yang ada dalam APBN sepenuhnya merupakan wewenang pusat dan jarang melibatkan daerah. Idealnya, apa yang direncanakan oleh pusat didasarkan atas kebutuhan riil daerah yang bersangkutan. Hal ini untuk menghindari adanya duplikasi program atau proyek pembangunan pusat yang ada di daerah.

Otonomi dan Desentralisasi

 Desentralisasi menyangkut berbagai bentuk dan dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek fiskal, politik, perubahan administrasi dan sistem pemerintahan, serta pembangunan sosial dan ekonomi. Bird dan Vaillancourt (1998) menjelaskan bahwa desentralisasi merupakan proses transfer kekuasaan dalam membuat keputusan pada pemerintahan subnasional. Menurut Rondinelli (2001), bahwa desentralisasi didefinisikan sebagai transfer wewenang dan tanggungjawab dalam fungsi-fungsi publik dari pemerintah pusat kepada organisasi pemerintahan yang ada di bawahnya ataupun kepada sektor swasta.

Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Pasal 1 menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan otonomi daerah, adalah: “Hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Pasal 1 butir 6 menjelaskan, bahwa daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia., dan dalam pasal yang sama dijelaskan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa otonomi daerah dapat dilaksanakan, jika ada pelimpahan atau pemberian wewenang pemerintahan dari pusat kepada daerah otonom (Adisubrata, 1999).

Merujuk pada ketentuan dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004, dapat dikatakan bahwa otonomi daerah berarti adanya kewenangan untuk mengatur dan mengurus masyarakatnya sendiri berdasarkan pengertian dan substansi dari desentralisasi; yang berarti otonomi daerah dan desentralisasi merupakan dua sisi dalam satu mata uang yang tidak dapat dipisahkan dan saling memberi arti (Mardiasmo, 2002 dan Saragih, 2003). Namun demikian, terdapat perbedaan pengertian desentralisasi dengan otonomi. Dalam desentralisasi harus ada pendistribusian wewenang atau kekuasaan dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan lebih rendah; sedangkan otonomi berarti adanya kebebasan menjalankan atau melaksanakan sesuatu oleh suatu unit politik atau bagian wilayah/teritori dalam kaitannya dengan masyarakat politik atau negara (Devas, 1997 dan Saragih, 2003). Dengan kata lain, desentralisasi adalah berkurangnya atau diserahkannya sebagian atau seluruh wewenang pemerintahan dari pusat ke daerah-daerah; sehingga daerah yang menerima kewenangan bersifat otonom, yakni dapat menentukan caranya sendiri berdasarkan prakarsa sendiri secara bebas, sesuai wewenang yang diserahkan kepada daerah (Smoke dan Lewis, 1996).

Sidik (2002) menjelaskan hal yang sama, bahwa desentralisasi merupakan instrumen untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, yaitu terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi akan diwujudkan dalam pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxingpower), terbentuknya dewan yang dipilih oleh rakyat, kepala daerah yang dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat. Oleh sebab itu, di dalam setiap pendistribusian fungsi atau kewenangan (power) dari tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah harus disertai atau diikuti dengan distribusi pembiayaan atau keuangan yang memadai (sufficient). Dalam hubungan ini, Beier dan Ferrazzi (1998) menjelaskan bahwa otonomidaerah umumnya diikuti dengan kebijakan desentralisasi fiskal, sebagai instrumen di dalam mendukung daerah dalam pelayanan publik dengan transfer dana ke daerah.

Rondinelli (2001) membagi desentralisasi menjadi empat (4) kelompok, yaitu: (1). Dekonsentrasi (deconsentration), yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat yang berada dalam garis hirarki dengan pemerintah pusat di daerah. (2). Pendelegasian (delegation),yaitu pelimpahan wewenang untuk tugas tartentu kepada organisasi yang berada di luar struktur birokrasi regular yang dikontrol secara tak langsung oleh pemerintah pusat. Pendelegasian wewenang ini biasanya diatur dengan ketentuan perundangan. Pihak yang menerima wewenang mempunyai kekuasaan (discretion) dalam penyelenggaraan pendelegasian tersebut, walaupun wewenang terakhir tetap pada pihak pemberi wewenang (sovereignauthority). (3). Devolusi (devolution), yaitu pelimpahan wewenang kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah dalam bidang keuangan atau tugas pemerintahan dan pihak pemerintah daerah mendapat discretion yang tidak dikontrol oleh pemerintah pusat. Dalam hal tertentu dimana pemerintah daerah belum sepenuhnya mampu melaksanakan tugasnya, pemerintah pusat akan memberikan supervisi secara tidak langsung atas pelaksanaan tugas tersebut. Dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah daerah memiliki wilayah administratif yang jelas dan legal dan diberikan kewenangan sepenuhnya untuk melaksanakan fungsi publik, menggali sumber-sumber panerimaan serta mengatur penggunaannya, dan (4). Privatisasi (privatization)yaitu pelimpahan wewenang kepada organisasi non-pemerintah atau swasta. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan peluang bagi organisasi tersebut untuk ambil bagian secara nyata dalam proses pembangunan nasional. Gagasan ini lebih menonjol dalam rangka debirokratisasi dalam arti pengambilan keputusan untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu dengan melibatkan organisasi-organisasi non-pemerintah.

Tujuan politis untuk meningkatkan tingkat responsifitas birokrasi terhadap keinginan masyarakat dalam pemenuhan pelayanan publik dikaitkan dengan partisipasi masyarakat dalam pembiayaan penyediaan pelayanan tersebut, memerlukan sekurang-kurangnya tujuh (7) persyaratan untuk keberhasilan desentralisasi (Sidik, 2002), yaitu:

  1. Tahapan pelaksanaan desentralisasi harus realistis disesuaikan dengan pengembangan institusi, sistem dan prosedur dan mekanisme koordinasi di lingkup pemerintahan, dan pengembangan kemampuan sumber daya manusia;
  2. Keselarasan antara proses penyerahan kewenangan fungsi-fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dengan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, sumberdaya manusia dan dokumen;
  3. Desain dan kerangka kerja proses desentralisasi harus terkait dengan kemampuan keuangan dan kewenangan fiskal yang dimiliki oleh daerah untuk memberikan pelayanan publik kepada masyarakatnya, sehingga keinginan rakyat yang diwakili oleh DPRD dalam penyediaan barang publik diharapkan mampu didukung oleh partisipasi masyarakat dalam menanggung biaya atas penyediaan barang publik tersebut;
  4. Masyarakat lokal harus diberikan informasi yang transparan tentang beban yang mereka tanggung sebagai konsekuensi atas penyediaan barang publik tersebut terutama melalui sosialisasi, debat publik dan dialog lainnya yang bermanfaat bagi peningkatan kebutuhan barang publik sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat;
  5. Masyarakat harus diberikan kesempatan untuk menyampaikan preferensinya dalam penyediaan barang publik melalui suatu mekanisme yang memungkinkan kehendak masyarakat tersebut dapat ditampung dalam proses pengambilan keputusan pada tingkat pemerintah daerah dan DPRD yang menghasilkan suatu peraturan daerah tentang penyediaan barang publik dan implikasi pembiayaannya;
  6. Adanya jaminan sistem akuntabilitas publik, transparansi dan tersedianya informasi keuangan dan pembangunan daerah yang memadai, sehingga memungkinkan masyarakat untuk memantau kinerja aparat pemerintah daerah, dan memberikan kesempatan pada masyarakat untuk merespon secara proporsional terhadap kinerja pemerintah daerah yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. Lingkungan ini memungkinkan baik aparat daerah maupun DPRD dituntut untuk responsif terhadap aspirasi masyarakatnya; dan
  7. Instrumen desentralisasi terutama yang menyangkut aspek ketentuan perundangan, kelembagaan, struktur pelayanan yang menjadi tugas pemerintah daerah, maka mekanisme kontrol dan dukungan pembiayaan harus didesain sedemikian rupa sehingga mampu untuk mendukung keinginan politis dari masyarakat.

Ketujuh persyaratan tersebut menghendaki otonomi daerah dan desentralisasi harus berjalan seiring. Namun demikian keduanya, yakni otonomi daerah dan desentralisasi masing-masing memiliki makna tersendiri. Istilah otonomi daerah lebih cenderung pada aspek yang bersifat politik tentang kekuasaan negara (politicalaspect); sedangkan desentralisasi lebih cenderung pada aspek administrasi negara (administrationaspect) (Stewart, 1988 dan Pide, 1997).

Keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi akan sangat tergantung pada desain, proses implementasi, dukungan politis baik pada tingkat pengambilan keputusan di masing-masing tingkat pemerintahan, maupun masyarakat secara keseluruhan, kesiapan administrasi pemerintahan, pengembangan kelembagaan dan sumberdaya manusia, mekanisme koordinasi untuk meningkatkan kinerja aparat birokrasi, perubahan sistem nilai dan perilaku birokrasi dalam memenuhi keinginan masyarakat khususnya dalam pelayanan sektor publik.

Litvack et. al. (1998) memberikan argumen yang mendukung desentralisasi dengan mengatakan bahwa pelayanan publik yang paling efisien seharusnya diselenggarakan oleh wilayah yang memiliki kontrol geografis yang paling minimum karena: (1) Pemerintah lokal sangat menghayati kebutuhan masyarakatnya; (2) Keputusan pemerintah lokal sangat responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sehingga mendorong pemerintah lokal untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal dari masyarakat; dan (3) Persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah lokal untuk meningkatkan inovasinya.