Saturday, September 23, 2023

Otonomi dan Desentralisasi

 Desentralisasi menyangkut berbagai bentuk dan dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek fiskal, politik, perubahan administrasi dan sistem pemerintahan, serta pembangunan sosial dan ekonomi. Bird dan Vaillancourt (1998) menjelaskan bahwa desentralisasi merupakan proses transfer kekuasaan dalam membuat keputusan pada pemerintahan subnasional. Menurut Rondinelli (2001), bahwa desentralisasi didefinisikan sebagai transfer wewenang dan tanggungjawab dalam fungsi-fungsi publik dari pemerintah pusat kepada organisasi pemerintahan yang ada di bawahnya ataupun kepada sektor swasta.

Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Pasal 1 menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan otonomi daerah, adalah: “Hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Pasal 1 butir 6 menjelaskan, bahwa daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia., dan dalam pasal yang sama dijelaskan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa otonomi daerah dapat dilaksanakan, jika ada pelimpahan atau pemberian wewenang pemerintahan dari pusat kepada daerah otonom (Adisubrata, 1999).

Merujuk pada ketentuan dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004, dapat dikatakan bahwa otonomi daerah berarti adanya kewenangan untuk mengatur dan mengurus masyarakatnya sendiri berdasarkan pengertian dan substansi dari desentralisasi; yang berarti otonomi daerah dan desentralisasi merupakan dua sisi dalam satu mata uang yang tidak dapat dipisahkan dan saling memberi arti (Mardiasmo, 2002 dan Saragih, 2003). Namun demikian, terdapat perbedaan pengertian desentralisasi dengan otonomi. Dalam desentralisasi harus ada pendistribusian wewenang atau kekuasaan dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan lebih rendah; sedangkan otonomi berarti adanya kebebasan menjalankan atau melaksanakan sesuatu oleh suatu unit politik atau bagian wilayah/teritori dalam kaitannya dengan masyarakat politik atau negara (Devas, 1997 dan Saragih, 2003). Dengan kata lain, desentralisasi adalah berkurangnya atau diserahkannya sebagian atau seluruh wewenang pemerintahan dari pusat ke daerah-daerah; sehingga daerah yang menerima kewenangan bersifat otonom, yakni dapat menentukan caranya sendiri berdasarkan prakarsa sendiri secara bebas, sesuai wewenang yang diserahkan kepada daerah (Smoke dan Lewis, 1996).

Sidik (2002) menjelaskan hal yang sama, bahwa desentralisasi merupakan instrumen untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, yaitu terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi akan diwujudkan dalam pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxingpower), terbentuknya dewan yang dipilih oleh rakyat, kepala daerah yang dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat. Oleh sebab itu, di dalam setiap pendistribusian fungsi atau kewenangan (power) dari tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah harus disertai atau diikuti dengan distribusi pembiayaan atau keuangan yang memadai (sufficient). Dalam hubungan ini, Beier dan Ferrazzi (1998) menjelaskan bahwa otonomidaerah umumnya diikuti dengan kebijakan desentralisasi fiskal, sebagai instrumen di dalam mendukung daerah dalam pelayanan publik dengan transfer dana ke daerah.

Rondinelli (2001) membagi desentralisasi menjadi empat (4) kelompok, yaitu: (1). Dekonsentrasi (deconsentration), yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat yang berada dalam garis hirarki dengan pemerintah pusat di daerah. (2). Pendelegasian (delegation),yaitu pelimpahan wewenang untuk tugas tartentu kepada organisasi yang berada di luar struktur birokrasi regular yang dikontrol secara tak langsung oleh pemerintah pusat. Pendelegasian wewenang ini biasanya diatur dengan ketentuan perundangan. Pihak yang menerima wewenang mempunyai kekuasaan (discretion) dalam penyelenggaraan pendelegasian tersebut, walaupun wewenang terakhir tetap pada pihak pemberi wewenang (sovereignauthority). (3). Devolusi (devolution), yaitu pelimpahan wewenang kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah dalam bidang keuangan atau tugas pemerintahan dan pihak pemerintah daerah mendapat discretion yang tidak dikontrol oleh pemerintah pusat. Dalam hal tertentu dimana pemerintah daerah belum sepenuhnya mampu melaksanakan tugasnya, pemerintah pusat akan memberikan supervisi secara tidak langsung atas pelaksanaan tugas tersebut. Dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah daerah memiliki wilayah administratif yang jelas dan legal dan diberikan kewenangan sepenuhnya untuk melaksanakan fungsi publik, menggali sumber-sumber panerimaan serta mengatur penggunaannya, dan (4). Privatisasi (privatization)yaitu pelimpahan wewenang kepada organisasi non-pemerintah atau swasta. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan peluang bagi organisasi tersebut untuk ambil bagian secara nyata dalam proses pembangunan nasional. Gagasan ini lebih menonjol dalam rangka debirokratisasi dalam arti pengambilan keputusan untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu dengan melibatkan organisasi-organisasi non-pemerintah.

Tujuan politis untuk meningkatkan tingkat responsifitas birokrasi terhadap keinginan masyarakat dalam pemenuhan pelayanan publik dikaitkan dengan partisipasi masyarakat dalam pembiayaan penyediaan pelayanan tersebut, memerlukan sekurang-kurangnya tujuh (7) persyaratan untuk keberhasilan desentralisasi (Sidik, 2002), yaitu:

  1. Tahapan pelaksanaan desentralisasi harus realistis disesuaikan dengan pengembangan institusi, sistem dan prosedur dan mekanisme koordinasi di lingkup pemerintahan, dan pengembangan kemampuan sumber daya manusia;
  2. Keselarasan antara proses penyerahan kewenangan fungsi-fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dengan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, sumberdaya manusia dan dokumen;
  3. Desain dan kerangka kerja proses desentralisasi harus terkait dengan kemampuan keuangan dan kewenangan fiskal yang dimiliki oleh daerah untuk memberikan pelayanan publik kepada masyarakatnya, sehingga keinginan rakyat yang diwakili oleh DPRD dalam penyediaan barang publik diharapkan mampu didukung oleh partisipasi masyarakat dalam menanggung biaya atas penyediaan barang publik tersebut;
  4. Masyarakat lokal harus diberikan informasi yang transparan tentang beban yang mereka tanggung sebagai konsekuensi atas penyediaan barang publik tersebut terutama melalui sosialisasi, debat publik dan dialog lainnya yang bermanfaat bagi peningkatan kebutuhan barang publik sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat;
  5. Masyarakat harus diberikan kesempatan untuk menyampaikan preferensinya dalam penyediaan barang publik melalui suatu mekanisme yang memungkinkan kehendak masyarakat tersebut dapat ditampung dalam proses pengambilan keputusan pada tingkat pemerintah daerah dan DPRD yang menghasilkan suatu peraturan daerah tentang penyediaan barang publik dan implikasi pembiayaannya;
  6. Adanya jaminan sistem akuntabilitas publik, transparansi dan tersedianya informasi keuangan dan pembangunan daerah yang memadai, sehingga memungkinkan masyarakat untuk memantau kinerja aparat pemerintah daerah, dan memberikan kesempatan pada masyarakat untuk merespon secara proporsional terhadap kinerja pemerintah daerah yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. Lingkungan ini memungkinkan baik aparat daerah maupun DPRD dituntut untuk responsif terhadap aspirasi masyarakatnya; dan
  7. Instrumen desentralisasi terutama yang menyangkut aspek ketentuan perundangan, kelembagaan, struktur pelayanan yang menjadi tugas pemerintah daerah, maka mekanisme kontrol dan dukungan pembiayaan harus didesain sedemikian rupa sehingga mampu untuk mendukung keinginan politis dari masyarakat.

Ketujuh persyaratan tersebut menghendaki otonomi daerah dan desentralisasi harus berjalan seiring. Namun demikian keduanya, yakni otonomi daerah dan desentralisasi masing-masing memiliki makna tersendiri. Istilah otonomi daerah lebih cenderung pada aspek yang bersifat politik tentang kekuasaan negara (politicalaspect); sedangkan desentralisasi lebih cenderung pada aspek administrasi negara (administrationaspect) (Stewart, 1988 dan Pide, 1997).

Keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi akan sangat tergantung pada desain, proses implementasi, dukungan politis baik pada tingkat pengambilan keputusan di masing-masing tingkat pemerintahan, maupun masyarakat secara keseluruhan, kesiapan administrasi pemerintahan, pengembangan kelembagaan dan sumberdaya manusia, mekanisme koordinasi untuk meningkatkan kinerja aparat birokrasi, perubahan sistem nilai dan perilaku birokrasi dalam memenuhi keinginan masyarakat khususnya dalam pelayanan sektor publik.

Litvack et. al. (1998) memberikan argumen yang mendukung desentralisasi dengan mengatakan bahwa pelayanan publik yang paling efisien seharusnya diselenggarakan oleh wilayah yang memiliki kontrol geografis yang paling minimum karena: (1) Pemerintah lokal sangat menghayati kebutuhan masyarakatnya; (2) Keputusan pemerintah lokal sangat responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sehingga mendorong pemerintah lokal untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal dari masyarakat; dan (3) Persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah lokal untuk meningkatkan inovasinya.

No comments:

Post a Comment