Tuesday, October 19, 2021

Teori Hypersonal Model (skripsi dan tesis)

 


Hyperpersonal Model merupakan teori komunikasi yang berdalil bahwa
komputer memediasikan komunikasi hyperpersonal. Anggapan tersebut
merupakan simpulan dari komputer yang menjadi sebagai alat pengirim pesan
affords hingga dapat memberikan sejumlah keuntungan komunikatif atas interaksi
tatap muka luring atau secara tradisional. Bila dibanding dengan situasi kegiatan
tatap muka biasa secara langsung, pengirim pesan hyperpersonal ini memiliki
kemampuan yang jauh lebih besar guna memajukan pengembangan strategis dan
mengedit presentasi diri, memungkinkan presentasi selektif serta dioptimalkan
dari diri sendiri kepada orang lain (Putra, 2017).
Model hyperpersonal komunikasi yang melalui komputer atau yang disebut
juga dengan Computer-mediated communication (CMC) didefinisikan sebagai
komunikasi manusia apa pun yang terjadi melalui penggunaan dua atau lebih
perangkat elektronik (McQuail, 2010). CMC dibangun untuk mengelola tayangan
dan memfasilitasi hubungan yang diinginkan, untuk menyusun pesan waktu,
perilaku mengedit, bahasa pribadi, kompleksitas kalimat, dan relasional nada
dalam pesan awal mereka dengan target yang berbeda, serta kesadaran kognitif
yang terkait dengan proses-proses ini. Efek pada beberapa proses-proses dan hasil
diperoleh dalam menanggapi sasaran yang berbeda itu lah yang mendukung
perspektif dari hyperpersonal CMC .
Cara mengungkapkan unsur-unsur dasar komunikasi dalam membawa ke
fokus proses dasar yang terjadi saat setiap individu memenuhi dan
mengembangkan hubungan masing-masing dengan mengandalkan pesan-pesan
diketik sebagai mekanisme utama ekspresi adalah aspek yang paling menarik dari
kemunculan CMC ini. Model CMC hyperpersonal berpendapat bahwa pengguna
CMC memanfaatkan dari menawarkan saluran secara dinamis dalam rangka
meningkatkan hasil relasional mereka. Hal ini unik dalam fokus pada affordances
teknologi yang bukan keterbatasan medium. Dengan ini, pengguna tertarik dalam
rangka meningkatkan proses normal diri penyajian dan pengelolaan kesan melalui
penciptaan pesan (Putra, 2017).
CMC dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu bentuk sinkron dan asinkron,
serta beberapa mekanisme dan proses dari model hyperpersonal komunikasi yang
mengusulkan untuk memfasilitasi diri dalam penyajian dialog daring. Pertama,
CMC dapat diedit, hal tersebut dikarenakan bahwa CMC ini terikat akan
penggunaan keyboard, sehingga memungkinkan pengguna untuk mengubah apa
yang telah mereka ketik sebelumnya, sebelum mereka mengirimkan pesan
tersebut kepada penerima yang dituju. Hampir semua sistem asinkron
menawarkan system editing yang tinggi, dan banyak program email
memungkinkan komposisi dan pengeditan pesan yang kurang fleksibel dari
pengolahan kata. Sistem pengeditan ini jauh lebih mudah dan modern dibanding
penggunaan pensil dan kertas. Sistem pengeditan lebih mendorong untuk
mengedit dari penggunaan pensil dan kertas. Hal tersebut sangatlah kemajuan
yang sangat luar biasa, kemampuan untuk mengubah konten dan tampilan pesan
sebelum diutarakan sangat mustahil dilakukan dengan kegiatan komunikasi
tradisional secara langsung. (Romiszowski & de Haas, 1989).
Kedua, dalam system model ini, pengguna memiliki waktu yang sangat
tidak terbatas untuk berkomunikasi dengan pengguna lainnya, hal tersebut
termasuk dalam ketidak terbatasannya waktu untuk menulis dan juga mengedit
pesan yang nantinya akan dikirimkan kepengguna lainnya. Selain itu juga, yang
berbeda dengan kegiatan komunikasi tradisional adalah CMC mampu mengurangi
kecanggungan dalam komunikasi bersosial (Hesse et al., 1988).

Depresi Pada Remaja (skripsi dan tesis)

 


Gangguan depresi merupakan salah satu gangguan kesehatan jiwa paling
umum di dunia, terutama pada usia remaja. Gangguan psikologis ini tak hanya
dapat memberikan dampak pada kehidupan sosial remaja, aspek akademik pada
remaja pun turut terganggu akan hal tersebut. Gangguan depresi dapat
memberikan dampak besar pada populasi muda Indonesia, karena Indonesia
adalah salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk muda terbanyak di
dunia. Upaya yang dilakukan oleh sektor-sektor dalam menginterverensi
gangguan depresi masih perlu ditingkatkan lagi. Terutama penurunan stigma akan
penyakit psikologis ini dan juga edukasi mengenai gangguan depresi yang
mempengaruhi persepsi masyarakat mengenai orang dengan gangguan depresi
harus segera dicapai. (Pratiwi et al., 2020).
Depresi pada remaja sering kali sangat sulit untuk dikenali. Hal Ini
memberikan dampak pada 5-8% individu usia remaja. Spektrum klinis penyakit
ini dapat berkisar dari kesedihan sederhana hingga depresi berat atau bahkan
gangguan bipolar. Faktor risiko dapat berupa riwayat keluarga depresi dan kinerja
sekolah yang buruk. Evaluasi harus mencakup penilaian medis lengkap untuk
menyingkirkan penyebab medis yang mendasarinya. Wawancara klinis terstruktur
dan berbagai skala penilaian seperti Daftar Periksa Gejala Pediatrik sangat dapat
membantu dalam menentukan apakah seorang anak atau remaja mengalami
depresi. Pedoman pengobatan juga harus berbasis bukti dari literatur terbatas.
Untuk mengatasi hal ini, psikoterapi tampaknya cukup bermanfaat pada sebagian
remaja yang mengalami depresi yang masing tergolong ringan hingga yang
tergolong sedang. Seperti contohnya, psikoterapi seperti antidepresan trisiklik dan
juga inhibitor reuptake serotonin selektif dapat di resepkan untuk mengatasi hal
tersebut, karena psikoterapi tersebut merupakan terapi medis yang telah dipelajari
secara terbatas. Agen terakhir ditoleransi lebih baik tetapi tidak selalu lebih
efektif. Karena risiko kegagalan sekolah bahkan bunuh diri cukup tinggi
dikalangan remaja yang mengalami depresi, maka rujukan yang cepat serta
kolaborasi erat dengan seorang profesional kesehatan mental sering diperlukan.
(Son & Kirchner, 2000)

Depresi (skripsi dan tesis)

 


Depresi adalah gangguan mood yang terkait dengan perasaan sedih, perasaan
tidak berharga, rasa bersalah yang konsisten, serta hilangnya minat dan
kesenangan. Faktor genetik dan lingkungan sangat berpengaruh akan fenomena
ini, seperti halnya akan adanya peristiwa kehidupan awal yang buruk, hal tersebut
diyakini berkontribusi terhadap depresi, tetapi mekanisme yang mendasarinya
tidak sepenuhnya dapat dipahami. Untuk sekarang ini, semakin banyak adanya
bukti yang dapat menunjukkan bahwa gangguan ekspresi atau pensinyalan faktor
neurotropik mungkin merupakan mekanisme patologis bersama dari depresi.
Perubahan pensinyalan neurotropik juga dapat berkontribusi pada depresi
komorbiditas dalam gangguan neurodegenerative, termasuk penyakit Alzheimer
dan Parkinson (Gross & Seroogy, 2020).
Etiologi dari depresi dapat dibagi menjadi beberapa faktor yang
mempengaruhi sehingga seseorang dapat dikategorikan sebagai depresi, faktor –
faktor tersebut adalah sebagai berikut:
a) Faktor biologi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada amin
biogenik, seperti 5 HIAA (5-Hidroksi indol asetic acid), HVA (Homovanilic
acid), MPGH (5 methoxy-0-hydroksi phenil glikol), di dalam darah, urin, dan
cairan serebrospinal pada pasien gangguan mood. Neurotransmiter yang terkait
dengan patologi depresi adalah serotonin dan epineprin. Penurunan serotonin
dapat mencetuskan depresi (Kaplan, 2010). Selain itu aktivitas dopamin pada
depresi adalah menurun. Hal tersebut tampak pada pengobatan yang menurunkan
konsentrasi dopamin seperti respirin dan penyakit dengan konsentrasi dopamin
menurun seperti Parkinson.
Kedua penyakit tersebut disertai gejala depresi. Obat yang meningkatkan
konsentrasi dopamin, seperti tyrosin, amphetamine, dan bupropion, menurunkan
gejala depresi (Kaplan, 2010). Adanya disregulasi neuroendokrin. Hipotalamus
merupakan pusat pengaturan aksis neuroendokrin, menerima input neuron yang
mengandung neurotransmiter amin biogenik. Pada pasien depresi ditemukan
adanya disregulasi neuroendokrin. Disregulasi ini terjadi akibat kelainan fungsi
neuron yang mengandung amin biogenik. Sebaliknya, stres kronik yang
mengaktivasi aksis Hypothalamic- Pituitary-Adrenal (HPA) dapat 6 menimbulkan
perubahan pada amin 4 biogenik sentral.
Aksis neuroendokrin yang paling sering terganggu yaitu adrenal, tiroid, dan
aksis hormon pertumbuhan. Aksis HPA merupakan aksis yang paling banyak
diteliti. Hipersekresi Cortisol Releasing Hormone (CRH) merupakan gangguan
aksis HPA yang sangat fundamental pada pasien depresi. Hipersekresi yang
terjadi diduga akibat adanya defek pada sistem umpan balik kortisol di sistem
limbik atau adanya kelainan pada sistem monoaminogenik dan neuromodulator
yang mengatur CRH (Kaplan, 2010). Sekresi CRH dipengaruhi oleh emosi. Emosi
seperti perasaan takut dan marah berhubungan dengan Paraventriculer nucleus
(PVN), yang merupakan organ utama pada sistem endokrin dan fungsinya diatur
oleh sistem limbik. Emosi mempengaruhi CRH di PVN, yang menyebabkan
peningkatan sekresi CRH. (Kaplan, 2010).
b) Faktor genetik
Penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa angka resiko di antara
anggota keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita depresi berat
(unipolar) diperkirakan 2 sampai 3 kali dibandingkan dengan populasi umum.
Angka keselarasan sekitar 11% pada kembar dizigot dan 40% pada kembar
monozigot (Kaplan, 2010).
c) Faktor psikososial
Menurut Freud dalam teori psikodinamikanya, penyebab depresi adalah
kehilangan objek yang dicintai (Kaplan, 2010). Faktor psikososial yang
mempengaruhi depresi meliputi peristiwa kehidupan dan stresor lingkungan,
kepribadian, psikodinamika, kegagalan yang berulang, teori kognitif, dan
dukungan sosial (Kaplan, 2010). Peristiwa kehidupan yang menyebabkan stres,
lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood dari episode
selanjutnya. Para klinisi mempercayai bahwa peristiwa kehidupan memegang
peranan utama dalam depresi. Klinisi lain menyatakan bahwa peristiwa kehidupan
hanya memiliki peranan terbatas dalam onset depresi. Stresor lingkungan yang
paling berhubungan dengan onset suatu episode depresi adalah kehilangan
pasangan (Kaplan, 2010).
Stresor psikososial yang bersifat akut, seperti kehilangan orang yang 7
dicintai, atau stresor kronis misalnya kekurangan finansial yang berlangsung lama,
kesulitan hubungan interpersonal, ancaman keamanan dapat menimbulkan
depresi. Dari faktor kepribadian, beberapa ciri kepribadian tertentu yang terdapat
pada individu, seperti kepribadian dependen, anankastik, histrionik, diduga
mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya depresi, sedangkan kepribadian
antisosial dan paranoid mempunyai resiko yang rendah (Kaplan, 2010)

Cyberbullying pada Remaja (skripsi dan tesis)

 


Dari banyaknya kasus cyberbullying yang terjadi, hampir sebagian besar
dilakukan oleh anak-anak dan remaja, hal ini terbukti dari data Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sejak tahun 2011 hingga tahun 2016
ditemukan sekitar 253 kasus bullying, terdiri dari 122 anak yang menjadi korban
dan 131 anak menjadi pelaku. Namun, selain anak-anak dan remaja ada juga dari
kalangan selebriti yang menjadi korban tindakan cyberbullying.
Penggunaan teknologi internet yang terus meningkat termasuk pada anak
dan remaja seperti saat ini maka resiko terjadinya cyberbullying pada anak dan
remaja juga semakin besar. Pandie dan Weismann (2016) menyatakan bahwa
kecenderungan remaja untuk menjadi pelaku cyberbullying yang pertama yaitu
dendam yang tidak terselesaikan. Beberapa cara yang dapat dilakukan oleh pelaku
cyberbullying karena dendam yang tidak terselesaikan diantaranya, adalah
flamming (amarah) dan harassment (pelecehan). Flamming (amarah) berbentuk
ujaran dengan menggunakan pesan elektronik dengan bahasa yang agresif atau
kasar. Sementara, harassment (pelecehan) merujuk pada pesan-pesan yang berisi
pesan kasar, menghina atau yang tidak diinginkan, berulang kali mengirimkan
pesan berbahaya untuk seseorang secara online. Selain karena dendam yang tidak
terselesaikan, Pandie dan Weismann (2016) juga menyebutkan bahwa
cyberbullying dilakukan karena pelaku yang termotivasi (motivated offonder)
untuk melakukan pembajakan, balas dendam, pencurian, atau sekedar iseng. Salah
satu bentuk motivated offonder, yakni sekedar iseng dan dalam istilah bullying
bentuknya adalah:
a) denigration (pencemaran nama baik) yaitu proses mengumbar keburukan
seseorang di internet dengan maksud merusak reputasi dan nama baik seseorang
tersebut;
b) impersonation (peniruan) yaitu dimana seseorang berpura-pura menjadi orang
lain dan mengirimkan pesan-pesan atau status yang tidak baik; dan
c) trickery (tipu daya) yaitu membujuk seseorang dengan tipu daya supaya
mendapatkan rahasia atau foto pribadi orang tersebut. informasi yang berpotensi
memalukan. Alasan lain yang membuat remaja menjadi pelaku cyberbullying
menurut Pandie dan Weismann (2016) adalah faktor kesengajaan karena para
pelaku mungkin tersakiti atau marah karena komunikasi yang dikirimkan dalam
berjejaring sosial. Pelaku cenderung merespon dengan marah atau frustasi

Cyberbullying (skripsi dan tesis)

Saat ini, jumlah aktivitas pengguna di media sosial online tumbuh secara dramatis. Lingkungan online ini memberikan peluang bagus untuk komunikasi dan berbagi pengetahuan. Namun, beberapa orang menyalah gunakan media tersebut untuk melecehkan dan menggertak orang lain secara online, sebuah fenomena tersebut disebut dengan cyberbullying. Efek dari cyberbullying itu sendiri sangat berbahaya bagi orang-orang yang menjadi target dari perilaku tidak terpuji itu, terutama untuk kaum muda yang menginjak masa remaj. Itulah mengapa sangat penting sekali untuk mendeteksi cyberbullying sedini mungkin sebelum menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki kepada para korban. Sebagian besar sumber daya yang tersedia relevan tidak secara eksplisit dirancang untuk mendeteksi cyberbullying, tetapi konten terkait, seperti ucapan kebencian dan bahasa kasar. (Samghabadi et al., 2020). Cyberbullying atau yang dapat disebut juga dengan perundungan dunia maya merupakan suatu aksi perundungan dengan menggunakan teknologi digital. Hal ini dapat terjadi di sosial media melalui berbagai macam platform yang terdapat didalamnya, seperti halnya platform chatting, platform gaming, dan lain segabagainya. Cyberbullying merupakan perilaku berulang yang ditujukan suatu individu atau suatu kelompok untuk individu atau suatu kelompok lainnya dengan tujuan menakuti, membuat marah, atau mempermalukan mereka. Dibanding dengan bentuk-bentuk bullying lainnya, cyberbullying adalah fenomena yang relatif baru yang mencerminkan bagaimana teknologi digital telah merasuki kehidupan sehari-hari (Betts, 2016). Bullying secara langsung atau tatap muka dan cyberbullying seringkali dapat terjadi secara bersamaan. Walaupun pelaku cyberbullying tidak langsung berkontak dengan fisik korban, namun cyberbullying meninggalkan jejak digital atau sebuah rekaman atau catatan yang dapat berguna dan memberikan bukti ketika membantu menghentikan perilaku salah ini (Kwan et al., 2020). Cyberbullying adalah masalah kesehatan masyarakat yang serius yang dihadapi kaum muda yang masih menginjak masa remaja. 

Orang dewasa tidak memiliki pengalaman langsung terlibat dalam media sosial di masa muda mereka dan ini mengharuskan dimasukkannya suara pemuda dalam upaya untuk memahami dan mengatasi penindasan cyber (Dennehy et al., 2020). Cyberbullying dikaitkan dengan konsekuensi mental dan psikososial negatif yang cukup besar pada anak-anak dan remaja, menjadikannya masalah kesehatan masyarakat yang serius. Cyberbullying adalah bentuk intimidasi yang relatif baru dan serius dengan efek sosial dan emosional negatif pada korban dan pelaku. Seperti intimidasi tradisional, cyberbullying adalah fenomena sosial dan sering terungkap dalam konteks jaringan pengamat yang besar. Hasil penelitian menyarankan orang-orang yang menyaksikan cyberbullying kemungkinan besar tidak melakukan apa-apa atau membantu orang tersebut melakukan cyberbullied pada saat itu. Anak perempuan lebih prososial dalam membantu siswa yang mengalami cyberbullied daripada anak laki-laki. Selain itu, para siswa yang mengenal seseorang yang diintimidasi lebih cenderung memberi tahu orang tua dan teman-teman mereka tentang hal itu daripada mereka yang mengenal seseorang yang hanya dari dunia maya. (Campbell et al., 2020).

Remaja (skripsi dan tesis)

Remaja adalah masa peralihan dalam kehidupan suatu individu. Masa peralihan yang dimaksud adalah masa peralihan dari kehidupan anak-anak ke masa kehidupan dewasa. Hal tersebut seringkali ditandai dengan pertumbuhan serta perkembangan sang individu tersebut, baik secara biologis maupun psikologis. Menurut WHO, masa remaja terhitu dimulai dari usia 10 hingga 19 tahun. Bila secara biologis masa peralihan tersebut ditandai dengan tumbuh dan kembangnya organ seks primer dan juga sekunder, maka dalam psikologis hal ini ditandai dengan perubahan sikap, perasaan dan juga emosi. Selain itu, pada peralihan ini akan timbul sejumlah karakteristik baru yang meliputi cara penerimaan dan cara belajar untuk ikut serta dalam peran sosial sebagai individu yang di terima dan dijunjung tinggi oleh masyarakat. Hal tersebut dapat disebut juga pergolakan emosi karena proses adaptasi, dan dalam prosesnya sering sekali remaja merasa ketidaknyamanan serta timbul perasaan cemas. (Indonesia & Psikologi, 2016). 

Masa remaja dimulai dengan perubahan hormon dan tubuh yang signifikan, dan hal ini bertepatan dengan peningkatan tajam dalam masalah kesehatan mental. Dalam dua dekade terakhir, penelitian longitudinal berskala besar menggunakan magnetic resonance imaging (MRI) telah mengungkapkan bahwa otak mengalami perkembangan yang substansial dan berlarut-larut sepanjang masa remaja manusia hingga dewasa. Berbagai jenis jaringan otak di berbagai wilayah otak menunjukkan berbagai pola perkembangan pendewasaan. Volume materi putih meningkat di seluruh otak selama masa remaja dan menuju dewasa. Sebaliknya, volume materi abu-abu kortikal tertinggi pada akhir masa kanak-kanak dan menurun secara substansial - sekitar 1,5% setiap tahun menurut penelitian terbaru - selama masa remaja, sebelum stabil pada pertengahan usia dua puluhan. Daerah otak yang terlibat dalam persepsi dan gerakan (korteks sensorik dan motorik) matang lebih awal daripada daerah lain seperti korteks prefrontal, parietal dan temporal, yang terlibat dalam proses kognitif tingkat tinggi dan terus berkembang menjadi dua puluhan atau tiga puluhan (Blakemore, 2019).

Aspek-Aspek Strategi Coping (skripsi dan tesis)

 


Carver et al. (1989: 267) menyebutkan berbagai aspek strategi
koping, diantaranya:
a. Keaktifan diri, upaya menghilangkan atau menipu sumber stres
atau segera meningkatkan hasil.
b. Rencanakan, pertimbangkan bagaimana mengatasi penyebab
stres, dan pertimbangkan langkah-langkah yang diperlukan untuk
menyelesaikan masalah dengan merumuskan strategi tindakan.
c. Orang dengan pengendalian diri yang kuat membatasi
keikutsertaannya dalam aktivitas kompetitif, jangan bertindak
gegabah.
d. Mencari dukungan sosial yang pada dasarnya bermanfaat, yaitu
sebagai nasehat, bantuan atau informasi.
e. Mencari dukungan sosial emosional, yaitu melalui dukungan moral, simpati atau pengertian.
f. Penerimaan, penuh tekanan dan keadaan memaksanya untuk
mengatasi masalah ini.
g. Religiusitas, sikap pribadi menenangkan dan menyelesaikan
masalah dengan keyakinan agama.
Menurut Folkman (1986), aspek-aspek strategi coping, yaitu:
a. Confrontive coping (berani merespons), secara aktif mengubah
situasi, dan mengambil risiko.
b. Distancing, melakukan upaya kognitif untuk menyingkirkan masalah
atau membuat ekspektasi positif.
c. Self control (pengendalian diri), berusaha mengatur perasaan atau
perilaku seseorang yang berkaitan dengan pemecahan masalah.
d. Seeking social support (mencari dukungan sosial), mencoba
mendapatkan informasi atau dukungan emosional.
e. Accepting responsibility, bertanggung jawab dan terima masalah
yang dihadapi saat mencoba menyelesaikannya.
f. Planful problem solving, selesaikan masalah dengan cara yang
terencana, pikirkan tentang perubahan dan rencana tindakan untuk
menyelesaikan situasi.
g. Positive reappraisal, evaluasi ulang positif berupaya
mengembangkan pemahaman positif tentang situasi dalam proses
pengembangan kepribadian, terkadang religius.