Monday, May 24, 2021

Faktor-faktor Pembentuk Reseliensi (skripsi dan tesis)

 


Menurut Jackson, R. & Watkin, C. (2004) resiliensiadalah
kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit.
Resiliensidibangun dari tujuh kemampuan yang berbeda dan hampir tidak
ada satupun individu yang secara keseluruhan memiliki kemampuan
tersebut dengan baik.
Kemampuan ini terdiri dari :
a. Emotion regulation
Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang dibawah
kondisi yang menekan. Hasil penelitian menunjukan bahwa orang
yang memiliki kemampuan untuk mengatur emosi mengalami
kesulitan dalam membangun dan menjaga hubungan dengan orang
lain. Emosi yang dirasakan oleh seseorang cenderung berpengaruh
terhadap orang lain,. Semakin kita terasosiasi dengan kemarahan
maka kita akan semakin menjadi seseorang yang pemarah.
Revich dan Shatte (2002), mengungkapkan dua buah
keterampilan yang dang dapat memudahkan individu untuk
melakukan regulasi emosi, yaitu tenang dan focus. Dua buah
28
keterampilan ini akan membantu individu untuk mengontrol emosi
yang tidak terkendali, menjaga fokus pikiran individu ketika
banyak hal-hal yang mengganggu, serta mengurangi stres yang
dialami individu.
b. Impulsive control
Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk
mengendalikan keinginan, dorongan, kesuksesan, serta tekanan
yang muncul dalam diri seseorang. Individu yang memiliki
kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat mengalami
perubahan emosi yang pada ahirnya mengendalikan pikiran
pikiran dan perilaku mereka. Mereka menampilkan perilaku
mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif, dan berlaku
agresif. Tentunya perilaku yang ditampakan ini akan membuat
orang disekitarnya merasa kurang nyaman sehingga berakibat
pada buruknya hubungan sosial individu dengan orang lain.
Individu dapat mengendalikan impulsif dengan mencegah
terjadinya kesalahan pemikiran, sehingga memberikan respon
yang tepat pada permasalahn yang ada. Menurut Reivich dan
Shatte (2002), pencegahan dapat dilakukan dengan menguji
keyakinan individu dan mengevaluasi kebermanfaatan terhadap
pemecahan masalah. Individu dapat melakukan pertanyaanpertanyaan
yang bersifat rasional yang ditujukan kepada dirinya
sendiri, seperti “apakah penyimpulan terhadap masalah yang saya
hadapi berdasarkan fakta atau hanya menebak?”, “apakah saya
sudah melihat permasalahan secara keseluruhan?”, “apakah
manfaat dari semua ini?”.
c. Optimism
Individu yang resilien adalah individu yang optimis, optimisme
adalah ketika kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang.
Optimisme yang dimiliki oleh seorang individu menandakaan
bahwa individu tersebut percaya bahwa dirinya memiliki
kemampuan untuk mengatasi kemalangan yang mungkin terjadi
dimasa depan. Hal ini juga mereflesikan self-eficacy yang dimiki
oleh seseorang, yaitu kepercayaan individu bahwa ia mampu
menyelesaikan permasalahan yang ada dan mengendalikan
hidupnya. Optimisme akan menjadi hal yang sangat bermanfaat
untuk individu bila diiringi dengan self eficacy, hal ini
dikarenakan dengan optimisme yang ada seorang individu terus
didorong unutk menemukan solusi permasalahan dan terus bekerja
keras demi kondisi yang lebih baik.
Tentunya optimisme yang dimaksut adalah optimisme yang
realistis, yaitu sebuah kepercayaan akan terwujudnya masa depan
yang lebih baik dengan diiringi segala usaha untuk mewujudkan
hal tersebut. Berbeda dengan unrealistic optimism dimana
kepercayaan akan masa depan yang cerah tidak dibarengi dengan
usaha yang significant untuk mewujudkanya. Perpaduan antara
optimisme yang realistis dan self-eficacy adalah kunci
resiliensidan kesuksesan.
d. Causal analysis
Causal analysis adalah kemampuan individu untuk
mengeidentifikasi secara akurat penyebab dari permasalahan yang
mereka hadapi. Seligman mengidentifikasikan gaya berpikir
explanatory yang erat kaitanya dengan kemampuan causal
analysis yang dimiliki individu. Gaya berpikir explanatory dalam
tiga dimensi, yaitu:
1. Personal (saya-bukan saya)
Individu dengan gaya berpikir saya adalah individu yang
cenderung menyalahkan diri sendiri atas hal yang tidak
berjalan semstinya. Sebaliknya, individu dengan gaya berpikir
bukan saya meyakini penjelasan eksternal atas kesalahan yang
terjadi.
2. Permanen (selalu-tidak selalu)
Individu yang pesimis cenderung berasumsi bahwa suatu
kegagalan atau kejadian buruk akan terus berlangsung.
Sedangkan individu yang optimis cenderung berpikir bahwa
ia dapat melakukan suatu hal terbaik pada setiap kesempatan
dan memandang kegagalan sebagai ketidak berhasilan
sementara.
3. Pervasive (semua tidak semua)
Individu dengan gaya berpikir semua, melihat kemunduran
atau kegagalan pada suatu area kehidupan ikut menggagalkan
area kehidupan lainya. Individu dengan gaya berpikir tidak
semua dapat menjelaskan secara rinci penyebab dari masalah
yang ia hadapi.
Individu yang resilien tidak akan menyalahkan orang lain atas
kesalahan yang mereka perbuat demi menjaga self-esteem mereka
atau membebaskan mereka dari masalah. Mereka tidak terlalu
berfokus pada faktor-faktor yang berada diluar kendali mereka,
sebaliknya mereka memfokuskan dan memegang kendali penuh
pada pemecahan masalah, perlahan mereka mulai mengatasi
permasalah yang ada, mengarahkan hidup mereka, bangkit dan
meraih kesuksesan.
e. Empaty
Empati sangat erat kaitanya dengan kemampuan individu
untuk membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis
orang lain. Beberapa individu memiliki kemampuan yang cukup
mahir dalam menginterprestasikan bahasa-bahasa nonverbal yang
32
ditunjukan oleh orang lain, seperti ekspresi wajah, intonasi suara,
bahasa tubuh dan mampu menangkap apa yang dipikirkan dan
dirasakan orang lain. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki
kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang
positif.
Ketidakmampuan berempati berpotensi menimbulkan kesulitan
dalam hubungan sosial. ketidakmampuan individu untuk membaca
tanda-tanda nonverbal orang lain dapat sangat merugikan, baik
dalam konteks hubungan kerja maupun hubungan personal, hal ini
dikarenakan kebutuhan dasar manusia untuk dipahami dan
dihargai. Individu dengan empati yang rendah cenderung
mengulang pola yang dilakukan oleh individu yang resilien, yaitu
menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain.
f. Self eficacy
Self eficacy adalah hasil dari pemecahan masalah yang
berhasil. Self eficacy mempresentasikan sebuah keyakinan bahwa
kita mampu memcahkan masalah yang kita alami dan mencapai
kesuksesan. Kepercayaan akan kompetensi membantu individu
untuk tetap berusaha, dalam situasi yang penuh tantangan dan
mempengaruhi kemampuan untuk mempertahankan harapan.
Individu dengan self eficacy yang tinggi memiliki komitmen
dalam memecahkan masalahnya dan tidak menyerah ketika
menemukan strategi yang sedang digunakanya tidak berhasil. Self
eficacy adalah hasil pemecahan masalah yang berhasil sehingga
seiring dengan individu membangun keberhasilan sedikit demi
sedikit dalam memcahkan masalah, self eficacy tersebut akan terus
meningkat. Self eficacy tersebut merupakan hal yang sangat
penting untuk mencapai resiliensi.
g. Reaching out
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa
resiliensilebih dari sekedar bagaimana seseorang individu
memiliki kemampuan unutk mengatasi kemalangan dan bangkit
dari keterpurukan, namun lebih dari itu resiliensijuga merupakan
kemampuan individu meraih aspek positif dari kehidupan setelah
kemalangan yang menimpa.
Banyak individu yang tidak mampu melakukan reaching out,
hal ini dikarenakan mereka telah diajarkan sejak kecil untuk
mendapatkan sedapat mungkin menghindari kegagalan dan situasi
yang memalukan. Mereka adalah individu-individu yang lebih
memilih memiliki kehidupan standar dibandingkan harus meraih
kesuksesan namun harus berhadapan dengan resiko kegagalan
hidup dan hinaan masyarakat. Hal ini menunjukan kecenderungan
individu untuk berlebih-lebihan dalam memandang kemungkinan
hal-hal buruk yang dapat terjadi dimasa mendatang. Individu34
individu ini memiliki rasa ketakutan untuk mengoptimalkan
kemampuan mereka hingga batas akhir.

No comments:

Post a Comment