Sunday, March 31, 2024

Jenis-jenis Komitmen Organisasional

 


Meyer & Allen (1997) membedakan komitmen organisasi menjadi
tiga komponen yaitu affective commitment, continuance commitment,
dan normative commitment.
a. Komitmen afektif (affective commitment)
Menurut Meyer, Allen, & Smith (1993) menyatakan bahwa
karyawan dengan komitmen afektif yang kuat akan tetap berada
dalam organisasi karena karyawan memang menginginkannya.
Pernyataan serupa mengenai komitmen afektif juga disampaikan
kembali oleh Meyer & Allen (1997). Meyer & Allen (1997)
menyatakan bahwa komitmen afektif berkaitan dengan hubungan
emosional anggota pada organisasi dan keterlibatan anggota dengan
organisasi. Anggota organisasi dengan tingkat komitmen afektif
tinggi akan terus menjadi anggota organisasi karena individu tersebut
memang mempunyai dorongan hati untuk tetap berada di organisasi.
Menurut Meyer, Allen, & Smith (1993) terdapat enam indikator yang
dapat digunakan untuk mengukur komitmen afektif, yaitu:
1) Karyawan akan merasa senang untuk menghabiskan perjalanan
karirnya hingga akhir bersama organisasi.
2) Karyawan merasa bahwa masalah organisasi menjadi tanggung
jawabnya.
3) Karyawan mempunyai rasa memiliki yang kuat terhadap
organisasi.
4) Karyawan merasa terikat secara emosional dengan organisasi.
5) Karyawan merasa menjadi bagian keluarga dari organisasi.
6) Karyawan merasa bahwa organisasi memiliki makna personal
bagi karyawan.
b. Komitmen berkelanjutan (continuance commitment)
Komitmen berkelanjutan menurut Allen & Meyer (1993)
merupakan komitmen yang berkaitan dengan kesadaran anggota
organisasi mengenai biaya yang dapat muncul ketika meninggalkan
organisasi. Komitmen ini membuat anggota akan merasa rugi jika
anggota organisasi meninggalkan organisasi. Anggota yang
memiliki komitmen berkelanjutan tinggi akan terus menjadi anggota
karena membutuhkannya untuk menjadi anggota organisasi. Meyer,
Allen, & Smith (1993) mengukur komitmen berkelanjutan dengan
enam indikator berikut:
1) Karyawan merasa jika bertahan dengan organisasi adalah suatu
kebutuhan dan keinginan.
2) Karyawan merasa sulit untuk meninggalkan organisasi, bahkan
jika memang menginginkannya.
3) Karyawan merasa kehidupannya akan terganggu jika
meninggalkan organisasi.
4) Karyawan merasa memiliki terlalu sedikit pilihan untuk
mempertimbangkan keluar dari organisasi.
5) Karyawan merasa tidak mungkin untuk mempertimbangkan
bekerja di tempat lain karena sudah terlalu banyak berbaur
dengan organisasi.
6) Jika karyawan meninggalkan organisasi, karyawan akan
berhadapan dengan konsekuensi negatif yaitu kelangkaan
alternatif yang ada.
c. Komitmen normatif (normative commitment)
Allen & Meyer (1990) menyatakan bahwa komitmen normatif
adalah komitmen yang menjelaskan rasa terikat terhadap organisasi.
Komitmen ini mencerminkan kewajiban anggota organisasi untuk
mempertahankan keanggotaannya atau tetap bertahan di organisasi.
Anggota dengan komitmen normatif tinggi akan terus menjadi
anggota organisasi karena merasa dirinya harus berada dalam
organisasi tersebut (Meyer, Allen, & Smith, 1993). Meyer, Allen, &
Smith (1993) juga menyebutkan bahwa karyawan akan berusaha
dalam bekerja bagi organisasi karena merasa bertanggung jawab atas
tunjangan kompensasi yang diterima dari organisasi. Indikator untuk
mengukur komitmen normatif menurut Meyer, Allen, & Smith
(1993) juga terdiri dari enam poin, yaitu:
1) Karyawan merasa memiliki kewajiban untuk tetap bekerja pada
organisasi.
2) Karyawan merasa tidak tepat untuk meninggalkan organisasi,
meskipun itu untuk keuntungan karyawan.
3) Karyawan merasa bersalah jika saat ini meninggalkan
organisasi.
4) Karyawan merasa organisasi layak mendapat kesetiannya.
5) Karyawan merasa memiliki kewajiban kepada orang-orang yang
berada dalam organisasi, sehingga karyawan tidak akan
meninggalkan organisasi saat ini.
6) Karyawan merasa berhutang pada organisasi.

No comments:

Post a Comment