Thursday, March 7, 2024

Hubungan antara Persepsi terhadap Budaya Organisasi Dengan Komitmen organisasi

 


Ray (Dalam Bate, 1994) mengatakan bahwa strategi kontrol terbaru
menunjukkan bahwa menajemen puncak menginginkan karywan mempunyai
ikatan langsung dengan tujuan dan nilai-nilai dominan organisasi agar emosi dan
sentimennya aktif sehingga menimbulkan loyalitas, ketekunan, dan komitmen
pada organisasi. Sistem kontrol yang muncul dari budaya organisasi adalah sistem
kontrol implisit yang didasarkan atas internalisasi nilai-nilai dan pengertian
bersama.
Komitmen merupakan salah satu faktor penting bagi tercapainya tujuan
organisasi, karena komitmen dianggap memiliki kaitan langsung dan positif
dengan hasil kerja yang diharapkan. Komitmen yang tinggi berkorelasi dengan
rendahnya pindah kerja, kelambatan dapat dikurangi, rendahnya tingkat mangkir
kerja dan meningkatkan kepuasan kerja. (Randall,1987).
Buchana (dalam Vandenberg dan Lance, 1992) berpendapat bahwa
komitmen adalah sebagian penerimaan karyawan atas nilai-nilai organisasi,
keterlibatan secara psikologis, dan loyalitas. Komitmen merupakan sebuah sikap
dan perilaku yang saling mendorong antara satu dengan yang lainnya. Karyawan
yang komitmennya tinggi pada organisasi, akan menunjukkan perilaku dan sikap
yang positif pada lembaganya, karyawan akan memiliki jiwa untuk tetap membela
organisasinya, berusaha untuk meningkatkan prestasi, dan memiliki keyakinan
pasti untuk membantu mewujudkan tujuan organisasi. Dengan kata lain komitmen
karyawan terhadap organisasinya adalah kesetiaan karyawan terhadap
organisasinya, disamping itu akan menimbulkan loyalitas serta mendorong
keterlibatan diri karyawan diri dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu
komitmen akan menimbulkan rasa ikut memiliki bagi karyawan terhadap
organisasinya. Hal itu diharapkan dapat berjalan dengan baik sehingga mencapai
kesuksesan dan kesejahteraan organisasi dalam jangka panjang. Wujud yang lain
adalah perhatian karyawan terhadap upaya ikut menciptakan lingkungan kerja
yang kondusif secara keseluruhan.
Komitmen terhadap organisasi dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satu
faktor yang yang dianggap berperan dalam pembentukan komitmen adalah faktor
faktor kepemimpinan (Mathieu dan Zajal, 1990). Perry (dalam Berling dan
Fullagar,1990) menyebutkan bahwa dalam penelitian yang dilakukan oleh Berling
dan Fullagar dihasilkan bahwa terdapat perbedaan komitmen antara pria dan
wanita. Diterangkan bahwa komitmen pria lebih besar dibandingkan dengan
komitmen wanita yang dipengaruhi terhadap konsep Budaya Organisasi dalam
sebuah perusahaan.
Budaya organisasi dikatakan kuat bila nilai-nilai atau falsafah organisasi
disadari, dipahami, dan menjiwai sebagaian besar anggota dalam organisasi
karena adanya pemahaman bahwa nilai-nilai tersebut mendukung tujuan
organisasi dan tujuan anggotanya. Ketika pemahaman terjadi, maka kontrol tidak
tergantung pada struktur birokrasi formal, tetapi karena aturan-aturan yang tidak
tertulis yang ada didalam batinnya atau jiwanya dan oleh pengertian-pengertian
yang sama diantara karyawan, hal ini pada tahap selanjutnya akan meningkatkan
komitmen organisasi dan loyalitas dalam diri karyawan sehingga membuat
mereka bekerja lebih keras. Budaya yang kuat memungkinkan timbulnya
resvonsivitas karena perusahaan percaya kepada kemampuan kontrol dari
karyawan. Jika organisasi yang mekanistik tergantung pada sistem kontrol
tradisional, seperti peraturan dan prosedur, maka organisasi ya ng responsif lebih
tergantung pada kontrol normatif. Artinya dengan cara mengontrol nilai-nilai,
keyakinan pikirasn maupun perasaan yang mendasari tindakan karyawan. Dengan
kata lain, perilaku karyawan diatur oleh suatu rangkaian tradisi dan keyakinan
bersama yang kuat, atau biasa disebut dengan budaya yang kuat.
Buchana (dalam Vandenberg dan Lance, 1992) mengatakan bahwa jika
karyawan merasa jiwanya terikat dengan nilai-nilai budaya organisasi yang ada,
maka dia merasa senang dalam bekerja. Mereka akan melakukan tugas dan
kewajibanya dengan baik, serta mengerjakan secara tulus iklas, sehingga
diharapkan dapat mengurangi dampak terhadap absensi, turn over, dan
keterlambatan bekerja. Dengan demikian akan muncul komitmen organisasi dan
sekaligus akan menambah kesetiaan karyawan terhadap organisasi yang
bersangkutan.
Dessler (1994) mengatakan bahwa dibawah kontrol normatif, anggota
organisasi berusaha keras meraih tujuan organisasi bukan karena adanya faktor
fisik maupun karena sanksi atau penghargaan ekonomi. Namun perilaku individu
(anggota organisasi) tersebut muncul karena dorongan komitmen internal,
identifikasi yang kuat dengan tujuan perusahaan, dan kepuasan intrinsik yang
didapat dari pekerjaannya.

No comments:

Post a Comment