Friday, September 29, 2023

Keadilan Interaksional

 


Keadilan interaksional merupakan kunci terbentuknya motivasi kerja dan komitmen
terhadapmorganisasi. Keadilan interaksional terkait dengan kombinasi antara kepercayaan
seorang bawahan terhadap atasannya dengan keadilan yang nampak dalammlingkungan kerja
sehari-hari (Bass, 2003). Dalam keadilanminteraksional diasumsikan bahwa manusia sebagai
anggotaokelompok masyarakat sangat memperhatikan tanda-tanda atau simbol-simbol yang
mencerminkan posisi mereka dalam kelompok (Tyler dikutip oleh Faturochman, 2002).
Oleh karenanya, manusia berusaha memahami, mengupayakan, dan memelihara
hubunganmsosialmdalam kelompok atau organisasi (Faturochman, 2002). Adanya hubungan
antarampembuat keputusan (decision maker) dengan penerima (receiver), dapat
membentukmkriteria interpersonal. Kriteriamyang dapat membentuk, karena adanya empati,
social sensitivity dan consideration. Empati berartimapakah pembuat keputusan dapat
mengenali atau memahami perasaan individu disekitarnya (melibatkan kemampuan untuk
masuk ke dalam perspektif orang disekitarnya), social sensitivity adalah apakah pembuat
keputusan memperlakukan individu berdasarkanmmartabat manusia diikuti dengan rasa
hormat terhadap manusia, dan consideration adalahmapakah pembuat keputusan
mendengarkan setiap hal yang berkaitan dengan permasalahan bawahan.
Tyler (1989, 1994) (dalam Faturochman, 2002) menyebutkan ada tiga hal pokok yang
dipedulikan dalamminteraksi sosial yang kemudian dijadikan aspek penting dari keadilan
interaksional. Tigamaspek tersebut adalah:
1. Penghargaan
Penghargaan, khususnya penghargaanmstatus seseorang, tercermin dalam perlakuan,
khususnya dari orang yang berkuasa, terhadap anggota kelompok. Isu-isu tentang
perlakuan bijakmdan sopan, menghargai hak, dan menghormati adalah bagian dari
penghargaan, makin baik kualitasnperlakuan dari kelompok atau penguasa terhadap
anggotanya maka interaksinya dinilai makin adil. Perlakuanmyang menunjukkan
penghargaan terhadap orang lain bisa dalam bentuk kata-kata, sikap, ataupun tindakan.
Bentuk-bentuk penghargaanmyang positif anatara lain adalah respons yang cepat
terhadapmpertanyaan atau persoalan yang diajukan, apresiasimterhadap pekerjaan orang
lain, membantu, memuji atas tindakan yang benar dan hasil yang baik, dan seterusnya.
Sebaliknya, memaki, membentak, menyepelekan, mengabaikan, menghina, mengancam,
dan membohongimadalah bentuk-bentuk sikap dan perilaku yang bertolak belakang
dengan penghargaan (Donovan dkk., 1998 dalam Faturochman, 2002).
2. Netralitas
Konsep tentang netralitas berangkat dari keterlibatan pihak ketiga ketika ada
masalahmhubungan sosial antara satu pihak dengan pihak lain. Namun, konsepmini juga
bisa diterapkan pada hubungan sosial yang tidak melibatkan pihak ketiga. Netralitas dapat
tercapai bilamdasar-dasar dalam pengambilan keputusan, misalnya, menggunakanmfakta,
bukan opini, yang objektif dan validitasnya tinggi. Aspekmini juga mangandung makna
bahwa dalam melakukan relasi sosial tidak ada perlakuan dari satu pihak yangmberbedabeda terhadap pihak lain. Hal ini akanmtampak saat terjadi konflik di dalam kelompok,
baik yang bersifat personal, antarkelompok kecil, maupun anggota dengan kelompok
(pimpinan). Pemihakan masih dibenarkanmbila menunjuk pada norma atau aturan yang
sudah disepakati.
3. Kepercayaan
Aspek keadilan interaksionalmyang paling dikaji adalah kepercayaan. Tampaknya
kepercayaan telah menjadi isu tersendiri yang implikasinyamdalam kehidupan sosial besar.
Ahli sosiologi dan ekonomi. Misalnya, menekankan kajian tentang kepercayaanmsebagai
fenomena institusional. Dengan demikian, kepercayaanmbiasanya dikonseptualisasikan
sebagai fenomena dalam lembaga atau antar lembaga. Sebaliknya, mereka yang
mendalammteori kepribadian akan menekankan pada perbedaan individu dalam membahas
soal kepercayaan. Menurut pandangan ini, kepercayaanmmerupakan keyakinan, harapan,
atau perasaan yang berakar kepada kepribadian yang berkembang dari awal masa
pertumbuhan individu yang bersangkutan. Kepercayaanmpada atau terhadap orang lain
(trust) berbeda dengan kepercayaan diri (confident). Perbedaan yang paling mendasar
terletak padampersepsi dan atribusi (Meyerson, Weick & Kramer, 1996).
Pada level individu, keduanyamkadang sulit dibedakan, tetapi dengan mengambil
posisi sendiri atau dengan orang lain, keduanya akan mudahmdibedakan. Ketika seseorang
memiliki kepercayaan terhadap orang lain, diamjustru dalam posisi berisiko. Hal ini
akanmterbukti ketika (berharap) orang lain dapat dipercaya ternyata mengecewakan, resiko
itu benar-benar harusmditanggung yang secara psikologis dapat berbentuk rasa frustasi,
marah, atau yang lain.
Sementara itu, kepercayaan dirimsering menyebabkan seseorang lebih berani untuk
mengambil risiko. Di sini justru kepercayaan diatribusikan padamdirinya sendiri.
Meskipun demikian, orang yang percayamdiri tidak berarti kurang mempercayai orang
lain. Melalui penilaianmrefleksi, yaitu memandang orang lain berdasarkan padamkeadaan
diri sendiri, orang yang percaya diri justru cenderungmlebih mempercayai orang lain
dibandingkan dengan orang yang kurang percaya diri (Murray dkk., 1998 dalam
Faturocman, 2002).

No comments:

Post a Comment