Friday, April 9, 2021

Work-Family Conflict (Konflik Pekerjaan-Keluarga) (skripsi dan tesis)

 

Greenhaus dan Beutell dalam Reddy (2010:17) mendefinisikan work-family conflict adalah salah satu bentuk konflik peran ganda dimana tekanan peran dari pekerjaan dan keluarga tidak dapat disejajarkan atau saling bertentangan di beberapa aspek. Menurut Susanto (2010:78) work-family conflict adalah konflik yang terjadi pada individu akibat menanggung peran ganda, baik dalam pekerjaan (work) maupun keluarga (family), di mana karena waktu dan perhatian terlalu tercurah pada satu peran saja, sehingga tuntutan peran lain tidak bisa dipenuhi secara optimal. Timbulnya sebuah konflik biasanya terjadi pada saat seseorang berusaha memenuhi tuntutan peran dalam pekerjaan dan usaha tersebut dipengaruhi oleh kemampuan orang yang bersangkutan untuk memenuhi tuntutan keluarganya, atau sebaliknya, di mana pemenuhan tuntutan peran dalam keluarga dipengaruhi oleh kemampuan orang tersebut dalam memenuhi tuntutan pekerjaannya (Frone dan Copper dalam Asra 2013:17) Seseorang yang bekerja dan telah berkeluarga mempunyai dua peranan yang sama penting, dimana di dalam pekerjaan dituntut untuk professional dalam mencapai tujuan perusahaan, sedangkan ketika berada dalam keluarga ia memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk mengurus rumah tangga. Dalam menjalani kedua peran tersebut sekaligus tidak mudah, sehingga dalam pelaksanaannya akan terjadi benturan tanggung jawab antara pekerjaan dengan kehidupan keluarga. Kesulitan dalam memenuhi tuntutan pekerjaan dan keluarga yang sering kali 10 bertentangan dapat menyebabkan terjadinya konflik pekerjaan-keluarga (Bedeian, et al., dalam Putri 2013:22)

Hubungan Dukungan Sosial Suami dengan Konflik Pekerjaan Keluarga (skripsi dan tesis)

 

 Sarafino (dalam Smet, 1994) menyatakan bahwa dukungan sosial adalah suatu kesenangan yang dirasakan sebagai perhatian, kepeduliaan, penghargaan dan pertolongan yang diterima dari orang lain atau suatu kelompok. Dukungan sosial terbagi ke dalam beberapa aspek di antaranya adalah dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental dan dukungan informasi. Dukungan emosional merupakan dukungan yang diterima dari orang-orang terdekat seperti suami. Dukungan diberikan dalam bentuk perhatian atau pengertian dan kasih sayang (Sarafino dalam Purba, 2007). Pada wanita yang bekerja sebagai perawat biasanya mengalami permasalahan yang berkaitan dengan jadwal pekerjaan yang tidak fleksibel sehingga akan membuat waku dengan keluarga menjadi berkurang. Pernyataan tersebut sependapat dengan Kim dan Ling (2001) bahwa jadwal pekerjaan yang tidak fleksibel membuat wanita tidak dapat mengatur waktu dengan keluarga, seperti mengerjakan hobi bersama. Dukungan emosional yang diterima dari suami penting bagi istri dalam mengelola konflik pekerjaan-keluarga yang berbentuk time-based conflict yaitu konflik yang terjadi karena tuntutan waktu dari peran yang satu mempengaruhi partisipasi dalam peran lain (Greenhaus & Beutell 1985). Misalnya suami memberikan kepercayaan pada istri atas kegiatan yang dilakukan di luar rumah, seperti ketika harus tugas siaga on call di rumah sakit (Aycan & Eskin, 2005). Lebih lanjut menurut Aycan dan Eskin (2005) bahwa dengan adanya dukungan emosional dari suami dapat memberikan rasa aman dan nyaman pada saat istri melakukan kegiatan di rumah maupun di luar rumah. Namun, ketika suami tidak dapat memberikan dukungan emosional kepada istri maka istri akan merasa tidak mendapatkan perlindungan dan perhatian dari suami, sehingga akan meningkatkan konflik pekerjaan-keluarga dalam segi time-based conflict, hal tersebut akan mempengaruhi kualitas hubungan anggota keluarga (Apollo & Cahyadi, 2012). Dukungan instrumental merupakan bantuan secara langsung dan nyata seperti mengambil alih pekerjaan istri ketika di rumah. Dukungan diberikan untuk meringankan beban tuntutan keluarga serta dapat mempermudah individu dalam berperilaku yang bertujuan positif (Sarafino dalam Purba, 2007). Wanita yang bekerja sebagai perawat biasanya dihadapkan pada permasalahan jam kerja yang berlebihan. Banyaknya waktu yang digunakan wanita untuk bekerja akan meningkatkan time-based conflict, karena waktu yang dihabiskan untuk keluarga menjadi berkurang, akibatnya wanita tidak dapat mengurus tanggung jawab  sebagai ibu rumah tangga secara optimal.

 Dukungan instrumental meliputi bantuan dalam mengurus rumah tangga dan pengasuhan anak. Misalnya suami menggantikan posisi istri dalam mengasuh anak pada saat istri harus tugas siaga on call di rumah sakit (Aycan & Eskin, 2005). Sehingga dengan adanya dukungan ini akan memudahkan istri untuk dapat memenuhi tanggung jawab dalam menjalankan perannya sehari-hari (Purba, 2007) dan dapat mengurangi tekanan sebagai orang tua yang akan menyebabkan konflik pekerjaan-keluarga (Soeharto, 2013). Namun ketika suami tidak ikut serta dalam membantu mengurus rumah seperti mengasuh anak akan menghambat aktivitas kerja istri. Misalkan istri harus absen tidak dapat memenuhi tugas siaga on call rumah sakit karena di rumah anak tidak ada yang menemani. Tidak adanya dukungan instrumental ini akan meningkatkan konflik pekerjaan-keluarga dalam segi time-based conflict (Soeharto, 2013). Dukungan informasi merupakan bentuk dukungan berupa nasehat, petunjuk-petunjuk, saran atau umpan balik dan pemberian informasi bagaimana cara memecahkan persoalan sehingga individu mendapatkan jalan keluar (Sarafino dalam Purba, 2007). Tugas perawat ketika di rumah sakit yang begitu banyak serta monoton meningkatkan konflik pekerjaan keluarga dari segi strainsbased conflict (Almasitoh, 2011). Dengan keadaan yang seperti itu, akan berpengaruh pada wanita saat menjalankan perannya di dalam keluarga. Dukungan informasi ini dapat membantu menurunkan ketegangan (Strains-based conflict) yang dialami oleh wanita. Adanya dukungan informasi yang diberikan oleh suami terhadap istri, yang pernah mengalami keadaan serupa akan membantu 26 istri memahami situasi dan mencari alternatif pemecahan masalah atau tindakan yang akan diambil (Moertono dalam Purba, 2007). Ketika istri mempunyai masalah tetapi suami tidak membantu menyelesaikannya maka akan menyebabkan distres, seperti kelelahan fisik, timbul sikap keragu-raguan dalam menjalankan perannya, menurunnya motivasi, gangguan tidur, karena istri merasa tidak ada yang membantu menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi. Hal ini dapat meningkatkan konflik pekerjaan-keluarga dalam segi strains-based conflict (Apollo dan Cahyadi, 2012). Bentuk lain dari dukungan sosial yaitu dukungan penghargaan, dukungan ini terjadi melalui ungkapan positif atau penghargaan yang positif atas apa yang telah dicapai (Sarafino dalam Purba, 2007). Bantuan penghargaan yang diterima dan dirasakan oleh wanita sangatlah diperlukan untuk memenuhi kebutuhankebutuhannya sehingga wanita dapat terhindar dari konflik pekerjaan. Menurut Sarafino (dalam Purba, 2007) seseorang yang menerima dukungan penghargaan ini akan membangun perasaan berharga, kompeten dan bernilai, sehingga individu tersebut akan terus meningkatkan performa dalam bekerjanya. Misalnya suami memberikan pujian atas prestasi istri di rumah sakit. Namun ketika wanita tidak mendapatkan penghargaan dari suami atas apa yang telah di kerjakan, hal tersebut akan mengakibatkan kepuasan kerja pada wanita menjadi rendah, karena wanita merasa apa yang telah dikerjakan tidak dihargai oleh suami, sehingga enggan untuk meningkatkan performanya dalam bekerja. Hal ini dapat meningkatkan konflik pekerjaan-keluarga dalam segi behavior-based conflict (Frone, Russel & Cooper dalam Apollo & Cahyadi, 2012).

 Penelitian yang berhubungan dengan konflik pekerjaan keluarga yang sejenis dan pernah dilakukan sebelumnya antara lain penelitian yang dilakukan oleh Soeharto (2013) dengan judul “Konflik Pekerjaan-Keluarga Yang Bekerja Ditinjau dari Dukungan Suami”. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan negatif antara dukungan suami dengan konflik pekerjaankeluarga pada ibu yang bekerja. Artinya, semakin tinggi dukungan suami maka semakin rendah pula konflik pekerjaan-keluarga pada ibu yang bekerja, sebaliknya semakin rendah dukungan suami maka konflik pekerjaan-keluarga pada ibu yang bekerja juga semakin tinggi. Selain itu penelitian yang yang dilakukan oleh Apollo dan Cahyadi (2012) dengan judul “Konflik Peran Ganda Perempuan Menikah yang Bekerja Ditinjau dari Dukungan Sosial Keluarga dan Penyesuaian Diri”. Dari penelitian tersebut membuktikan bahwa dukungan sosial keluarga dan penyesuaian diri mempunyai hubungan negatif yang sangat signifikan dengan tingkat konflik peran ganda perempuan menikah yang bekerja. Besarnya dukungan sosial keluarga dan tingginya penyesuaian diri dapat menekan munculnya konflik peran ganda perempuan menikah yang bekerja

Aspek- aspek Dukungan Sosial (skripsi dan tesis)

 

Menurut Sarafino (dalam Purba, 2007) menyatakan bahwa bentuk-bentuk dukungan sosial adalah sebagai berikut: a. Dukungan Emosinal Dukungan emosional merupakan dukungan yang diwujudkan dalam bentuk rasa empati, kepedulian dan perhatian terhadap individu. Biasanya dukungan ini diperoleh dari pasangan atau keluarga, seperti memberikan pengertian terhadap masalah yang sedang dihadapi atau mendengarkan keluhannya. b. Dukungan Penghargaan Dukungan ini terjadi melalui ungkapan positif atau penghargaan yang positif pada individu, dorongan untuk maju atau persetujuan akan gagasan atau perasaan individu dan perbandingan yang positif individu dengan orang lain. Dukungan ini, akan membangun perasaan berharga, kompeten dan bernilai. c. Dukungan Instrumental Dukungan yang berupa bantuan secara langsung dan nyata seperti memberi, meminjamkan uang atau membantu pekerjaan untuk meringankan tugas seseorang. d. Dukungan informasi Merupakan bentuk dukungan berupa nasehat, petunjuk-petunjuk, saran atau umpan balik, pemberian informasi bagaimana cara memecahkan persoalan sehingga individu mendapatkan jalan keluar. 

 Menurut House (dalam Smet, 1994) dukungan sosial terdiri dari empat aspek yaitu: a. Aspek emosional Setiap individu membutuhkan dukungan yang berupa empati, cinta, kepercayaan dan kebutuhan untuk didengarkan orang- orang disekitarnya serta membutuhkan orang lain untuk mendiskusikan perencanaan hidupnya mendatang. b. Aspek Penghargaan Aspek penilaian dapat berupa pemberian penghargaan, sebagai timbal balik terhadap apa yang telah dilakukan dan dapat pula berwujud umpan balik, perbandingan soial ataupun persetujuan. c. Aspek Informasi Aspek ini dapat berupa dukungan sosial secara tidak langsung terhadap individu, memberikan informasi yang dibutuhkan ataupun nasehat-nasehat yang dibutuhkan oleh individu tersebut. d. Aspek instrumental Aspek ini dapat berupa saran untuk mempermudah individu dalam berperilaku yang bertujuan positif dan dapat berupa uang, benda ataupun pekerjaan

Pengertian Dukungan Suami (skripsi dan tesis)


Menurut Mui (dalam Muharnis, 2011) dukungan suami merupakan salah satu sumber dari dukungan sosial. Sarafino (dalam Smet, 1994) menyatakan bahwa dukungan sosial adalah suatu kesenangan yang dirasakan sebagai perhatian, kepeduliaan, penghargaan dan pertolongan yang diterima dari orang lain atau suatu kelompok. Dukungan sosial secara positif dapat memulihkan kondisi fisik dan psikis seseorang, baik secara langsung maupun tidak langsung. Gottlieb (dalam Smet, 1994) dukungan sosial terdiri dari aspek informasi atau nasehat verbal dan non verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau didapat karena kehadiran mereka dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima. Dukungan sosial adalah hubungan interpersonal dan interaksi sosial yang membantu melindungi individudari efek stres Kessler dan Wortman (dalam Aycan & Eskin, 2005). Taylor (dalam Saputri, 2011) menjelaskan dukugan sosial akan lebih berarti bagi seseorang apabila diberikan oleh orang-orang yang memiliki hubungan signifikan dengan individu yang bersangkutan, dengan kata lain, dukungan tersebut diperoleh dari orangtua, pasangan (suami atau istri), anak dan kerabat keluarga lainnya. 

 Sumber-sumber dukungan sosial menurut Kahn dan Antonoucci (dalam Ristianti, 2009) terbagi menjadi 3 kategori yaitu; Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu yang selalu ada sepanjang hidupnya, yang selalu bersama dalam hidupnya. Misalnya keluarga dekat, pasangan (suami / istri) atau temanteman dekat. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sedikit berperan dalam hidupnya dan cenderung beruah sesuai dengan waktu. Sumber ini meliputi teman kerja, tetangga, sanak keluarga dan sepergaulan. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sangat jarang memberi dukungan sosial dan memiliki peran yang sangat cepat berubah. Sumber dukungan yang dimaksud meliputi supervisor, tenaga ahli atau professional dan keluarga jauh. Penelitian yang dilakukan oleh Greenhaus dan Beutell (1983) menemukan bahwa dukungan yang diberikan suami berupa partisipasi yang luas dalam pengasuhan anak dan aktivitas rumah tangga bisa memodernisasi hubungan antara konflik pekerjaan-keluarga yang dialami istrinya. Dukungan suami adalah dorongan untuk memotivasi istri, baik secara moral maupun material (Bobak dalam Rahmadita, 2013)

Faktor-faktor yang mempengaruhi konflik pekerjaan-keluarga (skripsi dan tesis)


Menurut Kim dan Ling (2001) faktor yang mempengaruhi konflik pekerjaan-keluarga adalah sebagai berikut: a. Jam kerja tinggi Jam kerja yang tinggi akan meningkatkan konflik pekerjaan orang tua, karena waktu yang dihabiskan bersama dengan anak akan berkurang, sehingga orang tua perlu membagi waktu khusus untuk berinteraksi dengan anak-anak mereka. Bagi orang tua anak dianggap sesuatu yang harus diprioritaskan, tetapi ibu yang bekerja seringkali merasa bersalah tidak dapat menghabiskan waktu yang lebih banyak dengan anak. b. Jadwal pekerjaan yang tidak fleksibel Wanita yang bekerja memiliki tanggung jawab lebih besar terhadap keluarga. Peran wanita di rumah mengharuskan mereka untuk melakukan berbagai tugas seperti memasak, belanja dan pekerjaan rumah lainnya. Jadwal pekerjaan yang tidak fleksibel juga mempengaruhi waktu dengan pasangan dan keluarga. Kurangnya waktu untuk pasangan adalah penyebab paling umum dari memburuknya hubungan suami istri dengan wanita yang bekerja.  c. Stres kerja Stress kerja membuat ketegangan, yang dapat mempengaruhi fungsi perkawinan. Ketegangan mengarah ke emosi negatif seperti merasa cemas dan mudah tersinggung. d. Dukungan pasangan Wanita mengalami konflik pekerjaan-keluarga karena harus mengelola kedua peran pekerjaan dan keluarga secara bersamaan, di mana pria mendelegasikan tanggung jawab keluarga kepada wanita dan wanita juga harus berkonsentrasi penuh pada karir mereka. Jika pria dapat memberikan dukungan yang lebih besar dalam hal pekerjaan rumah tangga, maka konflik pekerjaan-keluarga tidak akan menjadi masalah besar bagi wanita bekerja. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Longstreth dan Gosselin (dalam Kim & Ling, 2001) menunjukkan bahwa suami dari wanita bekerja jarang membantu dalam pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak. Pembagian tanggung jawab pengasuhan anak dapat mengurangi tingkat konflik pekerjaan pada wanita yang bekerja. Menurut Mui (dalam Muharnis, 2011) faktor yang mempengaruhi konflik pekerjaan-keluarga adalah sebagai berikut: a. Keterlibatan kerja Keterlibatan kerja dikonseptualisasikan sebagai respon psikoogis seseorang terhadap peran kerja atau pekerjaannya saat ini dan pentingnya pekerjaan untuk citra diri seseorang. Hasil studi yang dilakukan oleh Duxbury dan   Higgins (dalam Muharnis, 2011) menunjukkan bahwa tingkat keterlibatan kerja yang tinggi dapat meningkatkan konflik pekerjaan-keluarga. b. Posisi di Perusahaan Semakin tinggi posisi pekerjaan seseorang, maka akan semakin banyak energi dan waktu yang akan dicurahkan dalam pekerjaan. Hal ini akan menyebabkan tingkatan yang lebih tinggi dari konflik pekerjaan-keluarga. c. Dukungan Pasangan Penelitian yang dilakukan Frone (dalam Muharnis, 2011) menunjukkan bahwa dukungan dari pasangan akan mengurangi atau memperkecil dampak psikologis yang merugikan dari peristiwa yang menimbulkan ketegangan dalam hidup. Jika pasangan suami istri saling mendukung satu sama lain dalam kaitannya dengan komitmen pekerjaan masing-masing

Dimensi Konflik Pekerjaan-Keluarga (skripsi dan tesis)

  

Menurut Greenhaus dan Beutell (1985) multi-dimensi konflik pekerjaan-keluarga ada 3 dimensi yaitu: a. Time-based conflict, yaitu konflik yang terjadi karena tuntutan waktu dari peran yang satu mempengaruhi partisipasi dalam peran lain. Konsepkonsep yang termasuk dalam konflik ini di antaranya: waktu bekerja yang berlebihan, kurangnya waktu untuk pasangan atau anak, dan jadwal yang 14 tidak fleksibel. Misalnya, perawat tidak dapat menemani anak saat sakit karena harus siaga on call di rumah sakit. b. Strains-based conflict, yaitu konflik yang disebabkan oleh gejala-gejala stress seperti kelelahan dan mudah marah, yang diakibatkan oleh satu peran mengganggu peran yang lain. Konflik ini melibatkan stres dalam keluarga, pekerjaan dan meluapnya emosi yang negatif. Misalnya, perawat merasa bersalah karena terlalu lelah bekerja tidak dapat memenuhi kebutuhan batiniah suami. c. Behavior-based conflict, yaitu konflik yang terjadi jika tingkah laku tertentu yang dituntut oleh satu peran mempersulit individu dalam memenuhi tuntutan peran yang lain, misalnya tuntutan peran keluarga dengan tuntutan pekerjaan. Misalnya, perawat harus bersikap lembut ketika melayani pasien di rumah sakit dan harus bersikap tegas ketika mendidik anak di rumah. Hal ini dilakukan supaya anak tidak manja. 

Menurut Frone, Russell & Cooper (dalam Rahmadita, 2013) indikatorindikator konflik pekerjaan keluarga adalah: a. Tekanan sebagai orangtua Tekanan sebagai orang tua merupakan beban kerja sebagai orang tua didalam keluarga. Beban yang ditanggung bisa berupa beban pekerjaan rumah tangga karena anak tidak dapat membantu dan kenakalan anak. b. Tekanan perkawinan Tekanan perkawinan merupakan beban sebagai istri didalam keluarga. Beban yang ditanggung bisa berupa pekerjaan rumah tangga karena suami 15 tidak dapat membantu, tidak adanya dukungan suami dan sikap suami yang mengambil keputusan tidak secara bersama-sama. c. Kurangnya keterlibatan sebagai istri Kurangnya keterlibatan sebagai istri mengukur tingkat seseorang dalam memihak secara psikologis pada perannya sebagai pasangan (istri). Keterlibatan sebagai istri bisa berupa kesediaan sebagai istri untuk menemani suami dan sewaktu dibutuhkan suami. d. Kurangnya keterlibatan sebagai orang tua Kurangnya keterlibatan sebagai orang tua mengukur tingkat seseorang dalam memihak perannya sebagai orang tua. Keterlibatan sebagai orang tua untuk menemani anak dan sewaktu dibutuhkan anak. e. Campur tangan pekerjaan Campur tangan pekerjaan menilai derajat dimana pekerjaan seseorang mencampuri kehidupan keluarganya. Campur tangan pekerjaan bisa berupa persoalan-persoalan pekerjaan yang mengganggu hubungan di dalam keluarga yang tersita. Berdasarkan uraian di atas dapat di simpulkan bahwa multi-dimensi dari konflik pekerjaan-keluarga yaitu; time-based conflict, strain-based conflict, behavior-based conflict, tekanan sebagai orang tua, tekanan perkawinan, kurangnya keterlibatan sebagai istri, kurangnya keterlibatan sebagai orang tua dan campur tangan pekerjaan. 

Pengertian Konflik Pekerjaan-Keluarga (skripsi dan tesis)

 

Konflik pekerjaan-keluarga merupakan bentuk dari interrole conflict (konflik antar peran). Menurut Greenhaus dan Beutell (1985) konflik pekerjaan-keluarga adalah konflik yang terjadi pada individu akibat menanggung peran ganda baik dalam pekerjaan (work) maupun keluarga (family), di mana karena waktu dan perhatian terlalu tercurah pada satu peran saja di antaranya (biasanya pada peran dalam dunia kerja), sehingga tuntutan peran lain (dalam keluarga) tidak bisa dipenuhi secara optimal. Konflik pekerjaan-keluarga terjadi saat partisipasi dalam peran pekerjaan dan peran keluarga saling tidak cocok antara satu dengan lainnya, karenanya partisipasi dalam peran pekerjaan terhadap keluarga dibuat semakin sulit dengan hadirnya partisipasi dalam peran keluarga terhadap pekerjaan, stres yang bermula dari satu peran yang spills over ke dalam peran lainnya akan mengurangi kualitas hidup dalam peran tersebut, perilaku yang efektif dan tepat pada satu peran, namun tidak efektif dan tidak tepat saat ditransfer pada peran lainnya (Greenhaus & Beutell, 1985). Menurut Aycan dan Eskin (2005) konflik pekerjaan-keluarga merupakan konflik antar peran yang timbul apabila peran didalam pekerjaan dan peran didalam keluarga saling menuntut untuk dipenuhi, dimana pemenuhan peran yang satu akan mempersulit pemenuhan peran yang lain. Cahyaningdyah (dalam   Pangarso, 2015) menyatakan bahwa konflik pekerjaan-keluarga merupakan bentuk konflik antar peran yang timbul karena pelaksanaan fungsi pada satu peran mengganggu pelaksanaan peran lainnya. Frone, Russell dan Cooper (dalam Rahmadita, 2013) mendefinisikan konflik pekerjaan-keluarga sebagai konflik peran yang terjadi pada karyawan di mana di satu sisi karyawan harus melakukan pekerjaan di kantor dan di sisi lain harus memperhatikan keluarga secara utuh, sehingga sulit menentukan mana yang harus diprioritaskan antara pekerjaan dengan keluarga. Konflik pekerjaan-keluarga terjadi ketika kehidupan rumah seseorang berbenturan dengan tanggung jawabnya di tempat kerja, seperti masuk kerja tepat waktu, menyelesaikan tugas harian, atau kerja lembur. 

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konflik pekerjaankeluarga adalah konflik yang terjadi pada individu akibat menanggung peran ganda, baik dalam pekerjaan (work) maupun keluarga (family), di mana karena waktu dan perhatian hanya tercurah pada satu peran saja yaitu (peran di tempat kerja), sehingga tuntutan peran lain (dalam keluarga) tidak bisa dipenuhi secara optimal.