Showing posts with label hukum. Show all posts
Showing posts with label hukum. Show all posts

Tuesday, November 7, 2023

Pengertian Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Informasi

 Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet.  Perjanjian pinjam meminjam uang online atau dikenal juga dengan nama Peer-To-Peer Lending (P2P Lending) pada dasarnya sama seperti perjanjian pinjam meminjam uang konvensional, hanya saja yang membedakan adalah para pihak tidak bertemu secara langsung, para pihak tidak perlu saling mengenal karena terdapat penyelenggara yang akan mempertemukan para pihak dan pelaksanaan perjanjian dilakukan secara online[1]

Secara teoritis, Peer-to-peer lending atau P2P Lending adalah kegiatan pinjam meminjam antar perseorangan. Praktisi ini sudah lama berjalan dalam bentuk yang berbeda, seringkali dalam bentuk perjanjian informal. Dengan berkembangnya teknologi dan e-commerce, kegiatan peminjaman turut berkembang dalam bentuk online dalam bentuk platform serupa dengan ecommerce. Dengan itu, seorang peminjam bisa mendapatkan pendanaan dari banyak individu. Dalam peer lending, kegiatan dilakukan secara online melalui platform website dari berbagai perusahaan peer lending. Terdapat berbagai macam jenis platform, produk, dan teknologi untuk menganalisa kredit. Peminjam dan pendana tidak bertemu secara fisik dan seringkali tidak saling mengenal. Peer lending tidak sama dan tidak bisa dikategorikan dalam bentuk-bentuk institusi finansial tradisional: himpunan deposito, investasi, ataupun asuransi. Karena itu, peer lending dikategorikan sebagai produk finansial alternatif.[2]

Sebelum membahas tentang aspek perlindungan data pribadi pada transaksi pinjam meminjam online, perlu dipahami bahwa layanan pinjam meminjam online merupakan layanan fintech peer-to-peer lending yang bertindak sebagai penyelenggara atau dengan kata lain, layanan pinjam meminjam yang hanya mempertemukan pemberi pinjaman dan penerima pinjaman. Hal ini didukung oleh pernyataan dari Direktorat Pengaturan,Perizinan dan Pengawasan Fintech (DP3F) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menyatakan sebagai berikut : “Fintech adalah layanan jasa keuangan berbasis teknologi, layanan jasa keuangan ada banyak sekali, ada pendanaan, pasar modal, asuransi dan lain-lan. Fintech Peer To Peer (P2P) Lending termasuk ke dalam layanan jasa keuangan yang berbasis pada teknologi informasi. Kategori fintech ada enam kategori, Fintech Peer To Peer (P2P) Lending di Indonesia hanya sebagai penyelenggara saja atau hanya sebagai platform saja, perusahaan tersebut tidak dapat bertindak sebagai penerima pinjaman ataupun pemberi pinjaman

Konsep Hak Privasi

 

Hak Privasi adalah hak fundamental yang penting bagi otonomi dan perlindungan martabat manusia dan bertujuan untuk menjadi dasar dimana banyak hak asasi manusia dibangun diatasnya. Privasi memungkinkan kita untuk membuat pembatasan dan mengelolanya untuk melindungi diri dari gangguan yang tidak diinginkan, yang membolehkan kita untuk menegosiasikan siapa kita dan bagaimana kita mau berinteraksi dengan orang di sekitar kita. [1]Peraturan yang melindungi privasi memberikan legitimasi terhadap hak yang kita miliki dan menjadi penting untuk melindungi diri kita dan masyarakat Alasan hak privasi harus dilindungi adalah[2], Pertama, dalam membina hubungan dengan orang lain, seseorang harus menutupi sebagian kehidupan pribadinya sehingga dia dapat mempertahankan posisinya pada tingkat tertentu. Kedua, seseorang di dalam kehidupannya memerlukan waktu untuk dapat menyendiri sehingga privasi sangat diperlukan oleh seseorang,

Ketiga, privasi adalah hak yang berdiri sendiri dan tidak bergantung kepada hak lain akan tetapi hak ini akan hilang apabila orang tersebut mempublikasikan hal-hal yang bersifat pribadi kepada umum. Keempat, privasi juga termasuk hak seseorang untuk melakukan hubungan domestik termasuk bagaimana seseorang membina perkawinan, membina keluarganya dan orang lain tidak boleh mengetahui hubungan pribadi tersebut. Dalam pernyataan Warren menyebutnya sebagai the right against the word. Kelima, alasan lain mengapa privasi patut mendapat perlindungan hukum karena kerugian yang diderita sulit untuk dinilai. Kerugiannya dirasakan jauh lebih besar dibandingkan dengan kerugian fisik, karena telah menganggu kehidupan pribadinya, sehingga bila ada kerugian yang diderita maka pihak korban wajib mendapatkan kompensasi.

 Alan Westin memberikan pengertian privasi sebagai[3]:

Privacy is the claim of individuals, groups, or institutions to determine for themselves when, how, and to what extent information about them is communicated to others (

 

Pernyataan di atas diartikan bahwa privasi adalah klaim individu, kelompok, atau institusi untuk menentukan sendiri kapan, bagaimana,dan sejauh mana informasi tentang mereka dikomunikasikan kepada orang lain. Hak privasi merupakan salah satu hak yang melekat pada diri setiap orang. Dalam hal lain, hak privasi merupakan martabat setiap orang yang harus dilindungi.

Indonesia memiliki aturan perlindungan data pribadi yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan, misalnya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur tentang rahasia kondisi pribadi pasien, sedangkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengatur data pribadi mengenai nasabah[4]

Pada Pasal 26 Ayat (1) dijelaskan bahwa dalam pemanfaatan teknologi informasi, perlindungan data pribadi merupakan salah satu bagian dari hak pribadi (privacy rights). Hak pribadi mengandung pengertian sebagai berikut:

a.         Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan.

b.         Hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan Orang lain tanpa tindakan memata-matai.

c.         Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi seseorang. penyimpan dan simpanannya.

 Selain itu pengaturan perlindungan privasi dan data pribadi juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi , Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi kependudukan (telah diubah dengan Undang-Undang No 24 Tahun 2013) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016), serta Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.[5]

Pada Pasal 26 Ayat (1) dijelaskan bahwa dalam pemanfaatan teknologi informasi, perlindungan data pribadi merupakan salah satu bagian dari hak pribadi (privacy rights). Hak pribadi mengandung pengertian sebagai berikut[6]:

a.         Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan.

b.         Hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan Orang lain tanpa tindakan memata-matai.

c.         Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi seseorang.

Sebelum amandemen UUD 1945, penghormatan terhadap hak privasi seseorang sesungguhnya telah mengemuka di dalam sejumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia, bahkan ketika periode kolonial. Hal ini sebagaimana mengemuka di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Ketentuan Bab XXVII KUHP tentang kejahatan Jabatan, Pasal 430 sampai dengan Pasal 434 mengatur mengenai larangan penyadapan secara melawan hukum. Sementara KUHPerdata mengatur hubungan hukum keperdataan antar-orang atau badan, yang memungkinkan adanya suatu gugatan hukum jikalau hak atas privasinya ada yang dilanggar oleh pihak lain.  Larangan penyadapan secara sewenang-wenang atau melawan hukum (unlawfull interception), yang memiliki keterkaitan erat dengan upaya perlindungan terhadap hak atas privasi juga dapat ditemukan di dalam UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, UU No. 1 Tahun 2003 tentang Advokat, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Bahkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik materinya tidak hanya mengatur mengenai larangan tindakan penyadapan yang melawan hukum, tetapi juga telah mengatur (meski terbatas) larangan pemindahtanganan. [7]



 

Pengertian Data Pribadi

 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian data adalah keterangan yang benar dan nyata yang dapat dijadikan dasar kajian.  Sedangkan Pribadi sendiri memiliki arti manusia sebagai perseorangan (diri manusia atau diri sendiri),  sehingga dapat disimpulkan bahwa data pribadi merupakan keterangan yang benar dan nyata yang dimiliki oleh manusia sebaga perseorangan. UU ITE tidak memberikan definisi hukum yang jelas tentang data pribadi. Akan tetapi, dilihat dari perspektif penafsiran resmi tentang hak pribadi (privacy right) dalam Pasal 26 ayat (1), maka data pribadi meliputi urusan kehidupan pribadi termasuk (riwayat) komunikasi seseorang dan data tentang seseorang.[1]

Data pribadi terdiri dari fakta-fakta, pendapat atau komunikasi yang berkaitan dengan individu yang merupakan informasi sangat pribadi atau sensitif sehingga individu yang bersangkutan ingin menyimpan atau membatas orang lain untuk mengkoleksi, menggunakan, atau menyebarkannya kepada pihak orang lain. Menurut Jerry Kang, data pribadi menggambarkan suatu informasi yang erat kaitannya dengan seseorang yang membedakan karakteristik masing-masing individu. [2]Pada dasarnya perlindungan data di bagi atas 2 (dua) jenis yaitu bentuk perlindungan data yang berupa perlindungan fisik data, baik data yang terlihat maupun tidak terlihatBentuk perlindungan data yang berikutnya adalah sisi regulasi yang mengatur mengenai penggunaan data oleh orang lain yang tidak berhak, penyalahgunaan data untuk kepentingan tertentu, dan perusakan terhadap data itu sendiri. [3]

 Dalam PP No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik, mendefinisikan data pribadi yaitu “data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya” (Pasal 1 ayat 27). Menurut penjelasan Pasal 1 ayat 1 Data Protection Act Inggris tahun 1998 menentukan bahwa data adalah setiap informasi yang diproses melalui peralatan yang berfungsi secara otomatis menanggapi instruksi-instruksi yang diberikan bagi tujuannya dan disimpan dengan maksud untuk dapat diproses. Data juga termasuk informasi yang merupakan bagian tertentu dari catatancatatan kesehatan, kerja sosial, pendidikan atau yang disimpan sebagai bagian dari suatu sistem penyimpanan yang relevan. [4]

Apabila membahas soal dasar hukum perlindungan data pribadi bahwasannya secara umum perlindungan data pribadi sudah terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016. Selain itu terdapat juga dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang sampaui saat ini masih dalam proses pembentukan. Perlindungan hukum itu sendiri adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban, perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi, kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum. [5]

Apabila dikaitkan kepada perbuatan yang dilarang maka UU ITE sudah melarang perbuatan memperoleh informasi dengan cara apapun sebagaimana yang tertera dalam pasal 30 khususnya pada ayat (2). Ketika pelanggaran itu dilakukan maka dapat dikenakan sanksi pidana berupa pidana penjara maksimal 7 tahun dan denda maksimal Rp 700.000.000,- (Tujuh ratus juta rupiah). Hal ini berdasarkan pasal 46 ayat (2) UU ITE yang telah tertulis sehingga dengan adanya peraturan ini data pribadi seseorang sudah memiliki payung hukum dan dilindungi oleh hukum. [6]

Sebagaimana kewajiban sebagai penyelenggara layanan aplikasi yaitu menjaga kerahasiaan serta keamanan dari informasi elektronik yang dikleolanya. Hal ini sesuai dengan pasal 15 ayat (1) karena apabila penyelenggara aplikasi tidak dapat menjaga data yang dikelolanya dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 84 ayat (1) dan (2) PP No 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Penyelenggara layanan aplikasi juga harus mematuhi UU ITE dan Juga seluruh perundang-undangan terkait yang berlaku di Indonesia hal ini juga dipertegas oleh Surat Edaran dari KOMINFO Nomor 3 Tahun 2016 terkait Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet.[7] Sehingga dari sinilah terdapat dasar hukum perlindungan data pribadi yang tersebar di beberapa peraturan perundang-undangan,

Dengan demikian data pribadi adalah data yang berkenaan dengan ciri seseorang, nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan kedudukan dalam keluarga. Data pribadi merupakan hal yang sensitif dimiliki setiap orang. Data pribadi menjadi hak privasi seseorang yang wajib dilindungi dari berbagai aspek kehidupan. Beberapa instrumen internasional seperti OECD Guidelines maupun Data Protection Convention dari Dewan Eropa data pribadi diartikan semua informasi yang berhubungan dengan orang-perorangan yang teridentifikasi dan dapat diindetifikasi (information relating to an identified or identifiable natural person ). [8]

Teori Perlindungan

 Awal mula dari munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum alam atau aliran hukum alam. Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral. Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseoranan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingak masyarakat. [1]

Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. [2]Menurut Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra berpendapat bahwa hokum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif.  [3] Pendapat Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial [4]Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum berfungsi sebagai instrument perlindungan kepentingan manusia, agar kepentingan manusia dapat terlindungi, maka hukum harus dapat dilaksanakan dengan seadil-adilnya. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal dan damai, akan tetapi dapat terjadi juga yang namanya pelanggaran hukum  Pelanggaran hukum ini dapat terjadi ketika subjek hukum tertentu tidak menjalankan kewajiban yang seharusnya dijalankan atau karena melanggar hak- hak subjek hukum lain. Oleh karenanya dalam hal ini subjek hukum yang dilanggar hak-haknya harus mendapatkan perlindungan hukum. [5]

Menurut pendapat Phillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif.  Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah berikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penangananya di lembaga peradilan. Patut dicatat bahwa upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang diinginkan oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum, meskipun pada umumnya dalam praktek ketiga nilai dasar tersebut bersitegang, namun haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar tersebut bersamaan.  Fungsi primer hukum, yakni melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang dapat merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun penguasa. Di samping itu berfungsi pula untuk memberikan keadilan serta menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan tersebut ditujukan pada subyek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban, tidak terkecuali kaum wanita. [6]

Perlindungan hukum merupakan hak setiap warga negara, dan dilain sisi bahwa perlindungan hukum merupakan kewajiban bagi negara itu sendiri, oleh karenanya negara wajib memberikan perlindungan hukum kepada warga negaranya. Pada prinsipnya perlindungan hukum terhadap masyarakat bertumpu dan bersumber pada konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap harkat, dan martabat sebagai manusia. Prinsip perlindungan hukum terhadap suatu tindakan pemerintah bersumber serta bertumpu pada konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarah dari barat. Lahirnya konsep-konsep mengenai pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah.3 Prinsip kedua menyampaikan adanya suatu perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dengan demikian, pernyataan ini mengarah pada pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia menjadi tempat utama serta  dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum. [7]

Teori Keadilan

 Kata-kata yang paling sering digunakan oleh para ahli hukum ketika memuji atau mencela hukum atau pelaksanaannya adalah kata adil dan tidak adil, dan mereka seringkali menulis seolah-olah ide keadilan dan moralitas adalah dua hal yang tinggal berdampingan. Memang ada alasan yang amat kuat mengapa keadilan memiliki kedudukan paling menonjol dalam kritik atas tatanan hukum. Namun keadilan adalah segmen lain moralitas, dan bahwa hukum dan pelaksanaan hukum bisa jadi memiliki atau tidak memiliki jenis kelebihan yang berbeda pula. Ciri khas keadilan dan hubungan spesialnya dengan hukum mulai muncul jika diamati sebagian besar kritik dalam tinjauan adildan tidak adil hampir sama bisa diungkapkan dengan kata-kata fair (berimbang) dan unfair (tidak berimbang).[1] Keadilan yang paling besar adalah pemenuhan keinginan untuk sebanyak-banyak orang.[2]

Teori tentang Keadilan telah dibicarakan oleh para filsuf sejak zaman Purbakala dengan tokoh pemikirnya antara lain Sokrates, Plato, Aristotelse dan filsuf-filsuf lainnya. Socrates dalam dialognya dengan Thrasymachus berpendapat bahwa dengan mengukur apa yang baik dan apa yang buruk, indah dan jelek, berhak dan tidak berhak jangan diserahkan semata-mata kepada orang perseorangan atau kepada mereka yang memiliki kekuatan atau penguasa yang zalim. Hendaknya dicari ukuran-ukuran yang objektif untuk menilainya. Soal keadilan bukanlah hanya berguna bagi mereka yang kuat melainkan keadilan itu hendaknya berlaku juga bagi seluruh masyarakat. [3]

Istilah keadilan (Justitia) berasal dari kata adil yang berarti tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar dan tidak sewenang-wenang. Keadilan menurut John Rawls adalah merupakan prinsip dari kebijakan rasional yang diaplikasikan untuk konsepsi jumlah dari kesejahteraan kelompok masyarakat.[4] Sedangkan keadilan menurut Aristoteles adalah justice consists in treating equally and unequalls unequally in proporti-on to their inequality, yang berarti untuk hal-hal yang sama diperlakukan sama dan yang tidak sama diperlakukan tidak sama, secara proporsional [5]

Dalam kurun waktu, konsep keadilan terus mengalami perdebatan karena adanya perbedaan cara pandang terhadap sesuatu dalam hal ini konsep keadilan. Sebagai contoh, dalam filsafat terdapat pertentangan antara filsafat idealisme yang digagas oleh Hegel dengan filsafat materialisme Feurbach yang berbeda dalam memandang sesuatu. Filsafat idealism memandang bahwa ide lebih dulu ada daripada materi sedangkan filsafat materialism memandang sebaliknya.

Dalam konteks keadilan, dewasa ini kita mengenal istilah keadilan substantive yang dipertentangkan dengan keadilan prosedural. Keadilan prosedural dalam filsafat hukum identik dengan madzab hukum positivisme yang melihat hukum adalah fakta bahwa hukum diciptakan dan diberlakukan oleh orang-orang tertentu di dalam masyarakat yang mempunya kewenangan untuk membuat hukum. Sumber dan validitas norma hukum bersumber dari kewenangan tersebut. Hukum harus dipisahkan dari moral.[6]

Tendensi mengidentikkan hukum dan keadilan adalah tendensi untuk menjustifikasi suatu tata aturan sosial. Hal ini merupakan tendensi dan cara kerja politik, bukan tendensi ilmu pengetahuan. Pertanyaan apakah suatu hukum adalah adil atau tidak dan apa elemen esensial dari keadilan, tidak dapat dijawab secara ilmiah, maka the pure theory of law sebagai analisis yang ilmiah tidak dapat menjawabnya. Yang dapat dijawab hanyalah bahwa tata aturan tersebut mengatur perilaku manusia yang berlaku bagi semua orang dan semua orang menemukan kegembiraan di dalamnya. Maka keadilan sosial adalah kebahagiaan sosial.[7]

Nilai dapat diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan makdnusia baik lahir maupun bathin.[8] Nilai itu merupakan suatu kejadian yang dapat dialami, sifatnya masih abstrak. Dalam lapangan hukum nilai tersebut harus dikonkritkan dalam bentuk asas hukum sehingga asas hukum merupakan landasan dibentuknya hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu.[9]

Teori-teori Hukum Alam yang disampaikan sejak jaman Socretes hingga jaman Francois Geny menggunakan keadilan sebagai mahkota hukum. Beberapa teori yang disampaikan oleh tokoh dari jaman Socretes hingga jaman Francois Geny mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Dimaksud dengan teori-teori tersebut diantaranya adalah teori keadilan Aristoteles dalam bukunya Nicomachean Ethics, teori keadilan sosial John Rawl dalam A Theory Of Justice serta teori hukum dan keadilan Hans Kelsen dalam  General Theory Of Law And State[10]. Dalam pernyataan teori-teori tersebut memuat mengenai hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Hal ini mendasarkan pernyataan bahwa Teori Hukum Alam  sebenarnya mengutamakan the search for justice.[11]

 Menurut pandangan Aristoteles bahwa konsep keadilan dibagi ke dalam dua macam keadilan yaitu keadilan distributief dan keadilan commutatief. Dimaksud dengan keadilan distributief ialah keadilan yang diberikan pada masing-masing individu sesuai dengan prestasi di antara anggota masyarakat lainnya. Sedangkan pegertian keadilan commutatief adalah keadilan yang diberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya. Dalam konsep ini maka keadilan berkaitan dengan peranan tukar menukar barang dan jasa.[12]

 Sementara itu, John Rawls menyampaikan konsep keadilan berdasarkan perspektif liberal-egalitarian of social justic. Dimana dalam konsep keadilan ini maka   kebajikan utama  muncul dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Namun tetap saja dalam konsep ini maka kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan.[13]

Lebih lanjut lagi, John Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaanya yang dikenal dengan original position dan selubung ketidaktahuan (veil of ignorance).[14] Pandangan Rawls memposisikan adanya situasi yang sama dan sederajat antara tiap-tiap individu di dalam masyarakat. Tidak ada pembedaan status, kedudukan atau memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, sehingga satu pihak dengan lainnya dapat melakukan kesepakatan yang seimbang, itulah pandangan Rawls sebagai suatu original position yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society)[15].

Definisi UMKM

 

Menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 98 Tahun 2014 Tentang Perizinan Untuk Usaha Mikro dan Kecil Pasl 1 yang dimaksud dengan Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.[1]

Sedangkan menurut UU RI No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) pada bab I pasal 1, definisi UMKM adalah sebagai berikut:[2]

a.   Usaha Mikro

     Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

b.   Usaha Kecil

     Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

c.   Usaha Menengah

     Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.



[1] Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 98 Tahun 2014 Tentang Perizinan Untuk Usaha Mikro dan Kecil

[2] Tulus T.H. Tambunan, UMKM di Indonesia, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2009), hal.16

Pengertian Merek Kolektif

 

Pengertian merek kolektif tidak dirumuskan secara pengistilahan, namun demikian terdapat beberapa karakteristik yang fungsinya yaitu untuk membuat perbedaan antara barang-barang atau jasa dari produsen atau suatu perusahaan terhadap barang-barang atau jasa dari suatu produsen atau perusahaan lain. Merek kolektif ini dipergunakan juga sebagai alat pembeda dalam hal riwayat geografis atau karakter lain yang umumnya terdapat di barang-barang atau jasa tersebut, dan tentunya dibawah pengawasan dari pihak terkait[1].

Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis memberikan pengertian mengenai merek kolektif bahwasanya Merek kolektif adalah merek yang digunakan pada barang dan/atau jasa dengan karakteristik yang sama mengenai sifat, ciri umum, dan mutu barang atau jasa serta pengawasannya yang akan diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersamasama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya. Dengan apa yang dijelaskan diatas maka dapat diartikan bahwasanya merek kolektif tersebut hanya diperkenankan untuk kelompok atau kolektif atau bersama-sama, tidak diperuntukan sebagai   merek dagang atau jasa perseorangan. Pemohon merek kolektif juga seharusnya bisa melaksanakan pengawasan secara sah atas penggunaan merek kolektif tersebut kepada para anggotanya dalam usahanya atau perdaganganya tidak sebatas hanya sekedar penegasan atas penggunaan atau tujuan penggunaanya semata[2].

Lanham Act 15.U.S.C 1127 mendefinisikan merek kolektif, sebagai berikut[3]: “Merek kolektif berarti merek dagang atau jasa:

a.      yang digunakan oleh para anggota koperasi, asosiasi, atau kelompok kolektif lainnya atau organisasi, atau

b.     yang kooperatif tersebut, asosiasi, atau kelompok kolektig lainnya atau organisasi yang memiliki niat baik untuk digunakan dalam perdagangan dan berlaku untuk mendaftar seperti yang ditetapkan oleh Undangundang ini, dan termasuk tanda yang menunjukkan keanggotaan dalam serikat pekerja, asosiasi atau organisasi lainnya 

Berdasarkan definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa sebuah merek kolektif harus dimiliki oleh entitas kolektif. Penggunaan merek dagang atau jasa kolektif tersebut bukan dengan menegaskan penggunaan atas tujuan penggunaan merek kolektif tersebut, tetapi pemohon harus menegaskan bahwa pemohon melaksanakan control yang sah atas penggunaan merek kolektif oleh para anggotanya atau memiliki niat baik untuk melakukan control yang sah atas penggunaan merek kolektif oleh para anggotanya dalam perdagangan



[1] Sardjono, Agus, dkk. 2013. Perlindungan Hukum Merek untuk Pengusaha UKM Batik. Jurnal Hukum dan Pembangunan. Tahun ke 44 No. 4

[2] Novianti, Trias palupi Kurnianngrum, Sulasi Rongiyati, Puteri Hikmawati. 2017. Perlindungan Merek. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia

[3] Etty Susilowati, Hak Kekayaan Intelektual dan Lisensi pasa HKI (Semarang : Badan Penerbit Undip Press.2013) hal.108-109

Pengertian Merek

 

Ketentuan tentang Merek yang pertama kali berlaku di Indonesia ditetapkan oleh Pemerintah Belanda. Diberlakukannya Reglement Industriele Eigendom (RIE) . Reglement Industriele Eigendom 1912 menganut sistem deklaratif. Penyusunan peraturan Merek mengikuti sistem UU Belanda dan menerapkan sistem konkondarsi. Yaitu ketentuanketentuan peraturan perundang-undangan yang diberlakukan untuk diterapkan pada negara jajahan Belanda. [1]

Setelah Indonesia merdeka peraturan ini juga dinyatakan terus berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Ketentuan itu masih terus  diganti dengan Undang-Undang No 21 Tahun 1961 tentang Merek perusahaan dan dan Merek perniagaan yang diundangkan pada tanggal 11 Oktober 1961 dan dimuat dalam Lembaran Negara RI No.290 dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan dalam Lembaran Negara RI No.2341 yang mulai berlaku pada bulan November 1961.[2] Kedua Undang-Undang ini (RIE 1912 dan Undang-Undang Merek 1961) mempunyai banyak kesamaan. Perbedaan hanya berlaku pada masa berlakunya Merek; yaitu sepuluh tahun menurut Undang-Undang Merek 1961 dan jauh lebih pendek dari RIE 1912 ; yaitu 20 tahun. Perbedaan lain yaitu, Undang-Undang Merek tahun 1961 mengenai penggolongan barang-barang dalam 35 kelas, Penggolongan yang semacam itu sejalan dengan klasifikasi internasional berdasarkan persetujuan internasional tentang klasifikasi barang-barang untuk keperluan pendaftaran Merek di Nice (Prancis) pada tahun 1957 yang diubah di Stockholm pada tahun 1967 dengan penambahan satu kelas unuk penyesuaian dengan keadaan di Indonesia, pengklasifikasian yang demikian ini tidak dikenal dalam RIE 1912 .[3]

 Undang-Undang Merek tahun 1961 ini mampu bertahan selama kurang lebih 31 tahun, untuk kemudian Undang-Undang ini dengan berbagai pertimbangan akhirnya harus dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tetang Merek. Adapun alasan dicabut Undang-Undang Merek tahun 1961 itu adalah karena Undang-Undang Merek No 21 Tahun 1961 dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan kebutuhan masyarakat dewasa ini. Selain itu, adanya perubahan mengenai sistem pendaftaran, lisensi, Merek Kolektif, dan sebagainya.[4]

Alasan diterbitkannya Undang-Undang No 15 Tahun 2001 yaitu salah satu perkembangannya yang kuat dan memperoleh perhatian seksama dalam masa sepuluh tahun ini dan kecenderungan yang masih akan berlangsung di masa yang akan datang adalah semakin meluasnya arus globalisasi baik dibidang sosial, ekonomi, budaya maupun bidang-bidang kehidupan lainnya. Perkembangan teknologi informasi dan transportasi telah menjadikan kegiatan di sektor perdagangan meningkat secara pesat dan bahkan telah menempatkan dunia sebagai pasar tunggal bersama. [5] Era perdagangan global hanya dapat dipertahankan jika terdapat iklim persaingan usaha yang sehat. Disini Merek memegang peranan penting yang memerlukan sistem pengaturan yang lebih memadai. Berdasarkan pertimbangan tersebut dan sejalan dengan perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratifikasi indonesia serta pengalaman melaksanakan administrasi Merek, diperlukan penyempurnaan Undang-Undang Merek dengan dibuatnya Undang-Undang baru yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Undang-undang ini mengganti undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001

Merek adalah alat untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh suatu perusahaan dengan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh perusahaan lain. Para pelaku usaha akan berusaha untuk mencegah dengan Merek yang telah dimiliki untuk tidak digunakan oleh orang lain karena dengan adanya Merek, para pelaku usaha mampu memperoleh reputasi baik, dan kepercayaan dari para konsumen yang mampu memberikan keuntungan yang besar bagi pemilik Merek.[6]

Pasal 15 ayat (1) TRIPS Agreement mendefinisikan Merek sebagai: “Any sign,or any combination of sign, capable of distinguishing the goods or sevice of one undertaking from those of other undertakings, shall be capable of constituting a trademark. Such signs, in particular words including personal names, latters, numerals, figurative elements and combinations of colours as well as any combination of such signs, shall be eligible for registrations as trademarks. Where signs are not inherently capable of distinguishing the relevant goods or service. Members may make registrability depend on distinctiveness acquired  trough use. Members may require, as a condition of registration, that signs be visually perceptible.” [7]

Undang-Undang No 15 Tahun 2001 tentang Merek yang lama juga merumuskan Merek pada Pasal 1 angka 1, yaitu: “Merek adalah suatu tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan di gunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa”. Sementara Undang-Undang Merek terbaru Nomor 20 Tahun 2016 pada Pasal 1 Ayat (1) disebutkan : ”Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan Hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atas jasa”[8]



[1] Nurachmad, M. (2012). Segala tentang HAKI Indonesia. Jogjakarta : Buku Biru

[2] Lindsley, Tim. 2002. HKI : Suatu Pengantar. Bandung : PT.Alumni

[3] Miru, A. (2007). Hukum Merek : Cara Mudah Memperlajari Undang-Undang Merek . Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

[4] Maulana, I. B. (2019). Perlindnugan Merek Terkenal dari Masa ke Masa. Bandung: PT.Citra Aditya

[5] Roisah, K. (2015 ). Konsep Hukum Kekayaan Intelektual (HKI). Malang: Setara Press

[6] Andriansyah, S. (2013). Hak Desain Indutri berdasarkan Penilaian Kebaruan Desain Industri. Bandung: PT.Alumni

[7] Saidin, H. OK. 2013. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intelectual Property Rights). Jakarta: Rajawali Press

[8] Khoironi, Alif Iffan. 2013. Implementasi Pendaftaran Merek Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Pada Home Industry Eggroll. Unnes law Journal. Semarang: FH Unnes. Vol. 2, No. 2, Oktober

Pengertian Kekayaan Intelektual

 

Kekayaan Intelektual (KI) adalah perubahan dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dimana sudah tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2015 tentang Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal demikian berubah dikarenakan mengikuti institusi yang berperan dalam bidang kekayaan intelektual di negara-negara lain. Rata-rata institusi di negara-negara tersebut yang berperang dalam bidang kekayaan intelektual tidak ada kata “hak” dalam nama institusinya. [1]

Penamaan dalam bidang ini telah dilakukan perubahan sebanyak 4 kali di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, yaitu Ditjen HCPM, Ditjen HaKI, Ditjen HKI dan Ditjen KI. Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek (Ditjen HCPM) terbentuk atas dasar Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1988 tentang pembentukan Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek untuk mengambil alih fungsi dan tugas Direktorat Paten dan Hak Cipta. Lalu pada tahun 1998, atas dasar Keputusan Presiden Nomor 144 Ditjen HCPM diganti menjadi Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HaKI). Kemudian atas dasar Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun 2000 Ditjen HaKI berganti menjadi Ditjen HKI, dan akhirnya yang berlaku saat ini atas dasar Peraturan Presiden 18 Nomor 44 Tahun 2005, Ditjen HKI berubah menjadi Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI). Sehingga kini istilah atau nama Kekayaan Intelektual telah sama penyebutanya dengan istilah di banyak negara.[2]

Kekayaan Intelektual merupakan hak kebendaan yang dapat dikategorikan ke dalam benda tidak berwujud (benda immateriil). Dalam konteks hukum perdata, rumusan tentang hak kekayaan immateriil dijelaskan dalam pengertian benda yang diatur dalam Pasal 499 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Secara implisit menurut paham undang-undang yang dimaksud dengan benda ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik. Jika dihubungkan dengan Pasal 503 dan 504 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), maka dapat dikategorikan ke dalam benda berwujud dan benda bergerak. Barang bergerak yang tidak berwujud memiliki sifat abstrak, karena barangnya memang tidak terlihat wujudnya, akan tetapi pemiliknya dapat merasakan manfaatnya .

Berdasarkan hal yang telah diuraikan diatas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa poros utama yang dilindungi pada Kekayaan Intelektual yaitu metode atau cara berpikir dari pencipta itu sendiri sehingga hak kebendaan yang menempel pada proses intelektual tersebut termasuk diantaranya adalah benda yang tidak berwujud. Hak yang turut dilindungi itu dapat dikatakan sebagai hak untuk mempertahankan kepemilikanya dan hak untuk memanfaatkan atau menggunakan kepemilikanya tersebut, misalkan untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain atau kepemilikanya dapat dihargai. Kekayaan Intelektual dapat digolongkan menjadi dua bagian menurut World Intellectual Property Organization (WIPO): Hak Cipta (Copyrights) dan Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights). Hak Cipta (Copyrights) merupakan hak khusus bagi pencipta untuk menyebarluaskan, mengumumkan atau memperbanyak ciptaanya sendiri pada bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra dengan atau bisa berbentuk buku, program komputer, ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang serupa itu. Sedangkan Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights) adalah hak yang memuat apapun tentang milik pengindustrian terkhusus yang memuat mengenai perlindungan hukum. Hak Kekayaan Industri itu sendiri terbagi atas Merek, Paten, Hak Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST), Rahasia Dagang dan Varietas Tanaman.[3]



[1] Sudaryat, dkk. 2010. Hak Kekayaan Intelektual. Bandung: Oase Media

[2] Susanto, Himawan Wijanarko. 2004. Membangun Merek Unggul dan Organisasi Pendukungnya. Jakarta : PT Mizan Publika

[3] Atsar, Abdul. 2018. Mengenal Lebih Dekat Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Yogyakarta: CV Budi Utama

Teori Pemisahan Kekuasaan

 

Pemisahan kekuasaan merupakan ide yang menghendaki baik organ, fungsi dan personal lembaga negara menjadi terpisah antara satu dengan yang lainnya. Setiap lembaga Negara masing-masing menjalankan secara sendiri dan mandiri tugas, dan kewenangannya seperti yang ditentukan dalam ketentuan hukum. Di negara-negara Eropa Barat, pemisahan kekuasaan negara ini menjadi kebiasaan untuk membagi tugas pemerintahan ke dalam tiga bidang kekuasaan, yaitu:

a.         Kekuasaan yang berfungsi untuk membuat undang-undang. Kekuasaan ini dinamakan kekuasaan legislatif.

b.         Kekuasaan yang berfungsi untuk menjalankan undang-undang. Kekuasaan ini dinamakan kekuasaan eksekutif.

c.         Kekuasaan yang berfungsi untuk mempertahankan undang-undang (kekuasaan untuk mengadili).

 Kekuasaan ini dinamakan kekuasaan yudikatif. Pemisahan dari tiga kekuasaan ini sering kita temui dalam sistem ketatanegaraan di berbagai negara-negara yang ada di dunia ini, walaupun batas pembagian itu tidak selalu sempurna, karena terkadang antara satu kekuasaan dengan kekuasaan yang lainnya tidak benar-benar terpisah, bahkan saling pengaruh-mempengaruhi.

Dalam perkembangan sejarah, teori dan pemikiran tentang pengorganisasian kekuasaan dan tentang organisasi negara berkembang sangat pesat. Menurut Jimly Asshiddiqie, hal ini disebabkan tuntutan keadaan dan kebutuhan nyata, baik faktor-faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya di tengah dinamika gelombang pengaruh globalisme versus lokalisme yang semakin kompleks menyebabkan variasi struktur dan fungsi organisasi serta institusi kenegaraan berkembang dalam banyak ragam dan bentuknya. Negara melakukan eksperimentasi kelembagaan (institutional experimentation) melalui berbagai bentuk organ pemerintahan yang dinilai lebih efektif dan efisien sehingga pelayanan umum (public services) dapat benar-benar terjamin. Kelembagaan tersebut disebut dengan istilah dewan (council), komisi (commission), komite (committee), badan (board), atau otorita (authority).[1]

Sebagai akibat tuntutan perkembangan yang semakin kompleks dan rumit, organisasi-organisasi kekuasaan yang birokratis, sentralistis dan terkonsentrasi tidak dapat lagi diandalkan. Salah satu akibatnya, fungsi-fungsi kekuasaan yang biasanya melekat dalam fungsi-fungsi lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan bahkan yudikatif dialihkan menjadi fungsi organ tersendiri yang bersifat independen. Sehingga dimungkinkan adanya suatu lembaga negara baru yang menjalankan fungsi yang bersifat campuran dan masing-masing bersifat independen (independent bodies)  atau quasi independen. Terdapat beberapa ahli yang mengelompokkan independent agencies (lembaga independen) semacam ini dalam domain atau ranah kekuasaan eksekutif. Ada pula sarjana yang mengelompokkannya secara tersendiri sebagai the fourth branch of the government, seperti yang dikatakan oleh Yves Meny dan Adrew Knapp.[2]

 

 



[1] Yusa Djuyandi, 2017, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 129

[2] Suparto, “Pemisahan Kekuasaan, Konstitusi Dan Kekuasaan Kehakiman Yang Independen Menurut Islam”, Jurnal Selat, I (Oktober 2016), hlm. 117.