Showing posts with label Konsultasi Tesis. Show all posts
Showing posts with label Konsultasi Tesis. Show all posts

Sunday, July 21, 2019

Dimensi kualitas produk (skripsi dan tesis)

Dimensi kualitas produk dapat dipaparkan berikut ini.
  1. Produk Berupa Barang
Menurut Garvin yang dikutip Gasperz dalam Umar (2002), untuk menentukan dimensi kualitas barang, dapat melalui delapan dimensi seperti yang dipaparkan berikut ini.
  • Performance, hal ini berkaitan dengan aspek fungsional suatu barang dan merupakan karakteristik utama yang dipertimbangkan pelanggan dalam membeli barang tersebut.
  • Features , yaitu aspek performansi yang berguna untuk menambah fungsi dasar, berkaitan dengan pilihan-pilihan produk dan pengembangannya.
  • Realibility, hal yang berkaitan dengan probabilitas atau kemungkinan suatu barang berhasil menjalankan fungsinya setiap kali digunakan dalam periode waktu tertentu dan dalam kondisi tertentu pula.
  • Conformance, hal ini berkaitan dengan tingkat kesesuaian terhadap spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan keinginan pelanggan. Konfirmasi merefleksikan derajat ketepatan antara karakteritik desain produk dengan karakteristik kualitas standar yang telah ditetapkan.
  • Durability, yaitu suatu refleksi umur ekonomis berupa ukuran daya tahan atau masa pakai barang.
  • Serviceability, yaitu karakteristik yang berkaitan dengan kecepatan, kompetensi, kemudahan, dan akurasi dalam memberikan layanan untuk perbaikan barang.
  • Aesthetics, merupakan karakteristik yang bersifat subyektif mengenai nilai-nilai estetika yang berkaitan dengan pertimbangan pribadidan refleksi dari preferensi individual.
  • Fit and finish, sifat subyektif, berkaitan dengan perasaan pelanggan mengenai keberadaan produk tersebut sebagai produk yang berkualitas.
  1. Produk Berupa Jasa/ Service
Zeithaml et. al dalam Umar (2002), mengemukakan lima dimensi dalam menentukan kualitas jasa, yaitu :
  • Realibility, yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang sesuai dengan janji yang ditawarkan.
  • Responsivenss, yaitu respon atau kesigapan karyawan dalam membantu pelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat dan tanggap, yang meliputi: kesigapan karyawan dalam melayani pelanggan, kecepatan karyawan dalam menangani transaksi, dan penanganan keluhan pelanggan/ pasien.
  • Assurance, meliputi kemampuan karyawan atas : pengetahuan terhadap produk secara tepat, kualitas keramah-tamahan, perhatian dan kesopanan dalam memberi pelayanan, kertampilan dalam memberi informasi, kemampuan dalam memberikan keamanan didalam memanfaakan jasa yang ditawarkan, dan kemampuan dalam menanamkan kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan.
Dimensi kepastian atau jaminan ini merupakan gabungan dari dimensi :
  • Kompetensi ( Competence ), artinya ketrampilan dan pengetahuann yang dimiliki oleh para karyawan untuk melakukan pelayanan.
  • Kesopanan ( Courtesy, yang meliputi keramahan, perhatian dan sikap para karyawan.
  • Kredibilitas ( Credibility ), meliputi hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan kepada perusahaan, seperti reputasi, prestasi dan sebagainya.
  • Emphaty, yaitu perhatian secara individual yang diberikan perusahaan kepada pelanggan seperti kemudahan untuk menghubungi perusahaan, kemampuan karyawan untuk berkomunikasi dengan pelanggan, dan usaha perusahaan untuk memahami keinginan dan kebutuhan pelanggannya.
Dimensi Emphaty ini merupakan penggabungan dari dimensi :
  • Akses (Access), meliputi kemudahan untuk memanfaatkan jasa yang ditawarkan
  • Komunikasi ( Comunication ), merupakan kemampuan melakukan komunikasi untuk menyampaikan informasi kepada pelanggan atau memperoleh masukan dari pelanggan.
  • Pemahaman pada Pelanggan ( Understanding the Customer ), meliputi usaha perusahaan untuk mengetahui dan memahami kebutuhan dan keinginan pelanggan.
  • Tangibles, meliputi penampilan fasilitas fisik seperti gedung dan ruangan Front Office, tersedianya tempat parkir, kebersihan, kerapihan dan kenyamanan ruangan, kelengkapan peralatan komunikasi dan penampilan karyawan.

Atribut Produk (skripsi dan tesis)

Perusahaan yang ingin memenangkan kompetisi harus dapat memberikan perhatian pada kualitas produknya. Produk-produk yang berkualitas akan memiliki keistimewaan yang mampu meningkatkan kepuasan konsumen atas penggunaan produk tersebut. Adapun kualitas mengambarkan karakteristik secara langsung dari suatu  produk sehingga manajer harus memperhatikan kualitas yang mampu memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen dalam pasar global ini.
Atribut merupakan gambaran karakteristik spesifik dari produk baik berujud maupun tak berujud yang menimbulkan manfaat. Produk adalah sekumpulan atribut yang nyata dan tidak nyata mencakup cita rasa, warna, harga, kemasan, merek dan pelayanan dari penjual yang diterima oleh pembeli sebagai sesuatu yang bisa memuaskan keinginannya (Stanton, 1991).
Kualitas suatu produk biasanya dinilai dengan karakteristik dari atribut-atribut yang menjadi perhatian konsumen. Dimensi atribut produk yang menonjol bagi konsumen dibatasi oleh persepsi dan konsepsinya, dimana atribut alamiah suatu produk tidak memiliki dimensi performa, sebaliknya dimensi atribut produk merupakan sifat pengalaman dan pemikiran manusia. Selain konsumen membuat asumsi yang implisit tentang dimensi atribut produk (Swan dan Combo, 1976). Paramita (2001) meneliti atribut-atribut yang berkaitan dengan produk dengan cara deep interview dan sumber tertulis lainnya. Atribut produk meliputi rasa, harga, merek, kerenyahan, kenampakan, tekstur daging (kekentalan), ukuran dan keamanan pangan (tidak berbahaya bagi kesehatan) untuk makanan instan (mie).

Pentingnya Pengukuran Preferensi konsumen (skripsi dan tesis)

Supranto (1997) menyatakan bahwa “pelanggan memang harus dipuaskan, sebab kalau konsumen tidak puas akan meninggalkan perusahaan dan menjadi pelanggan pesaing, hal ini akan menyebabkan penurunan penjualan dan pada gilirannya akan menurunkan laba dan bahkan kerugian”. Oleh sebab itu sebuah produk harus mengetahui preferensi konsumen agar setiap bentuk kebijakan yang ditetapkan sesuai dengan tuntutan dan keinginan konsumen. Dalam pengukuran tingkat preferensi konsumen, data yang diperoleh bersifat subyektif, sesuai dengan jawaban para responden menurut pengalaman dalam menggunakan suatu jenis produk tertentu.
Sudibyo (2002), menyatakan bahwa faktor-faktor yang menentukan preferensi konsumen terbagi menjadi dua: yaitu bersifat ekonomis dan bersifat non ekonomis. Preferensi konsumen yang bersifat ekonomis meliputi:
(a) nilai dari pengorbanan,
(b) manfaat yang dapat diraih
Sedangkan preferensi konsumen yang bersifat non ekonomis, yaitu:
(a) kebutuhan aktualisasi diri
(b) penghargaan dari lingkungan
Sudibyo (2002), menyatakan bahwa pengukuran terhadap preferensi konsumen sangat penting karena:
(a) Sebagai dasar untuk menarik minat membeli konsumen pada suatu produk
(b) Sebagai acuan bagi perusahaan untuk menerapkan program-program pembangunan loyalitas konsumen
(c) Untuk menjaga interaksi yang terus berkelanjutan antara konsumen dan perusahaan
Pengukuran tingkat preferensi konsumen berkaitan dengan pengukuran faktor-faktor yang membentuk sebuah preferensi konsumen. Pengukuran preferensi konsumen bermanfaat bagi pimpinan bisnis yaitu: mengetahui dengan baik bagaimana jalannya atau bekerjanya proses bisnis, mengetahui dimana harus melakukan perubahan dalam upaya melakukan perbaikan secara terus-menerus, terutama untuk hal-hal yang dianggap penting oleh para pelanggannya, dan menentukan apakah perubahan yang dilakukan mengarah perbaikan (improvement)

Pengertian Preferensi konsumen (skripsi dan tesis)

Preferensi konsumen adalah nilai-nilai bagi pelanggan yang diperhatikan dalam menentukan sebuah pilihan. Dalam kaitan dengan preferensi ini, maka konsumen akan menggunakan harapannya sebagai standar atau acuan. Dengan demikian, harapan pelangganlah yang melatarbelakangi mengapa dua organisasi pada bisnis yang sama dapat dinilai berbeda oleh pelanggannya. Dalam konteks preferensi konsumen, umumnya harapan merupakan perkiraaan atau keyakinan pelanggan tentang apa yang akan diterimanya.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya pengertian preferensi konsumen mencakup penilaian atau keinginan terbaik dari konsumen. Preferensi konsumen menentukan pilihan konsumen jika konsumen dihadapkan pada banyak ragam pilihan produk yang sejenis.
Simamora (2003) memberikan ilustrasi tentang preferensi konsumen dengan ilustrasi sebagai berikut: “Saya lebih meyukai merek ini, “ kata Susan sambil menunjuk teh siap minum merek terkenal. Preferensi merek tercermin dari kata: I prefer this brand, sebenarnya merupakan hasil proses evaluasi. Bermula dari preferensi merek ini, tinggal selangkah lagi menuju keputusan. “Saya lebih menyukai merek ini” adalah preferensi. “Saya putuskan untuk membelinya,” inilah keputusan sebelum pembelian (pre-purchase decision). Namun, masih ada faktor situasi dan pengaruh orang lain yang memungkinkan keputusan pembelian sebenarnya (purchase decision) berbeda dari keputusan sebelumnya (pre- purchase decision).”
Sudibyo (2002), menyatakan bahwa preferensi konsumen merupakan nilai-nilai yang dianut konsumen dalam menghadapi berbagai bentuk konflik dalam lingkungannya. Konflik ini tidak harus konflik dalam bentuk fisik, namun pengertian konflik yang dimaskudkan meliputi konflik dalam arti perbedaan antara harapan dengan realisasi yang dirasakan dari permasalahan yang dihadapi.
Petamis (2004):  “Kemampuan untuk menjual produk semurah mungkin, tidak pula menjamin mampu bersaing kalau atribut dari produk itu tidak sesuai dengan preferensi konsumen (tuntutan konsumen) Oleh karena itu kemampuan bersaing ditunjukkan oleh kemampuan memasok produk sesuai dengan preferensi konsumen dan ini merupakan kondisi yang diharuskan (necessary condition). Mengetahui preferensi konsumen dari pasar yang dituju sangat mendukung dalam keunggulan kompetitif, dan preferensi konsumen ini terus berkembang dan secara fundamental mengalami perubahan.”
Pendapat tersebut lebih melihat preferensi konsumen dari perspektif tuntutan. Dalam kondisi ini, konsumen selalu dihadapkan pada pilihan untuk memnuhi keinginan atau kebutuhan yang di sandang. Preferensi konsumen  merupakan harapan atau keinginan atas sebuah produk. Dalam kajian ini, maka dapat dipahami bahwa preferensi konsumen dianggap sebagai pandangan ideal atas keberadaan sebuah produk dilihat dari perspektif keinginan dan tuntutan konsumen.

Pemasaran (skripsi dan tesis)

Pemasaran adalah proses sosial yang melibatkan kegiatan-kegiatan penting yang memungkinkan individu dan perusahaan mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan melalui pertukaran dengan pihak lain dan untuk mengembangkan hubungan pertukaran. Esensinya, pemasaran mengantisipasi dan mengukur pentingnya kebutuhan dan keinginan dari kelompok konsumen tertentu dan menanggapinya dengan aliran barang dan jasa yang memuaskan kebutuhan. Untuk mencapai tujuan ini perusahaan perlu menargetkan pasar yang paling sesuai dengan sumber dayanya, mengembangkan produk yang memenuhi kebutuhan pasar sasaran lebih baik dari produk-produk yang kompetitif, membuat produk-produk itu tersedia dengan segera, mengembangkan kesadaran pelanggan akan kemampuan pemecahan masalah dan lini produk perusahaan, mendapatkan umpan balik dan pasar tentang keberhasilan produk dan produk perusahaan (Boyd et al., 2000).
Kegiatan pemasaran salah satunya adalah mempengaruhi konsumen agar bersedia membeli barang dan jasa perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan harus mempelajari dan memperhatikan perilaku konsumen, yaitu misalnya yang dibutuhkan dan juga meneliti alasan  apa yang menyebabkan konsumen memilih dan membeli produk tertentu (Dharmesta dan Irawan, 1999).
Ada lima filosofi yang dianut organisasi dalam melakukan pemasaran. Konsep berwawasan produksi beranggapan bahwa konsumen akan memilih produk yang harganya terjangkau dan mudah didapat, sehingga tugas utama menejer adalah meningkatkan efisiensi produksi dan distribusi serta menurunkan harga. Konsep berwawasan produk beranggapan bahwa konsumen akan memilih produk bermutu baik dengan harga wajar, sehingga tidak perlu banyak usaha promosi. Konsep berwawasan menjual beranggapan bahwa konsumen tidak akan memilih cukup banyak produk perusahaan, kecuali mereka merangsang dengan usaha menjual dan promosi yang gencar. Konsep berwawasan pemasaran beranggapan bahwa tugas utama perusahaan adalah menentukan kebutuhan, keinginan dan pilihan kelompok pelanggan sasaran serta memberikan kepuasan yang diinginkan. Konsep berwawasan pemasaran bermasyarakat beranggapan bahwa tugas utama perusahaan adalah menghasilkan kepuasan pelanggan dan bahwa kesejahteraan konsumen dan masyarakat dalam jangka panjang adalah kunci mencapai tujuan dan tanggung jawab perusahaan (Kotler dan Susanto, 2000).
Dalam istilah praktisnya pemasaran dapat didefinisikan dalam tiga cara. Pertama filosofi bisnis yaitu melihat bisnis melalui mata pelanggan dan menjamin keuntungan dengan cara memberikan kepuasan nilai bagi mereka. Kedua fungsi bisnis yaitu faktor menejemen total yang mengkoordinasikan pendekatan di atas, mengantisipasi permintaan pelanggan dan mengenali serta memuaskan kepentingan mereka dengan memberikan produk yang tepat atau layanan pada waktu yang tepat, baik tempat maupun harganya. Ketiga serangkaian teknik yang memungkinkan proses itu dan terlibat dalam kelancarannya termasuk periklanan, penelitian pasar, pemberian harga, dan lain-lain (Davey dan Jacks, 2001).

Model Reasoned Action (skripsi dan tesis)


Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model yang dikemukakan oleh Fishbein dan Ajzen dalam sebuah artikel yakni Understanding
Attitude and Predicting behavior dan teori mengenai belief, intention, and behavior (dalam Basu Swastha, 1992: 39-53). Menurut teori Reasoned Action bahwa perilaku seseorang sangat tergantung pada minat/niatnya (intention), sedangkan niat untuk berperilaku sangat tergantung pada sikap (attitude)
dan norma subyektif atas perilaku. Pada sisi lain, keyakinan terhadap akibat perilaku dan evaluasi akibat akan menentukan sikap perilaku seseorang.
Demikian pula, keyakinan normatif dan motivasi untuk mengikuti pendapat orang lain akan menentukan norma subyektifnya. Secara garis besar
dapat disimpulkan bahwa minat untuk berperilaku dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal (lingkungan sosial). Faktor internal tercermin pada
sikap seseorang dan faktor eksternal tercermin pada pengaruh orang lain (norma subyektif) terhadap perilaku keputusan yang diambi

Pengertian Sikap (skripsi dan tesis)


Menururt Fishbein dan Ajzen (Engel, et al., 1992; 339) sikap adalah organisasi yang relatif menetap dari perasaan, keyakinan, dan kecenderungan perilaku terhadap orang lain, kelompok, ide, ataupun objek tertentu. Dari pengertian ini ada tiga hal penting terkandung dalam sikap yang selanjutnya disebut komponen sikap yakni: aspek afeksi (perasaan), aspek kognitif (keyakinan), dan aspek konatif atau kecenderungan berperilaku (dalam bentuk nyata atau kecenderungan). Aspek afeksi dari sikap menyangkut masalah emosional subyektif seseorang terhadap obyek sikap. Secara umum perasaan ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap suatu obyek. Contohnya adalah evaluasi terhadap merek. Evaluasi terhadap merek tertentu menunjukkan atribut-atribut merek yang dapat dirasakan komponen, dapat diukur dari penelitian yang diberikan terhadap merek tersebut mulai dari yang paling jelek atau paling disukai sampai yang paling tidak disukai. Aspek kognitif, yakni komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, opini-opini dan persepsi individu terhadap obyek. Keinginan ini diperoleh melalui pemrosesan informasi yang diterima atau melalui interaksi langsung dengan objek tersebut. Komponen kognitif dari sikap adalah keyakinan. Keyakinan komponen tentang merek adalah karakteristik (atribut) yang dianggap berasal atau memiliki merek tersebut. Aspek konatif adalah komponen yang menunjukkan kecenderunagn seseorang untuk berperilaku terhadap suatu sikap. Asumsi dasarnya adalah bahwa kepercayaan dan perasaan dipengaruhi perilaku. Artinya komponen ini menyatakan bahwa di dalam diri seseorang untuk melakukan perilaku. Kecenderungan konsumen untuk bertindak terhadap suatu obyek biasanya diukur dalam bentuk minatnya untuk melakukan pembelian. Komponen konatif dari sikap adalah kecenderungan bertindak. Istilah sikap berasal dari kata latin yang berarti “Posture” atau “posisi Phisik”. Pengertian umum bahwa sikap adalah posisi phisik dapat menunjukkan berbagai jenis tindakan, di mana seorang akan melaksanakannya. Tapi untuk saat ini, konsep sikap telah diperluas yaitu sikap mencerminkan posisi mental seseorang. Definisi klasik yang menyatakan bahwa sikap adalah kecenderungan yang dipelajari untuk menaggapi suatu objek atau kelas obyek secara konsisten dengan cara menyukai atau tidak menyukai (Engel et al., 1994). Dari defenisi di atas, sikap mempunyai tiga ciri yang terutama yaitu: sikap dipelajari, sikap adalah konsisten, sikap adalah kecenderungan untuk menanggapi suatu obyek. Ciri sikap yang utama yaitu sikap dapat dipelajari, artinya seorang konsumen dalam menanggapi suatu obyek apakah dia menyukai atau tidak menyukai akan dipengaruhi oleh informasi dan pengalaman-pengalaman di masa lalu. Ciri yang kedua yaitu sikap adalah konsisten berarti seseorang konsumen akan berperilaku secara tetap dan bertahan lama terhadap suatu obyek yang sama. Berdasarkan alasan ini, maka sikap amat sukar berubah. Ciri kekonsistenan inilah yang membedakan konsep sikap dengan konsep lainnya seperti: sifat, motif dan kebiasaan (Ajzen dan Fishbein, dalam Engel et al., 1994). Selanjutnya ciri yang ketiga dari sikap adalah kecenderungan untuk menanggapi suatu obyek, berarti sikap mempunyai hubungan dengan perilaku seseorang (konsumen) yang sesungguhnya. Ini berarti apabila diketahui sikap konsumen terhadap suatu merek tertentu akan membantu para pemasar untuk mengetahui bagaimana konsumen akan bertindak pada merek itu di masa yang akan dating (Wilkie, 1990). Sebagai contoh: jika si A tidak mempunyai komputer merek Acer, maka pemasaran tidak akan mengharapkan si A untuk membeli komputer tersebut. Sedangkan kata obyek dalam defenisi di atas dapat diartikan secara luas, yaitu dapat berupa: issue (issues), tindakan (actions), perilaku (behavior), praktek (practices), pribadi (persons), atau kejadian (events).
Dari uraian di atas, maka sikap tidak sama dengan perilaku, tetapi menunjukkan evaluasi penilaian baik atau buruk terhadap obyek sikap, dan sebagai suatu predisposisi atau kecenderungan sikap mempunyai ciri motivasi, sehingga dapat mendorong konsumen terhadap perilaku tertentu. Jadi komponen yang terpenting dari sikap adalah komponen affects (perasaan menyukai atau tidak menyukai; baik atau buruk dll). Oleh karena itu sikap tidak dapat diobservasi langsung, tetapi hanya dapat disimpulkan melalui kegiatan penelitian

Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi Dengan Kesenjangan Pendapatan (skripsi dan tesis)


            Kesenjangan merupakan masalah sosial yang dapat berdampak luas bagi kehidupan masyarakat. Masalah kesenjangan ini dapat diatasi secara efisien melalui campur tangan pemerintah melalui perumuskan kebijakan secara tepat dengan memahami secara tepat hubungan antara kesenjangan dengan pertumbuhan ekonomi (Chang, 1994). Pemahaman yang keliru terhadap hubungan tersebut dapat menimbulkan masalah baru.
Pandangan bahwa pertumbuhan ekonomi mempengaruhi kesenjangan pendapatan berkembang  setelah Kuznets (dalam Todaro dan Smith, 2006) mengembangkan hipotesis teoritis tentang hubungan antara kesenjangan dengan pertumbuhan ekonomi yang menakjubkan.  Ia meneliti kesenjangan di berbagai negara secara cross-sectional dan menemukan pola U terbalik. Kuznets menyimpulkan bahwa pendapatan rata-rata perkapita pada awal perkembangan negara masih rendah, dan tingkat kesenjangan juga rendah. Ketika pendapatan rata-rata naik, maka kesenjangan juga meningkat. Kemudian ketika pendapatan rata-rata naik lebih tinggi, maka kesenjangan akan turun kembali. Dengan kata lain Kuznets berpendapat bahwa evolusi distribusi pendapatan membentuk kurve U terbalik (Hipotesis U terbalik). Pertumbuhan ekonomi berakibat kelompok yang miskin secara relatif menjadi lebih miskin pada tahap awal pembangunan suatu negara, dan relatif menjadi lebih kaya pada akhir tahap pembangunan.
            Penjelasan-penjelasan logis dan model-model teoritis terhadap fenomena Kuznets tersebut banyak dilakukan oleh para ahli, seperti Kuznets sendiri, J Cromwell, G.S. Fields, J.B. Nugent dan S.Robinson (Crowell, 2000). Disamping itu juga banyak para ahli yang mempertanyakan hipotesis tersebut. Misalnya Aswant Saith (dalam Rati Ram, 1995) mempertanyakan validitas paradigma dan kesimpulan hipotesis U terbalik Kuznets. Menurutnya hipotesis Kuznets lebih berupa rintangan dari pada bantuan dalam memahami hubungan antara pertumbuhan dan distribusi pendapatan. Tanggapan lain dari para ekonom adalah dilakukannya penelitian empiris untuk menguji kebenaran hipotesis tersebut. Peneliti–peneliti yang telah menguji Hipotesis Kuznets secara empiris seperti  Anand dan S.Kanbur, Deininger dan L. Squire. Dengan menggunakan multi country data. Hasil penelitian empiris mereka tidak mendukung Hipotesis Kuznets. Sedangkan penelitian lain yang dilakukan oleh S. Randolph dan W.Lott, Rati.Ram dan Jha, Papanek dan Aldrich Kyn, William Cline, dan Felix Poukert mendukung Hipotesis Kuznets tersebut (Chang dan Rati Ram, 2002). Dari penelitian-penelitan di atas muncul dua pandangan tentang hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan kesenjangan. Ada yang menyatakan bahwa ada hubungan positif antara pertumbuhan dengan distribusi pendapatan dan ada pandangan yang menyatakan bahwa antara pertumbuhan dengan kesenjangan berhubungan negatif.
            Haslag dan Slottje (1988) menjelaskan bahwa hubungan antara pertumbuhan dengan kesenjangan dapat dijelaskan melalui Pendekatan Tabungan, Industrialisasi, perubahan Komposisi Industri dan Pendidikan.
Pendekatan Tabungan 
Dalam pertumbuhan ekonomi yang tinggi maka pendapatan kelompok kaya meningkat. Peningkatan pendapatan ini akan diikuti dengan peningkatan tabungan, yang selanjutnya diikuti peningkatan investasi. Peningkatan investasi berdampak pada semakin meningkatkan pendapatan kelompok pemilik modal (kelompok kaya). Sementara itu kelompok yang berpendapatan rendah tidak dapat menabung, yang berarti tidak terjadi investasi, sehingga pendapatan rendah. Kondisi ini berakibat tingginya kesenjangan pendapatan.
Pendekatan Industrialisasi.
Dalam mengembangkan teori pengaruh pertumbuhan terhadap ketimpangan, Kuznets berasumsi bahwa aktivitas ekonomi masyarakat mengalami pergeseran dari aktivitas yang tradisional (pertanian) ke aktivitas yang lebih modern (industri), seiring dengan proses industrialisasi. Industrialisasi mendorong terjadinya urbanisasi. Kondisi ini akan menimbulkan kesenjangan yang tinggi antara kota dan desa, yang terjadi karena perbedaan upah, dengan asumsi rate return of capital lebih tinggi daripada rate return of labor.
Pendekatan Perubahan Komposisi Industri.
Melalui industrialisasi banyak bermunculan industri-industri baru. Kondisi ini akan merubah komposisi industri yang ada. Industri yang baru rate of return yang diperoleh lebih besar dari industri yang lama dengan asumsi pemodal lama tidak mudah untuk melakukan investasi baru. Negara-negara yang mengalami perubahan industri yang lebih besar, tingkat kesenjangan pendapatan keluarga lebih besar (Beeson dan Tannery, 2004). Kesenjangan ini terjadi karena upah yang berbeda secara signifikan antara sektor industri dengan sektor lainnya.
Pendekatan Pendidikan.
Dengan semakin meningkatnya pembangunan maka peluang untuk memperoleh pendidikan semakin tinggi. Pendidikan dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Peningkatan produktivitas memacu pertumbuhan ekonomi, hanya saja dalam kondisi yang demikian tidak semua memiliki peluang yang sama untuk memperoleh pendidikan. Kelompok atas biasanya memiliki peluang yang lebih tinggi dalam merespon pendidikan, sebaliknya kelompok bawah lebih terbatas kemampuan untuk merespon pendidikan. Akibatnya produktivitas kelopok bawah rendah sedangkan kelompok atas produktivitasnya tinggi. Mereka yang berpendidikan tinggi akan memperoleh upah yang lebih tinggi dibanding yang berpendidikan rendah, maka terjadilah kesenjangan.

Model Pertumbuhan Kaum Institusionalis (skripsi dan tesis)


Model-model yang dikembangkan Kaum Neoklasik tersebut di atas menghasilkan variasi kinerja pembangunan, mendorong Stiglitz (2001) mencoba mengupas faktor-faktor yang menyebabkan variasi yang sangat lebar dalam kinerja pembangunan antar negara. Mengapa beberapa negara atau wilayah sebuah negara dalam kurun waktu tertentu mengalami keterbelakangan tertentu sedangkan beberapa negara atau wilayah suatu negara mengalami perkembangan yang melejit dengan cepat dalam tataran tertentu. Pelacakan dilakukan pada budaya dan institusi  yang terbelakang. Pengamatan dilakukan di mantan negara-negara sosialis menyimpulkan bahwa yang diperlukan adalah sebuah kebijakan kolektif antar pemerintah dan pasar yang dapat menciptakan institusi yang diperlukan agar “pasar” dapat berfungsi. Pemikiran Stiglits tersebut mendapat dukungan dari Vinot Thomas (peneliti Bank Dunia) yang kemudian menerbitkan The Quality of Growth yang menekankan bahwa pengamatan kinerja proses pembangunan biasanya dihubungkan dengan pertumbuhan pendapatan nasional perkapita (Budiono, 2001).
Apa yang dikemukakan oleh Mankiw, Romer dan Weil juga dikritik oleh J.Temple’s yang menyatakan bahwa masalah perbedaan pertumbuhan ekonomi antar negara yang satu dengan yang lain tidak hanya karena masalah input. Negara yang pendapatannya rendah bukan karena kurangnya input, tetapi juga masalah efisiensi dan teknologi. Masalah efisiensi dan teknologi ditentukan oleh tatanan institusi yang ada (Tample’s, 1999 dalam Boulhol, 2004). Dari pernyataan tersebut berarti bahwa institusi perlu diperhatikan dalam membahas pertumbuhan ekonomi. Pernyataan ini didukung oleh Stiglitz, yang menyatakan bahwa aspek kelembagaan (institusi) perlu mendapat penajaman pengamatan dalam pembangunan. Atas dasar itu Stiglitz memodifikasi model pertumbuhan Neoklasik dengan memasukkan Informasi, Pengetahuan dan Teknologi serta Organisasional Capital. Jika model Neoklasik fungsi produksi agregat : Q  =  F (K,L,H) oleh Stiglitz dimodifikasi menjadi :
Q = F(A,K,L,H). Dalam hal ini Q adalah jumlah produksi K kapital, L tenagakerja, H kapital sumberdaya manusia, sedangkan A terdiri dari Informasi, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta Kapital Organisasional (termasuk institusi). Hanya saja Stiglitz belum memasukkan institusi secara eksplisit kedalam model sebagai variabel bebas, tetapi menginterprestasikannya melalui konstanta.
                           Y  = A Kt α  Ltβ Ht1-α -β                                                                (2.18)
            Faktor-faktor pertumbuhan baik mikro maupun makro dapat berfungsi dengan baik jika manusia mempunyai pengetahuan untuk mengendalikannya. Manusia harus mampu mengekploitasi pengetahuan yang relevan dalam rangka pengendalian faktor pertumbuhan. Pengetahuan hanya dapat diekploitasi dan dikembangkan jika manusia dengan spesialisasi pengetahuan masing-masing dapat bekerja sama. Untuk dapat bekerja sama dengan sistem koordinasi yang baik diperlukan institusi untuk mengatur dan menjamin kepastian hak masing-masing. Atas dasar pemikiran inilah muncul model pertumbuhan menurut Institutional Economics. Faktor lain yang mendorong munculnya ekonomi kelembagaan adalah kegagalan pasar. Mekanisme pasar yang diandalkan oleh Kaum Neoklasik ternyata tidak mampu berfungsi sebagaimana yang diharapkan.
            Model Ekonomi Kelembagaan lebih menekankan pada upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui efisiensi. Melalui efisiensi diharapkan pertumbuhan dapat terdistribusi secara merata. Jika pertumbuhan terdistribusi secara merata maka  peningkatan kesenjangan sebagaimana yang terjadi pada model Horrod-Domar maupun Kaldor dapat dihindari. Efisiensi dapat terwujud apabila penataan institusi pada masing-masing negara didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan riil pada setiap negara.
Menanggapi apa yang dikemukakan Stiglitz Kaum Institusionalis menilai bahwa  Stiglitz menganggap bahwa institusi antar negara bersifat konvergen. Pendapat ini sangat berbeda dengan realitas, institusi antar negara bersifat divergen. Oleh karena itu untuk melihat peranan institusi dalam pembangunan Kaum Instutusionalis menganjurkan memperlakukan institusi (I) sebagai variabel bebas dalam model pertumbuhan, mengingat bahwa pertumbuhan dipengaruhi oleh biaya transaksi dan biaya transformasi produksi. Jaringan institusi berhubungan secara integral dengan kedua biaya tersebut.  Sehingga model  2.19 dikembangkan menjadi:
                          Y  = a Kt α  Ltβ Htλ It 1-α - β -λ                                                                     (2.19)
            Institusional Economics menekankan pentingnya institusi dalam proses pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi dengan pendekatan institusional merupakan”Institution Building Proces.” Agar pembangunan tersebut berhasil, membutuhkan sistem perencanaan dan institusi yang mapan, dalam arti dapat mengelola proses pembangunan selama periode waktu tertentu. Institusi yang bertanggung jawab dibutuhkan khusus untuk mengkoordinasi setiap tahap proses pembangunan ekonomi (Mehlum, 2002). Paham ini menyatakan bahwa tanpa adanya institusi yang berkualitas pertumbuhan ekonomi tidak optimum. Perlu dilakukan inovasi-inovasi institusi yang mampu mengkoordinir dan memfasilitasi perkembangan tenaga kerja, akumulasi kapital maupun perkembangan teknologi. Sebagaimana dikatakan oleh North bahwa: Sejarah studi pembangunan ekonomi merupakan studi inovasi institusi yang dapat menyederhanakan pertukaran yang kompleks dengan cara menurunkan biaya transaksi dan produksi (North, 1994). Perbedaan yang berkelanjutan dalam pertumbuhan ekonomi tidak dapat dijelaskan tanpa melalui institusi (Olson, 1996).  Penataan institusi yang tepat dibutuhkan untuk membentuk kerangka kerja untuk kerjasama manusia di pasar dan dalam organisasi sehingga kerjasama tersebut rasional, dapat diprediksi dan dapat diterima.
            Menurut paham ini pembangunan ekonomi diukur dengan perkembangan pendapatan sektor-sektor ekonomi yang ada. Jika pertumbuhan pendapatan sektor-sektor tersebut tinggi berarti pertumbuhan ekonomi tinggi pula. Pertumbuhan pendapatan masing-masing sektor sangat ditentukan oleh kapital, tenaga kerja, kapital sumberdaya manusia dan institusi (Stiglitz, 2001). Efektif tidaknya keempat faktor di atas sangat dipengaruhi oleh kualitas institusi yang ada ( Mehlum, 2002).
            Institusi dapat mendukung pertumbuhan ekonomi jika: 1) institusi terkait dengan aktivitas-aktivitas produktif, 2) institusi dapat melakukan fungsi koordinasi secara efektif, 3) mampu menurunkan biaya transaksi, 4) institusi mampu memberikan jaminan hak (property right) sehingga investor dapat menggunakan teknologi yang baik dan efisien sehingga produknya kompetitif.
            Jadi institusi berkaitan dengan masalah kualitas institusi, bukan hanya persoalan kuantitas. Jika unit-unit usaha berada dalam lingkungan institusi yang lemah (kualitas rendah) tidak dapat berkembang secara kompleks, tidak dapat membentuk kontrak-kontrak jangka panjang dan multi kontrak yang melibatkan tiga kelompok yang mencirikan pertukaran ekonomi dalam industri yang ekonomis            (Aron, 1997). Dengan tidak terpenuhinya atau tidak adanya institusi mengakibatkan aktivitas ekonomi menjadi terbatas pada pertukaran interpersonal, pada produksi skala kecil dan perdagangan lokal. Akibatnya pertumbuhan ekonomi rendah (Sevinc dan Hakan, 2003). Kegagalan institusi juga dapat mengakibatkan tidak berfungsinya pasar, staknasi ekonomi dan krisis yang parah.(Caballero, 2000). Sebaliknya jika unit-unit usaha berada dalam lingkungan institusi yang berkualitas maka mereka dapat melakukan kontrak-kontrak jangka panjang, ada jaminan hak, penggunaan teknologi berkualitas yang mendorong munculnya entrepreneurship. Berkembangnya entrepreneurship dalam unit-unit usaha memacu pertumbuhan ekonomi.                                   Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kesenjangan pendapatan disebabkan karena perbedaan pendapatan yang dihasilkan oleh seseorang atau kelompok tertentu. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan produktivitas(A) faktor produksi modal (K) dan tenagakerja (L).

Model Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik (skripsi dan tesis)


            Pandangan Neo Klasik tentang pertumbuhan ekonomi berbeda dengan Kaum Klasik. Para ekonom tahun 1950an tidak sependapat bahwa pertumbuhan ekonomi hanya ditentukan oleh mobilitas kapital, tetapi pertumbuhan merupakan fungsi dari input. Pada masa ini para ekonom mulai memperkenalkan fungsi produksi nasional untuk menentukan pertumbuhan ekonomi. Fungsi produksi pada hakekatnya merupakan hubungan antara input yang terdiri dari Kapital (K), Tenaga Kerja (L) dan Teknologi (T) dengan output. Studi diawali oleh Solow dan Swan pada tahun 1956 dengan mendasarkan pada teori Neoklasik, dengan menggunakan struktur dan asumsi teori produksi Neoklasik (Dewan dan Hussein, 2001). Salah satu ciri Kaum NeoKlasik adalah mengandalkan terjadinya asas Tricle Down Effect, dalam proses pembangunan. Menurut paham ini hasil pembangunan akan terdistribusi secara merata melalui mekanisme pasar, tanpa perlu campur tangan pemerintah (institusi). Menurut teori ini jika pusat-pusat pertumbuhan mengalami pertumbuhan ekonomi maka secara otomatis (melalui mekanisme pasar) berdampak pada pertumbuhan wilayah yang lain, tidak diperlukan campur tangan pemerintah ataupun institusi. Model yang dibangun didasarkan pada fungsi Cobb-Douglas, dengan asumsi constant return to scale:           
                                    Yt  =  TK t α    Lt 1- α                                                             (2.10)       Kritikan terhadap model ini bahwa model ini tidak dapat menjelaskan perbedaan kinerja ekonomi antar negara. Studi Hall dan Jones (1998) menunjukkan bahwa produktivitas antar negara berbeda. Perbedaan produktivitas antar negara tidak dapat dijelaskan melalui input yang digunakan. Aktivitas ekspor dan impor mempunyai andil yang cukup besar dalam produktivitas suatu negara, tetapi tidak dimasukkan dalam model Solow –Swan. Teori Solow-Swan ini digantikan dengan model Pertumbuhan Endogen dengan menggunakan asumsi constant and increasing return to capital.
Model pertumbuhan endogen memandang pentingnya perdagangan internasional sebagai faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Dasar pemikiran perlunya perdagangan internasional dimasukkan dalam model pertumbuhan karena melalui perdagangan internasional dapat meningkatkan produktivitas. Atas dasar pemikiran tersebut maka model pertumbuhan endogen dipandang cocok untuk diterapkan. Dalam model ini perdagangan internasional diukur melalui aktivitas ekspor dan impor.
            Yi = F( Ai ,Ki ,Li )                                                                                       (2.11)
Y adalah output, A = indeks produktivitas, K=modal dan L= tenaga kerja, subskrip i tahun. Sedangkan indeks produktivitas (A) fungsi dari impor (M) dan ekspor (X) :
            Ai = F (Xi , Mi )                                                                                          (2.12)
 Model ini mengkritik bahwa model Neoklasik tidak dapat menjelaskan perbedaan pendapatan perkapita (Sligitz, 2001). Menurut Ray (1995) model pertumbuhan Neoklasik mempunyai kelemahan sebagai berikut: 1) Deminishing return to capital yang berimplikasi pertumbuhan pendapatan antar sektor yang konvergen tetapi kenyataannya terdapat perbedaan antara yang maju dan berkembang. 2) Tidak mampu memasukkan dampak eksternal yang dibatasi dengan asumsi constant return to scale 3) Dalam model Neoklasik indeks produktivitas sebagai exogenous, misalnya tidak terwujud dalam peralatan modal. Akibatnya kesimpulan menjadi tidak realistis.
Kelemahan tersebut mengakibatkan variasi kinerja pembangunan antar negara. Disamping itu variasi kinerja tersebut tidak lepas dari pengalaman tentang proses pembangunan di negara sedang berkembang (Boediono, 2001) sebagai berikut:
Pertama, stabilitas ekonomi makro merupakan prasyarat esensial untuk mendapatkan kinerja pertumbuhan ekonomi yang sangat diperlukan dalam proses pembangunan secara keseluruhan. Apapun prioritas pembangunan, baik pembangunan sektor pertanian, industrialisasi, pemerataan peluang berusaha, dan pengentasan kemiskinan, proses implementasinya akan terhambat bila perekonomian makro bergejolak.
 Kedua, pertumbuhan tidak mengalami penetesan kebawah. Asas tricle down ini sangat dekat dengan pendekatan Neoklasik yang mengutamakan pemberian insentif bagi masyarakat yang mampu melakukan tabungan untuk kemudian diinvestasikan, karena investasi inilah kuncinya terjadi pertumbuhan.
Ketiga, tidak ada kebijakan parsial yang secara manjur dapat mendorong  terjadinya proses pembangunan yang sukses. Pembangunan mencakup berbagai variabel yang saling kait mengkait sehingga membutuhkan pendekatan yang integratif dan komprehensif.
Keempat, keberadaan institusi. Proses pembangunan membutuhkan dukungan kelembagaan yang melibatkan masyarakat seluas mungkin dan mampu merespon secara positif  perubahan lingkungan yang sangat cepat. Institusi tidak hanya terbatas pada pengertian organisasi tetapi termasuk “aturan main” (behavioral rule) yang menentukan dan mengatur bentuk interaksi manusia baik secara individu maupun secara berkelompok. Melalui institusi tersebut maka pelaku interaksi mampu mengantisipasi perilaku pihak lain dalam proses interaksi tersebut.
Untuk memperoleh model yang dapat menjelaskan perbedaan pendapatan perkapita antar negara Romer dan Weil (1992) mencoba menjelaskannya dengan memasukkan Human Capital (H) kedalam model. Dengan memasukkan Human Capital kedalam model Solow, maka model tersebut menjadi lebih cocok untuk menganalisis pertumbuhan antar negara (Bulhol, 2004). Mengapa suatu negara mengalami pertumbuhan yang pesat sementara yang lain mengalami pertumbuhan yang rendah dapat dijelaskan melalui kualitas sumberdaya  manusia yang dimiliki.
        Hal yang senada dilakukan oleh Hall dan Jones (1999); dan Klenow dan Rodriguez-Clare(1997). Mereka mengembangkan model yang dapat menjelaskan perbedaan pendapatan perkapita antar negara. Model tersebut didasarkan pada teori produksi Cobb-Doglass yang merupakan kombinasi antara modal pisik dengan kualitas sumberdaya manusia (H):

A tidak hanya mengukur teknologi atau pengetahuan tetapi  juga faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap output diluar  modal pisik dan layanan sumberdaya manusia. Dengan membagi model 2.15 dengan jumlah tenaga kerja (L) dan mentranformasi dalam bentuk log dapat diketahui pendapatan yang diterima setiap individu (Y/L):
                    Model dapat menjelaskan terjadinya perbedaan (kesenjangan) pendapatan perpekerja. Kesenjangan pendapatan perpekerja terjadi karena perbedaan kontribusi modal pisik perpekerja, peran setiap pekerja dan residual.  Dalam model tersebut peningkatan pendapatan perpekerja ditentukan oleh a yang merespon perubahan A (residual) dan modal fisik perpekerja. Model tersebut akan lebih berguna jika mencirikan semua peningkatan terahadap residual, selama peningkatan A sebagai sumber utama peningkatan output perpekerja. Untuk itu Klenow dan Rodriguez-Clare dan Hall dan Jones mengeluarkan a Ln (Yi / L) dari model, sehingga model menjadi
(Romer, 2001):
         
             

Model diatas menunjukkan bahwa output perpekerja tergantung pada intensitas modal pisik ( K/ Yi  : Capital –output ratio), layanan tenagakerja perpekerja, dan residual. Perbedaan intensitas modal pisik, tenagakerja perpekerja menimbulkan kesenjangan pendapatan.
            Teori Neoklasik yang merupakan penerus dari teori klasik menganjurkan agar kondisi selalu diarahkan menuju pasar sempurna. Dalam keadaan pasar sempurna perekonomian bisa tumbuh maksimal. Kebijakan yang perlu ditempuh adalah meniadakan hambatan dalam perdagangan termasuk perpindahan orang, barang, dan modal. Harus dijamin kelancaran arus barang, modal, tenaga kerja dan perlunya penyebarluasan informasi pasar. Harus diusahakan terciptanya prasarana perhubungan yang baik dan terjaminnya keamanan, ketertiban, dan kestabilan politik (Tarigan, 2007).

Model Keynesian (Harrod-Domar dalam sistem Regional) (skripsi dan tesis)


            Pada tahun 1940 dan 1950an dalam mengkaji pertumbuhan ekonomi para ekonom lebih menekankan pada  aspek mobilitas kapital (K) dalam jangka panjang, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi tergantung pada akumulasi kapital (tabungan dan investasi). Beberapa ekonom pada periode ini menyatakan bahwa pertumbuhan merupakan fenomena jangka pendek. Pendapat ini didasarkan pada asumsi mereka bahwa dalam perkembangannya investasi kapital mengarah pada terjadinya penurunan marginal produktivitas kapital. Tokoh ekonom pada periode ini diantaranya adalah Harrod-Domar  yang terkenal dengan teori pertumbuhan Harrod-Domar, dan Kaldor.

Apa yang dikemukakan Harrod-Domar tersebut tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan Kaldor. Ia menyatakan bahwa pertumbuhan pendapatan fungsi dari peningkatan investasi neto yang dinyatakan sebagai proporsi stok modal (It / Kt ) pada periode t dikalikan modal perkapita (b) plus koefisien kemajuan teknikal (a):
          Baik Harrod-Domar maupun Kaldor menekankan pada pentingnya investasi untuk mencapai pertumbuhan. Semakin tinggi investasi akan semakin tinggi pertumbuhan pendapatan. Untuk mempertinggi investasi perlu mempertinggi tabungan. Persoalan yang muncul dari konsep tersebut apabila diterapkan di negara yang sedang berkembang akan menimbulkan masalah baru. Pertumbuhan pendapatan akan menimbulkan kesenjangan pendapatan. Untuk mencapai pertumbuhan pendapatan dibutuhkan investasi, sedangkan investasi merupakan fungsi dari tabungan. Karena investasi fungsi dari tabungan maka untuk meningkatkan investasi harus mempertinggi tabungan. Peningkatan tabungan hanya dapat dilakukan oleh kelompok tertentu saja (yang berpendapatan tinggi). Akibatnya mereka yang melakukan investasi hanya kelompok tertentu saja (yang berpendapatan tinggi), sehingga hanya sekelompok tertentu saja yang menikmati peningkatan pendapatan, terjadilah kesenjangan. Jadi dalam teori ini ketimpangan merupakan konsekuensi logis pertumbuhan ekonomi.

Model Pertumbuhan  Ekonomi Klasik (skripsi dan tesis)


            Model pertumbuhan ekonomi yang diterapkan oleh suatu negara tidak terlepas dari fokus kebijakan pembangunan yang dilakukan negara tersebut. Sebagian besar negara yang sedang berkembang, fokus kebijakan utamanya pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Untuk mencapai pertumbuhan yang tinggi dan stabilitas, pengambil kebijakan membutuhkan pemahaman tentang faktor-faktor pertumbuhan dan efeknya terhadap pertumbuhan (Dewan dan Hussein, 2001).
            Model pertumbuhan ekonomi klasik dipelopori oleh Adam Smith (1723-1790) dan David Ricardo (1772-1823). Inti dari ajaran Smith adalah agar masyarakat diberi kebebasan seluas-luasnya dalam menentukan kegiatan ekonomi apa yang dirasa terbaik untuk dilakukan. Menurut Smith sistem ekonomi pasar bebas akan menciptakan efisiensi, membawa ekonomi kepada kondisi full employment, dan menjamin pertumbuhan ekonomi sampai tercapai posisi stasioner (stationary state). Posisi stasioner terjadi apabila sumber daya alam telah sepenuhnya dimanfaatkan. Tugas pemerintah adalah menciptakan kondisi dan menyediakan fasilitas yang mendorong pihak swasta berperan optimal dalam perekonomian. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban menyediakan prasarana sehingga aktivitas swasta menjadi lancar. Terhadap pemikiran Smith, perlu dicatat pendapat Joseph Schumpeter yang mengatakan bahwa posisi stasioner tidak akan terjadi karena manusia akan terus melakukan inovasi.
   Dua aspek utama pertumbuhan ekonomi menurut Adam Smith adalah pertumbuhan output total dan pertumbuhan penduduk. Unsur pokok dari sistem produksi suatu negara (pertumbuhan output total) menurut Smith adalah  sumber daya alam yang tersedia (faktor produksi “tanah), sumber daya manusia (jumlah penduduk) dan stok modal yang ada.
Sumber daya alam yang tersedia merupakan wadah yang paling mendasar dari kegiatan produksi suatu masyarakat. Jumlah sumber alam yang tersedia merupakan “batas maksimum” bagi pertumbuhan suatu perekonomian. Maksudnya, jika sumber daya ini belum digunakan sepenuhnya, maka jumlah penduduk dan stok kapital yang ada memegang peranan dalam pertumbuhan output. Tetapi pertumbuhan output tersebut akan berhenti jika semua sumber daya alam tersebut telah digunakan secara penuh.
Sumber daya manusia mempunyai peranan yang pasif dalam proses pertumbuhan output. Maksudnya, jumlah penduduk akan menyesuaikan diri dengan kebutuhan akan tenaga kerja dari suatu masyarakat. Pertumbuhan ekonomi akan semakin terpacu dengan adanya sistem pembagian kerja antar pelaku ekonomi. Dalam hal ini, Adam Smith memandang pekerja sebagai salah satu input bagi proses produksi. Menurut Adam Smith, perkembangan penduduk akan mendorong pertumbuhan ekonomi karena perkembangan penduduk akan memperluas pasar. Pada tahap ini dianggap bahwa berapapun jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan dalam proses produksi akan tersedia lewat proses pertumbuhan atau penurunan penduduk.
Stok kapital memegang peran paling penting dalam menentukan cepat lambatnya proses pertumbuhan output. Besar kecilnya stok kapital dalam perekonomian pada saat tertentu akan sangat menentukan output yang diproduksi dan dengan demikian akan menentukan kecepatan pertumbuhan ekonomi. Apa yang terjadi pada tingkat output tergantung pada apa yang terjadi pada stok kapital dan laju pertumbuhan stok kapital sampai tahap pertumbuhan dimana sumber-sumber alam mulai membatasi.
Jumlah penduduk menurut Adam Smith akan meningkat jika tingkat upah yang berlaku lebih tinggi dari tingkat upah subsisten yaitu tingkat upah yang  pas-pasan untuk hidup. Jika tingkat upah di atas tingkat subsisten maka jumlah penduduk akan meningkat sebaliknya jika upah yang berlaku lebih rendah dari tingkat upah subsiten, maka jumlah penduduk akan menurun.
Terlepas dari kekurangan yang terdapat dalam teori Smith, pandangannya masih banyak yang relevan untuk diterapkan dalam perencanaan pertumbuhan ekonomi wilayah. Untuk itu, hal yang perlu dilakukan pemerintah daerah adalah memberi kebebasan kepada setiap orang/badan untuk berusaha (pada lokasi yang diperkenankan); tidak mengeluarkan peraturan yang menghambat pergerakan orang dan barang; tidak membuat tarif pajak daerah yang lebih tinggi dari daerah lain sehingga memberi iklim yang kundusif bagi pengusaha dan investor; menjaga keamanan dan ketertiban sehingga relatif aman untuk berusaha, menyediakan fasilitas dan prasarana sehingga pengusaha dapat beroperasi secara efisien dan tidak membuat prosedur penanaman modal yang rumit.
   David Ricardo (1772-1823) mengembangkan teori pertumbuhan klasik lebih lanjut. Tetapi garis besar dari proses pertumbuhan dan kesimpulan-kesimpulan umum yang ditarik oleh David Ricardo tidak terlalu berbeda dengan teori Adam Smith. David Ricardo menganggap jumlah faktor produksi tanah (yaitu sumber-sumber alam) tidak bisa bertambah, sehingga akan bertindak sebagai faktor pembatas dalam proses pertumbuhan suatu masyarakat (Boediono, 1985)

Model Kesenjangan Pendapatan Kuznets (skripsi dan tesis)


Ketimpangan pendapatan semakin menarik perhatian publik setelah Kuznets mencetuskan hipotesis U terbalik. Hipotesis tersebut dirumuskan dengan membangun model yang mengkaitkan kesenjangan pendapatan dengan pertumbuhan ekonomi. Kuznets menyatakan bahwa pada awalnya pertumbuhan berdampak pada peningkatan kesenjangan pendapatan. Pertumbuhan akan menghasilkan pemerataan jika pendapatan suatu negara sudah melampaui batas tertentu. Observasi ini kemudian dikenal sebagai kurva Kuznets “U-terbalik”, karena perubahan longitudinal (time series) dalam distribusi pendapatan seperti yang diukur misalnya dengan koefisien Gini—tampak seperti kurva berbentuk U terbalik, seiring dengan naiknya GNP sebagaimana dalam Gambar 2.2.
Hipotesis Kuznets ini didasarkan pada teori-teori pertumbuhan ekonomi umum tahun limapuluhan, dan dilengkapi dengan pengamatan-pengamatan empiris. Teori-teori tersebut menjelaskan pertumbuhan sebagai suatu proses yang mana kelompok yang bekerja bergerak dari aktivitas tradisional (seperti pertanian) menuju ke sektor industri yang lebih produktif. Untuk mengetahui bagaimana corak perubahan dalam struktur ekonomi, Kuznet mengumpulkan data mengenai sumbangan berbagai sektor kepada produksi nasional di tiga belas negara yang masuk dalam golongan negara maju antara permulaan abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20 (Sukirno, 2007). Berdasarkan data tersebut, Kuznet membuat simpulan mengenai corak perubahan sumbangan berbagai sektor dalam pembangunan ekonomi  yaitu: Pertama, Sumbangan sektor pertanian kepada produksi nasional pada umumnya telah menurun  dimana pada taraf permulaan pembangunan ekonomi, peranan sektor pertanian mendekati setengah dan adakalnya mencapai sampai hampir dua pertiga dari seluruh produksi nasional; Kedua, Peranan sektor industri dalam menghasilkan produksi nasional meningkat yaitu pada akhir masa observasi, peranannya paling sedikit meningkat sebesar 20 persen poin sehingga pada akhirnya menyumbangkan antara 40 dan adakalanya lebih 50 persen produksi nasional; Ketiga, sumbangan sektor jasa dalam menciptakan pendapatan nasional tidak mengalami perubahan yang berarti dan perubahan tersebut tidak konsisten sifatnya.
Pengamatan empiris menemukan bahwa pendapatan sektor tradisional lebih rendah dan terdistribusi secara sempit dibanding pendapatan perindustrian. Dalam kondisi ini Kuznets menyatakan bahwa, pengalaman suatu negara tertentu telah terbentuk pola antara pendapatan perkapita yang lebih tinggi dengan kesenjangan pendapatan yang tinggi.
Teori Kuznets selanjutnya menyatakan bahwa kebijakan redistribusi mengabaikan dampak terhadap pembangunan. Distribusi pendapatan dipandang sebagai faktor endogenus, sebagaimana yang dijelaskan teori sebagai an outcome      of the development process. Sebaliknya pertumbuhan diperlakukan sebagai faktor  eksogenus, tidak dijelaskan oleh teori dan tidak dipengaruhi secara khusus oleh distribusi pendapatan. Kondisi tersebut mengisyaratkan terbentuk hubungan kausal antara pertumbuhan dengan kesenjangan. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap kesenjangan tetapi tidak sebaliknya (kesenjangan tidak mempengaruhi pertumbuhan).
Dari pernyataan di atas model Kuznets dirumuskan sebagai berikut :
INEQ  = a1   +  b1 (LogYi )  + c1 (LogYi )2   +  Ui                                        (2.6)
            INEQ = Inequality
            Log Y = Log pendapatan perkapita
            a          = Konstanta
            b dan c = parameter
            U         = faktor pengganggu.

Banyak penelitian dilakukan untuk menguji kebenaran hipotesis Kuznets tersebut. Hipotesis Kuznets banyak mendapat perhatian dalam literatur-literatur pembangunan, pertumbuhan dan distribusi pendapatan (Rati Ram, 1995). Ide Kuznets lebih lanjut dikembangkan oleh Robinson (1976), fokus pada pergeseran individu-individu dari sektor pertanian ke sektor industri. Dalam kasus  ini sektor pertanian (desa) pada awalnya mempunyai kontribusi yang besar dalam ekonomi, yang ditandai dengan pendapatan perkapita yang rendah, tingkat kesenjangan antar individu dalam sektor rendah. Sedangkan sektor industri pada awalnya peranannya kecil, dengan pendapatan perkapita lebih tinggi, dengan tingkat kesenjangan dalam sektor relatif tinggi (Barro,  1999).
Pertumbuhan ekonomi yang diwarnai dengan perpindahan individu dari sektor pertanian ke sektor industri, diikuti dengan peningkatan pendapatan perkapita individu yang pindah dari sektor pertanian ke sektor industri. Kenaikan pendapatan perkapita tersebut berakibat meningkatnya kesenjangan pendapatan secara keseluruhan. Dari sini dapat dikatakan bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap kesenjangan. Perpindahan pekerja dari sektor pertanian ke sektor industri berdampak pada penurunan jumlah tenaga kerja disektor pertanian, disisi lain pekerja-pekerja sektor pertanian yang miskin dimungkinkan bekerja di sektor industri yang relatif kaya. Banyak diantara mereka yang mengalami peningkatan pendapatan sebagai akibat kenaikan upah. Kombinasi tersebut menurunkan indeks kesenjangan, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam jangka panjang pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif terhadap kesenjangan. Kondisi pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kesenjangan yang demikian inilah yang akhirnya disebut dengan Hipotesis U terbalik Kuznets.

Ukuran Kesenjangan Pendapatan (skripsi dan tesis)



Ada beberapa ukuran yang sering digunakan untuk mengukur ketimpangan distribusi pendapatan yaitu Kurve Lorenz, Indeks Gini, Theil Indeks, dan L-Indeks. 
Kurva Lorenz
Kurve Lorenz mengukur kesenjangaan pendapatan dengan menggunakan data pendapatan dan populasi. Tingginya kesenjangan ditentukan pertama-tama dengan melakukan perengkingan individual atas dasar pendapatan. Langkah selanjutnya menarik garis dari individu yang berpendapatan terendah ke tingkat pendapatan yang tertinggi, dan Kurva Lorenz adalah plot proporsi total pendapatan dalam masyarakat (gambar 2.1)
Bank Dunia mengukur tinggi rendahnya ketimpangan dengan mendasarkan pada distribusi pendapatan yang diterima oleh 40 persen penduduk yang berpendapatan terendah. Ketimpangan pendapatan diklasifikasikan menjadi :
a) tinggi jika 40 persen penduduk berpendapatan terendah menerima pendapatan kurang dari 12 persen, b) sedang  ketimpangan dikatakan sedang jika 40 persen penduduk berpendapatan terendah menguasai 12 sampai 17 persen bagian pendapatan, c) rendah, ketimpangan dikatakan rendah jika 40 persen penduduk berpendapatan terendah menerima lebih dari 17 persen bagian pendapatan (BPS; 1994).                     
Indeks Gini
Ide dasar Indeks Gini diturunkan dari Kurva Lorenz. Indeks Gini diperoleh dari rasio antara luas area A, (luas area antara garis lurus OP dengan kurva OP) dengan luas area OQP.
Persamaan Indeks Gini           G  =  1   -  ∑[ ( Pi     -   Pi  - 1 )/ ( Yi      -    Yi – 1 )]         (2.1)
G          =  Indeks Gini
            Pi             =   Populasi kumulatif grup i
            Yi             =   Pendapatan kumulatif grup i                         

Indeks Gini berkisar antara nol sampai satu. Indeks Gini nol berarti terjadi distribusi pendapatan yang merata sempurna artinya setiap golongan penduduk menerima pendapatan yang sama. Sebaliknya, Indeks Gini satu, berarti terjadi ketimpangan distribusi pendapatan sempurna. Semua pendapatan hanya dikuasai oleh satu orang (kelompok). Semakin tinggi Indeks Gini berarti ketimpangan pendapatan semakin tinggi juga. Ketimpangan dikatakan tinggi bila Indeks Gini berada antara 0,50 – 0,70, rendah jika Indeks Gini kurang dari 0,20 (Todaro, 2004).
Theil Index.
Dalam Theil indeks ini diasumsikan bahwa penduduk secara eksklusif dikelompokkan dalam provinsi dan distrik. Atas dasar as           

Theil indeks sebagai ukuran ketimpangan mempunyai kelebihan tertentu. Pertama, Theil Indeks dapat digunakan untuk mengukur kesenjangan pendapatan dalam daerah maupun antar daerah yang satu dengan daerah yang lain sehingga cakupan analisa menjadi lebih luas (Sjafrizal, 2008). Kedua, dengan menggunakan indeks ini dapat dihitung kontribusi masing-masing daerah terhadap ketimpangan pendapatan secara keseluruhan sehingga dapat memberikan implikasi kebijakan yang lebih penting. Semakin tinggi nilai T semakin tinggi kesenjangan antar daerah.
L-Indeks
Indeks ini diformulasikan oleh Bourguignon, dengan pertimbangan Indeks Gini tidak dapat dipecah-pecah. L-Indeks dapat dipecah menjadi dua yaitu within group inequality dan between group inequality. Adapun formulasi L-Indeks sebagai berikut (Sritua Arif ,  2006) 
                          n                             n
            L  =  Log ( 1/n  ∑ Yi ) – 1/n ∑Log Yi                                                           (2.3)
                                     i = 1                       i  = 1
Yi           = Pendapatan perkapita menurut kelompok pendapatan i
n          = Jumlah kelompok dalam golongan pendapatan i

Formulasi L tersebut mendasarkan pada Laplace Distribution Indeks, yang mengukur suatau kemencengan observe dari rata-ratanya. Dalam pengukuran kesenjangan pendapatan Bourguignon mengartikan kesenjangan dalam sektor sebagai totalitas (jumlah) hasil perkalian L dengan proporsi tenaga kerja kelompok pendapatan tertentu dalam suatu golongan. Sedangkan kesenjangan antar sektor dihitung sebagai totalitas hasil perkalian L dengan ratio proporsi tenaga kerja dengan proporsi pendapatan kelompok (Laplace Distribution-Wikipedia, The Free Encyclopedia).
Pengembangan tersebut menghasilkan rumus:  
                                  m                           m 
L-Indeks   =    Wj Lj    + ∑ Wj   Log Wj /Vj                                                              (2.4)
                     j =1                         j =1      
 m           
  Wj Lj              = menunjukkan komponen Within Inequality. 
j =1                
m
∑ Wj   Log Wj /Vj   = menunjukkan komponen Between Inequality      
j =1

Wj   = Sumbangan jumlah penduduk atau pekerja menurut kelompok pendapatan j.
Vj   = Sumbangan jumlah pendapatan menurut kelompok penerima pendapatan j
M         =   Jumlah kelompok penerima pendapatan (j = 1,2,3...........m).
L-Indeks    =  Kesenjangan sektoral dengan metode L indeks.
L-Indeks bergerak antara 0 – 1, L-Indeks = 0 berarti pendapatan terdistribusi  merata sempurna (tidak terjadi kesenjangan), Jika L-Indeks = 1 berarti terjadi kesenjangan pendapatan yang sempurna. Semakin tinggi L-Indeks semakin tinggi kesenjangan.

Konsep Kesenjangan Pendapatan (skripsi dan tesis)


Kesenjangan pendapatan merupakan ketidakseimbangan pendapatan yang diterima oleh seseorang atau kelompok yang satu dibanding dengan kelompok yang lain (Basukianto, 2009). Kesenjangan berkaitan dengan masalah distribusi pendapatan yaitu siapa yang menikmati hasil pembangunan  dan seberapa besar seseorang atau sekelompok orang menguasai pendapatan. Sebagai sasaran utama distribusi adalah bagaimana supaya hasil  pembangunan dapat dinikmati secara merata oleh seluruh  rakyat, dalam arti sebagian besar pendapatan nasional dikuasai oleh sebagian besar masyarakat, tidak hanya dikuasai oleh sebagian kecil masyarakat. Manakala pendapatan terbagikan secara merata kepada seluruh penduduk di wilayah tersebut, maka dikatakan distribusi pendapatannya merata, sebaliknya apabila pendapatan regionalnya terbagi tidak secara merata dikatakan ada ketimpangan dalam distribusi pendapatannya. Ketimpangan terjadi bila pendapatan nasional hanya dikuasai oleh sebagian kecil masyarakat, oleh karena itu pemikiran-pemikiran kearah distribusi yang lebih merata diperlukan.
Kenyataan bahwa pembangunan di negara-negara berkembang lebih terarah untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang optimal mendasari pemikiran mengenai konsep pemerataan. Pertumbuhan ekonomi dapat dicapai apabila jumlah produk nasional bruto meningkat lebih cepat dari pertambahan penduduk. Pertambahan produk nasional bruto dapat optimum apabila faktor produksi ikut bertambah, sehingga orientasi pembangunan terarah pada bagaimana menggerakkan modal dalam aktivitas produksi. Kebijakan pembangunan yang hanya menekankan pada pertumbuhan ternyata banyak menimbulkan masalah terlebih bagi negara-negara yang sedang berkembang, sehingga perlu pemikiran tentang  pemerataan pendapatan.
Pembahasan tentang kesenjangan pendapatan sebagaimana tersebut di atas tidak terhenti pada mashab tertentu saja, tetapi  sampai sekarang kesenjangan pendapatan masih merupakan isu kebijakan publik yang penting khususnya di negara-negara yang melakukan industrialisasi, karena banyak negara yang mengalami peningkatan ketimpangan pendapatan (Wenner and Stephen, 1998).

Pengertian Biaya (skripsi dan tesis)


                 Menurut buku “ Manajemen Produksi dan Operasi” edisi pertama” , Zulian Yamit (2003), menyebutkan bahwa biaya dapat dikategorikan dalam bentuk seperti biaya variabel, biaya tetap dan biaya semi variabel.
  1. Biaya Variabel (Variabel cost), yaitu biaya yang secara total selalu berubah sesuai dengan kegiatan produksi, semakin besar volume produksi semakin besar total biaya variabel, sebaliknya semakin kecil volume produksi semakin kecil total biaya vatiabelnya. Contohnya biaya tenaga kerja langsung, bahan baku, biaya bahan penolong dan sebagian biaya overhead pabrik.


  1. Biaya Tetap (Fixed cost), yaitu biaya yang secara total tidak dapat berubah meskipun terjadi perubahan kegiatan produksi. Contohnya biaya gaji pimpinan dan staf tetap, biaya penyusutan aktiva tetap dengan metode garis lurus dan lain-lain.
  2. Biaya semi Variabel atau semi fixed, yaitu biaya yang sebagian memiliki unsure biaya tetap dan sebagian yang lain memiliki unsure biaya variabel. Contohnya biaya telepon, biaya listrik, biaya pemeliharaan dan lain sebagainya.

Cara Perhitungan Break Even Point (BEP) (skripsi dan tesis)


Berikut ini perhitungan Break Even Point menurut Jay Heizer dan Barry Render (2015 ) ada dua yaitu, Produk Tunggal dan Multiproduk
  1. Break Even Point Produk Tunggal
                 Rumusan untuk titik impas dalam Unit dan Rupiah untuk satu produk tunggal dapat dilihat sebagai berikut:
 Titik impas dalam Unit        
 Titik impas dalam Rupiah 
Di mana :
P              = Harga jual / harha per unit
VC           = Biaya Variabel per unit
FC            = Biaya Tetap
X              = jumlah unit  produk yang diproduksi dan dijual

  1. Break Even Point Multiproduk
           =
                    Di mana :
P              = Harga jual per unit
VC           = Biaya variabel per unit
FC            = Biaya tetap
W             = Presentasi setiap produk dari total penjualan
I               = Masing-masing produk

Keterbatasan  analisis break even point (skripsi dan tesis)


            Menurut Syafaruddin Alwi (1994) mengemukakan bahwa break even point memiliki keterbatasan dalam penerapaanya. Dalam analisisnya break even point dapat dirasakan apabila titik impasnya dapat dipertahankan selama periode tertentu apabila biaya dan harga jual dalam posisi konstan, karena naik turunnya biaya dan harga jual akan memperngaruhi titik break even point. Oleh sebab itu bagi analis, perlu diketahui bahwa analisis break even point, mempunyai limitasi-limitasi tertentu, yiaitu :

  1. Fixed Cost haruslah konstan selama periode atau range of output tertentu.
  2. Variabel Cost dalam hubungannya dengan sales, haruslah konstan.
  3. Sales price per unit tidak berubah dalam periode tertentu
  4. Sales mix adalah konstan.

Asumsi-asumsi Dasar Break Even Point (skripsi dan tesis)


Menurut ( Munawir 1995: 197, dalam Vinda Kurnia Saraswati, 2015 ) di dalam break even point terdapat beberapa asumsi-asumsi dasar, yaitu
  1. Bahwa biaya harus dapat dipisahkan atau di klarifikasikan menjadi dua yaitu biaya tetap dan biaya vaiabel dan prinsip variabelitas biaya dapat diterapkan dengan tepat. Pada prakteknya untuk memisahkan biaya tetap dengan biaya variabel dengan tepat bukanlah  merupakan pekerjaan yang mudah karena ada beberapa  biaya yang sifatnya campuran yaitu sifat variable dan tetap.
  2. Bahwa biaya tetap secara total akan selalu konstan sampai kapasitas penuh. Biaya tetap adalah biaya yang selalu akan terjadi walaupun perusahaan berhenti beroperasi.
  3. Bahwa biaya variabel akan berubah secara proposional (sebanding) dengan perubahan volume penjualan dan adanya sinkronisasi antara produksi dan penjualan.
  4. Harga jual persatuan barang tidak akan berubah berapapun jumlah satuan barang yang dijual atau tidak ada perubahan harga secara umum.
  5. Bahwa hanya ada satu barang yang diproduksi atau dijual jika lebih dari satu macam maka kombinasi komposisi penjualanya akan tetap konstan.
              Sedangkan menurut (Riyanto, 2001 dalam Dewi Rakhmawati, 2008) asumsi-asumsi dasar yang digunakan dalam melakukan analisis Break Even Point, yaitu
  1. Biaya dalam perusahaan dibagi dalam golongan biaya variable dan golongan biaya tetap
  2. Besarnya biaya variable secara totalitas berubah-ubah secara proposional denan volume produksi / penjualan
  3. Besarnya biaya tetap secara totalitas tidak berubah meskipun ada perubahan volume produksi/ penjualan
  4. Harga jual per unit tidak berubah selama periode yang dianalisis
  5. Perusahaan hanya memproduksi satu macam produk

Kelemahan Analisis Break Even Point (skripsi dan tesis)


            Menurut Kasmir (2010) break even point di samping memiliki tujuan dan kegunaan ataupun  manfaat bagi perusahaan, analisis titik impas juga memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut antara lain
  1. Perlu adanya asumsi.
      Analisis titik impas membutuhkan banyak asumsi, terutama mengenai hubungan antara biaya dengan pendapatan. Sering kali asumsi yang digunakan sudah tidak sesuai dengan realita yang terjadi ke depan.
  1. Bersifat Statis
Analisis hanya digunakan pada titik tertentu bukan pada suatu periode tertentu
  1. Tidak digunakan untuk keputusan akhir
Analisis titik impas hanya baik digunakan jika ada penentuan kegiatan lanjutan yang dapat dilakukan
  1. Tidak menyediakan pengujian aliran kas yang baik
Jika aliran kas telah ditentukan melebihi aliran kas yang harus dikeluarkan, maka proyek dapat diterima dan hal-hal lainnya dianggap sama
  1. Hubungan penjualan dan biaya
Ada hubungan penjualan dan biaya, misalnya dalam biaya, jika penjualan dilakukan dalam kapasitas penuh, namun diperlukan tambahan penjualan, maka aka nada tambahan biaya tenaga kerja atau upah yang mengakibatkan naiknya biaya variabel dan jika diperlukan tambahan peralatan atau pabrik, maka biaya tetap juga akan meningkat
  1. Kurang pertimbangan resiko.
Selama masa penjualan begitu banyak resiko-resiko yang mungkin dihadapi. Dalam hal ini analisis titik impas kurang memperhatikan factor resiko tersebut. Contoh Kenaikan harga bahan baku dll.
  1. Pengukuran kemungkinan penjualan
Jika grafik titik impas yang didasarkan pada harga penjualan yang konstan, maka untuk melihat kemungkinan laba pada berbagai tingkat harga harus dibuatkan semua seri grafik atau untuk tiap tingkat harga.