Showing posts with label Judul Psikologi. Show all posts
Showing posts with label Judul Psikologi. Show all posts

Saturday, July 20, 2019

Pengertian pola asuh orang tua (skripsi dan tesis)

Keluarga merupakan lingkungan pertama yang dikenal anak dalam kehidupannya. Orang tua berperan besar dalam mengajar, mendidik serta memberi contoh atau teladan kepada anak-anaknya mengenai tingkah laku yang baik dan yang tidak baik atau perlu dihindari (Gunarsa, 2003). Peranan orang tua terhadap perkembangan kehidupan remaja tidak pernah lepas dengan adanya pola asuh orang tua. Dalam hal ini pola asuh menjadi unsur yang penting dalam perkembangan kehidupan remaja.
Menurut Lolytaerti (2004), pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang digunakan orang tua untuk berhubungan dengan anak-anaknya. Pola interaksi inilah yang menurut Muryati meliputi cara pandang pengasuhan terhadap anak, cara berkomunikasi, penerapan disiplin dan kontrol serta cara pemenuhan kebutuhan anak sehari-hari (Jurnal Psikologika No. 4, 1997). Bentuk interaksi tidak hanya dalam aspek social interaction tetapi juga dalam hal moral interaction sehingga memungkinkan anak belajar mengenai moral judgement mengenai hal-hal yang bersifat abstrak dan simbol (Indati dan Ekowarni dalam Jurnal Psikodinamik Vol. 8, 2006).
Hurlock (1973) menyatakan pola asuh orang tua atau pola pemeliharaan orang tua mencakup cara pemenuhan kebutuhan, cara penerapan disiplin atau aturan dan cara komunikasi. Hal ini diperkuat juga dengan pernyataan Diana Baumrind (1966) berdasarkan hasil observasinya terhadap orang tua dan anak. Menurut Baumrind ada beberapa dasar pengasuhan orang tua yang meliputi kemauan untuk melaksanakan kontrol atau aturan, harapan akan kematangan perilaku, komunikasi dengan anak dan pemenuhan kebutuhan.
Dasar-dasar pengasuhan tersebut kemudian diintegrasikan oleh Baumrind (1966) ke dalam dua dimensi pengasuhan orang tua. Pertama, Parental Responsiveness yakni derajat respon orang tua terhadap kebutuhan anak dalam penerimaan dan pemenuhan kebutuhan. Kedua, Parental Demandingness yakni derajat harapan orang tua dan permintaan kematangan perilaku yang bertanggung jawab dari anak.

Perilaku seksual siswi SMA (skripsi dan tesis)

Secara akademis, usia 16 sampai 18 tahun pada umumnya merupakan usia dimana sebagian besar remaja akhir tersebut duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Menurut Berk (2006) late adolescene atau remaja akhir terjadi pada usia 16 sampai 18 tahun. Usia ini merupakan masa dimana remaja tersebut sepenuhnya mencapai penampilan orang dewasa dan mengharapkan penerimaan akan peranannya sebagai orang dewasa.
Dewasa ini, sekolah-sekolah menengah lanjutan seperti SMA mempertahankan orientasinya yang komprehensif. Sekolah dirancang bagi remaja bukan hanya untuk melatih remaja secara intelektual tetapi juga secara kejuruan dan sosial (Santrock, 2002). Transisi dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) ke SMA merupakan suatu pengalaman normatif bagi remaja. Santrock (2002) menyebutkan bahwa pengalaman tersebut menarik perhatian oleh karena proses transisi berlangsung pada suatu masa ketika banyak perubahan terjadi pada individu remaja baik di keluarga dan sekolah secara serentak.
Siswi SMA merupakan salah satu bagian dalam kehidupan seorang remaja. Pada dasarnya seorang remaja putri cenderung rentan terhadap sejumlah masalah khususnya dalam menghadapi kematangan fisik yang lebih awal. Kematangan fisik yang lebih awal pada remaja putri cenderung memberi keuntungan bagi remaja karena memiliki tubuh dan kecantikan yang lebih ideal. Ini merupakan faktor berkembangnya perilaku seksual yang lebih awal, karena perubahan tersebut mengundang respon laki-laki yang mengarah pada berkencan lebih dini dan melakukan pengalaman seksual lebih awal (Santrock, 2002).
Faktor lain yang dapat juga mendorong perilaku seksual siswi SMA tersebut adalah citra diri yang menyangkut body images dan kontrol diri (Sarwono, 1989). Menurut Sarwono (1989) penilaian diri atas keaadan tubuh yang kurang sempurna cenderung dikompensasikan dengan perilaku seksual. Keberhasilan dalam berperilaku seksual tersebut diperkirakan akan menutupi kekurangpuasan terhadap keadaan tubuh sendiri.
Dalam perkembangan sosial, remaja putri juga cenderung membangun kebersamaan dengan teman dan menilai persahabatan sebagai bentuk dukungan emosional dan pengutaraan diri (Berk, 2006). Lingkungan sosial, situasi dan kesempatan juga merupakan sebagian dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi perilaku seksual (Dariyo, 2004). Itulah sebabnya siswa putri SMA lebih cenderung rentan terhadap sejumlah masalah dan konsekuensi atas perilaku seksual yang dilakukannya.
Perilaku seksual remaja cenderung meningkat karena penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media massa. Remaja menjadi terdorong untuk mengetahui dan mencobanya dengan meniru perilaku yang dilihat dan didengarnya dari media massa, terlebih remaja yang belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orang tuanya (Mu’tadin, 2002).
Umumnya remaja putri memiliki waktu yang lebih lama untuk memulai perilaku seksual yang lebih dalam (hubungan seks) dan sangat didasarkan pada perasaan-perasaan yang menyertai perilakunya. Remaja putri seringkali tidak dapat mengendalikan diri untuk berperilaku seksual, terlebih apabila keinginan tersebut didukung oleh dorongan dari pacarnya (Sarwono, 1989).
Pengalaman seksual yang lebih awal tersebut membawa remaja pada perilaku-perilaku seksual yang lebih awal pula. Perilaku yang dilakukan tersebut umumnya terjadi dengan frekuensi dan intensitas perilaku yang bertambah, yang tentu saja semakin hari perilaku seksual justru semakin tinggi dari sebelumnya. Perilaku yang benar akan disertai dengan sikap yang mendukung perilaku, sedangkan perilaku yang salah akan diikuti dengan perilaku yang menolak perilaku.

Perilaku seksual remaja akhir (skripsi dan tesis)

Berk (2006) mengungkapkan bahwa masa adolescentia merupakan proses transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa yang diawali dengan tanda-tanda pubertas. Pendapat ini diperkuat oleh Santrock (2006) yang menyatakan bahwa dalam memandang dampak masa pubertas, dunia seorang remaja meliputi perubahan fisik, kognitif serta perubahan sosial.
Perkembangan fisik remaja ditandai dengan terjadinya perubahan secara biologis yang ditandai dengan kematangan organ seks primer maupun sekunder yang dipengaruhi oleh kematangan hormon seksual (Dariyo, 2004). Pada remaja putra ditandai dengan berkembangnya testes dan scrotum, diikuti dengan pertumbuhan organ-organ seks primer dan sekunder lainnya. Perubahan fisik pada remaja putri meliputi pertumbuhan payudara, pertumbuhan bulu kemaluan, pertumbuhan badan, menarche, tumbuhnya bulu ketiak Papalia, Olds, Felman, 2005.
Kemampuan kognitif remaja berkembang pada saat remaja tersebut mampu untuk mengembangkan hipotesa pemikirannya dalam memecahkan masalah dan menarik kesimpulan dalam menentukan pemecahan masalahnya (Santrock, 2002). Perkembangan sosial terjadi saat remaja berupaya mencari dan membentuk persahabatan dengan kelompok sebayanya.
Para ahli perkembangan berpendapat bahwa dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasaan, ada tiga tahap perkembangan remaja antara lain remaja awal (early adolescene), remaja madya (middle adolescene) dan remaja akhir (late adolescene). Menurut Berk (2006), late adolescene terjadi pada pada usia 16 sampai 18 tahun. Usia ini merupakan masa dimana remaja tersebut sepenuhnya mencapai penampilan orang dewasa dan mengharapkan penerimaan akan peranannya sebagai orang dewasa.
Blos (dalam Sarwono, 1989) menyatakan bahwa late adolescene merupakan masa konsolidasi remaja menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian 5 hal. Pertama, minat yang makin kuat terhadap fungsi-fungsi intelektual. Kedua, ego untuk mencari kesempatan dan bersatu dengan orang lain dalam mewujudkan pengalaman-pengalaman baru. Ketiga, terbentuk identitas seksual. Keempat, egosentrisme (berpusat pada diri sendiri) yang diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain. Kelima, tumbuhnya batasan yang memisahkan diri sendiri dan masyarakat umum.
Perilaku seksual muncul sebagai hasil kematangan seksual pada remaja sehingga memunculkan minat seksual dan keingintahuan remaja terhadap seks. Seksualitas tidak diakui sebagai sesuatu yang alamiah dan hanya sah dibicarakan dalam lembaga perkawinan, seiring derasnya informasi dan perkembangan gaya hidup yang sangat mempengaruhi perkembangan seksualitas remaja yang sedang bergejolak (Iriany, 2005).
Remaja akhir merasa dirinya telah dewasa secara fisik dan mengharapkan adanya pengakuan atau penerimaan dari orang lain akan peranan dan tugas sebagai seorang dewasa (Berk, 2006). Remaja ingin diberi kebebasan tetapi masih bergantung pada orang tua dan ingin dianggap dewasa sementara masih bergantung pada orang tua (Sarwono, 1989). Kondisi inilah yang menimbulkan adanya ketegangan dan kebingungan peran sosial yang tiba-tiba berubah pada diri remaja sehingga remaja cenderung untuk melakukan perilaku seksual yang tidak semestinya (Mu’tadin, 2002)


Masa remaja akhir (skripsi dan tesis)

Masa remaja adalah salah satu bagian dalam rentang kehidupan manusia yang merupakan periode peralihan atau masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa remaja dianggap sebagai masa badai dan stres (storm and stress), karena mereka telah memiliki keinginan secara bebas untuk menentukan nasibnya sendiri (Hall dalam Santrock, 1999). Mereka berusaha mengidentifikasikan diri mereka sendiri dengan orang lain untuk menemukan sebuah jati diri mereka.
  1. Pengertian dan batasan
Masa remaja menurut Stanley Hall (dalam Dariyo, 2006) dianggap sebagai masa topan badai stres (storm and stress). Dalam perkembangannya, masa remaja seringkali disebut dengan masa pubertas dan adolescentia (Gunarsa dalam Dariyo, 2004). Santrock (2002) mendefinisikan pubertas ialah suatu periode dimana kematangan seksual dan pertumbuhan tulang-tulang terjadi secara pesat pada masa remaja. Adolescentia merupakan suatu periode pergolakan manusia yang menyerupai masa dimana manusia berkembang dari liar atau tidak beradab menjadi makhluk yang sopan atau beradab (Berk, 2006). Berk (2006) lebih lanjut mengungkapkan bahwa masa adolescentia merupakan proses transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa yang diawali dengan tanda-tanda pubertas. Pendapat tersebut senada dengan definisi remaja menurut Dariyo (2004) yang menyatakan bahwa remaja adalah masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis dan psikososial.
Pembagian tahapan masa remaja berdasarkan usia semakin hari semakin berkembang maju pada tahapan awal remaja dan berkurang pada tahapan akhir usianya. Berdasarkan usia kronologis, Thornburg (dalam Dariyo, 2004) membagi penggolongan remaja menjadi tiga tahap, yaitu remaja awal (usia 13-14 tahun), remaja tengah (usia 15-17 tahun) dan remaja akhir (18-21 tahun). Lebih lanjut Papalia, Olds dan Feldman (2005) menyatakan rentang usia masa remaja adalah 11 sampai dengan 20 tahun. Pendapat tersebut memutus perkembangan remaja menurut Thornburg tersebut menjadi dua tahun lebih cepat pada awal masa remaja dan satu tahun berkurang dari usia akhir masa remaja.
Berk (2006) membagi masa remaja menjadi tiga fase yakni early adolescene (remaja awal), middle adolescene (remaja tengah) dan late adolescene (remaja akhir). Early adolescene dimulai pada usia 11-12 sampai 14 tahun yang ditandai sebagai periode perubahan pubertas yang cepat. Middle adolescene terjadi pada usia 14 hingga 16 tahun dimana pada masa ini perubahan pubertas mendekati sempurna. Late adolescene pada usia 16 sampai 18 tahun merupakan masa dimana remaja tersebut sepenuhnya mencapai penampilan orang dewasa dan mengharapkan penerimaan akan peranannya sebagai orang dewasa. Dalam penelitian ini batasan usia yang digunakan adalah batasan usia menurut Berk (2006) yaitu late adolescene atau remaja akhir yang berusia 16 sampai 18 tahun.
  1. Perkembangan pada masa remaja
Sejak dalam kandungan hingga lahir seorang individu berkembang menjadi anak, remaja atau dewasa. Ini berarti terjadi proses perubahan pada diri setiap individu (Dariyo, 2004). Dalam memandang dampak masa pubertas, dunia seorang remaja meliputi perubahan fisik, kognitif serta perubahan sosial (Santrock, 2002).
  • Perkembangan fisik
Perkembangan fisik remaja berlangsung sangat cepat oleh karena kematangan hormon seks. Menurut Dariyo (2004) perubahan fisik remaja merupakan terjadinya perubahan secara biologis yang ditandai dengan kematangan organ seks primer maupun sekunder yang dipengaruhi oleh kematangan hormon seksual.
Para ahli psikologi perkembangan menyatakan ada dua karakteristik perubahan fisik yang dimiliki oleh seorang remaja dalam memasuki masa dewasa yaitui seks primer dan seks sekunder. Yang dimaksud seks primer adalah perubahan-perubahan organ seksual yang berfungsi untuk melakukan proses reproduksi. Sedangkan seks sekunder adalah perubahan atau tanda-tanda identitas seks yang diketahui melalui penampakan fisik akibat kematangan seks primer (Dariyo, 2004).
Papalia, Olds dan Felman (2005) mengungkapkan karakteristik perubahan fisik seksual primer dan sekunder pada remaja putra dan putri. Tanda pubertas pada remaja putra diawali dengan berkembangnya testes dan scrotum. Pada remaja putra karakteristik perubahan fisik antara lain pertumbuhan penis dan kelenjar prostat, munculnya bulu kemaluan, pertumbuhan badan, ejakulasi pertama dengan mengeluarkan sperma, tumbuh bulu wajah dan bulu ketiak.
Karakteristik seks primer pada remaja putri antara lain ovarium, tuba fallopi, uterus dan vagina. Pertumbuhan seks primer pada remaja putri tidak dapat diamati secara jelas karena pertumbuhan organ-organ seks yang bersifat internal. Perubahan fisik pada remaja putri meliputi pertumbuhan payudara, pertumbuhan bulu kemaluan, pertumbuhan badan, menarche, tumbuhnya bulu ketiak. Disisi lain, karakteristik seks sekunder pada remaja putra dan putri ditandai dengan perubahan suara dan tekstur kulit dan  perkembangan otot tubuh.
Santrock (2002) menyatakan bahwa kematangan fisik yang lebih awal pada anak perempuan meningkatkan kerentanan remaja putri atas sejumlah masalah. Remaja putri yang lebih cepat matang pada akhir masa remaja mengalami perubahan yang cenderung menguntungkan karena remaja tersebut memiliki tubuh dan kecantikan yang lebih ideal. Perubahan tersebut mengundang respon dari remaja laki-laki yang mengarah pada berkencan lebih dini dan pengalaman-pengalaman seksual lebih awal.
  • Perkembangan kognitif
Setiap individu akan mengalami proses pertumbuhan struktur dan skema mentalnya dari yang bersifat sederhana sampai yang bersifat kompleks. Ini terjadi karena faktor perkembangan yaitu perubahan struktur mentalnya dan faktor belajar yaitu perubahan isi mental (Dariyo, 2004).
Menurut Santrock (2002) ciri pemikiran remaja masih bersifat egosentris. Keegoisan remaja nampak bahwa mereka menganggap dirinya sebagai individu yang unik dan berbeda dengan orang lain. Pemikiran mereka semakin abstrak, sistematis, logis dan idealis, lebih mampu menguji pemikiran diri sendiri, pemikiran orang lain dan apa yang orang lain pikirkan tentang diri mereka. Hal ini merupakan ciri-ciri dari pemikiran operasional formal menurut Jean Piaget yang berlangsung antara usia 11 tahun hingga 15 tahun (Santrock, 2002). Kemampuan kognitif mengembangkan hipotesa terbaik dalam memecahkan masalah dan menarik kesimpulan secara sistematis untuk menentukan pola pemecahan masalah tersebut disebut Piaget sebagai hypothetical-deductive reasoning (Santrock, 2002).
  • Perkembangan sosial
Sebagai individu yang berkembang, remaja mulai mengadakan hubungan dengan berbagai tipe individu lain. Pergaulannya mulai berkembang luas tidak hanya dengan anggota keluarga dan orang tua tetapi juga dengan teman-teman sebayanya dan masyarakat di sekitarnya (Dariyo, 2004). Mereka berusaha untuk melepaskan diri dari kekuasaan orang tua dengan maksud untuk menemukan dirinya dan tidak bergantung pada orang lain.
Seorang remaja akan berupaya untuk mencari dan membentuk persahabatan dengan teman kelompok sebayanya sebagai bentuk pembelajaran dan mengembangkan ketrampilan sosialnya. Dalam persahabatan tersebut, intimacy (kekariban) dan loyalty (kesetiaan) merupakan ciri-ciri utama dalam menjalin hubungan dengan teman-temannya (Berk, 2006). Remaja putri cenderung membangun kebersamaan dengan teman dan menilai persahabatan sebagai bentuk dukungan emosional dan pengutaraan diri. Keberhasilan remaja dalam menghadapi krisis akan meningkatkan dan mengembangkan kepercayaan dirinya, sehingga remaja tersebut akan mampu untuk mewujudkan jati diri atau identitas dirinya.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku seksual (skripsi dan tesis)

Dalam realitas kehidupan ada banyak faktor yang mempengaruhi perilaku seksual. Secara umum Dariyo (2004) memandang bahwa perilaku seksual itu dipengaruhi oleh faktor lingkungan sosial, situasi dan kesempatan. Perilaku yang dianggap benar akan disertai dengan sikap yang mendukung perilaku tersebut dan perilaku yang dianggap salah akan disertai dengan sikap yang tidak mendukung perilaku tersebut (Asmarayasa, 2004).
Hurlock (1980) menyatakan bahwa ada dua unsur yang mempengaruhi minat dan perilaku seksual terhadap lawan jenis (heteroseksualitas). Pertama, perkembangan pola perilaku yang melibatkan anggota kedua kelompok seks. Kedua, perkembangan sikap sehubungan dengan hubungan kedua kelompok seks. Dari pernyataan tersebut kemudian disimpulkan (Hurlock dalam Widiastuti, 2004) bahwa perilaku seksual dipengaruhi oleh:
  1. Faktor internal, yaitu stimulus yang berasal dari dalam diri individu yang menimbulkan dorongan seksual pada individu. Faktor internal tersebut meliputi fisik, kognitif dan kepribadian (Sarwono, 1989).
  • Fisik. Stimulus fisik berupa fungsi alat-alat reproduksi, berkembangnya hormon-hormon yang berpengaruh pada seksualitas dan munculnya tanda-tanda seksual sekunder.
  • Kognitif. Keseluruhan kemampuan individu untuk berfikir dan bertindak secara terarah serta mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif.
  • Kepribadian. Stimulus yang timbul akibat ketegangan mental dan kebingungan peran dalam mewujudkan jati diri atau identitas dirinya.
  1. Faktor eksternal, yakni stimulus yang berasal dari luar diri individu yang mendorong untuk memunculkan perilaku seksualnya.
  • Sosial. Konflik peran yang terjadi pada diri remaja dimana secara fisik remaja telah mencapai penampilan orang dewasa dan mengharapkan penerimaan akan peranannya sebagai orang dewasa (Berk, 2006).
  • Pendidikan seks dari orang tua. Cara pengajaran atau pendidikan yang dapat menolong remaja untuk menghadapi masalah hidup yang bersumber pada dorongan seksual (Mu’tadin, 2002).
  • Pola asuh orang tua. Pola interaksi orang tua dan anak yang meliputi cara pemenuhan kebutuhan, penanaman disiplin dan komunikasi, terlebih saat orang tua masih bersikap mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak (Sarwono, 1989).

Bentuk-bentuk perilaku seksual (skripsi dan tesis)

Sarwono (dalam Asmarayasa, 2004) menjabarkan bentuk perilaku seksual sebagai berikut:
  1. Memegang tangan
    • Bergandengan tangan saat berjalan
    • Memegang tangan saat berduaan
  2. Mencium
    • Mencium pipi
    • Mencium bibir
  3. Memeluk
    • Merangkul bahu
    • Berpelukan
  4. Meraba tubuh
    • Meraba tubuh bagian atas di luar maupun di dalam pakaian
    • Meraba bagian tubuh bawah di luar maupun di dalam pakaian
  5. Menempelkan alat kelamin (petting)
    • Petting dengan berpakaian lengkap
    • Petting masih memakai pakaian
    • Petting tanpa busana
  6. Masturbasi
    • Masturbasi diri sendiri
    • Saling memasturbasi dengan pasangannya
  7. Hubungan seksual
Menurut Taufik (1994), perilaku seksual di Indonesia melalui beberapa bentuk yaitu dari mulai menunjukkan perhatian pada lawan jenis, pacaran, berkencan, lips kissing, deep kissing, genital stimulabon, petting dan sexual intercourse. Hurlock (1980) menggambarkan pola keintiman seksual dalam berkencan dan berpacaran memiliki urutan yakni, berciuman, bercumbu ringan, bercumbu berat hingga bersenggama.

Pengertian perilaku seksual (skripsi dan tesis)


Perilaku adalah segala sesuatu yang dilakukan individu secara langsung maupun tidak langsung dapat di observasi, bersifat sederhana atau kompleks dan timbul akibat adanya stimulus (Retiayu, 2003). Menurut Dariyo (2004) dalam realitas kehidupan ada banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi perilaku seseorang seperti lingkungan sosial, situasi atau kesempatan. Retiayu (2003) menyatakan seksualitas adalah dorongan untuk memenuhi kebutuhan individu akan keturunan, pernyataan cinta dan kesenangan yang terjadi akibat adanya perbedaan jenis kelamin atau sesama jenis. Seksualitas meliputi karakteristik fisik dan kapasitas untuk berperilaku seks, yang dipadukan dengan proses belajar psikososial (nilai, sikap, norma) sehubungan dengan perilaku-perilaku tersebut (Thornburg dalam Dwiardiani, 2004).
Sarwono (1994) mendefinisikan perilaku seksual sebagai upaya tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis. Perilaku seksual mencakup segala bentuk ekspresi seksual yang dilakukan oleh seseorang, untuk mencapai kepuasan seksual baik secara biologis maupun psikologis (Kinsey dkk dalam Dwiardiani, 2003). Perilaku seksual merupakan manifestasi dari dorongan seksual, baik kepada lawan jenis maupun sesama jenis yang dapat diamati secara langsung ataupun tidak langsung.

Tuesday, July 16, 2019

Komplikasi Psikiatrik Penderita Kanker (skripsi dan tesis)

           Suatu penyelidikan psikologik telah dilakukan terhadap para penderita kanker yang telah menjalani tindakan operatif. Berbagai reaksi kejiwaan, yaitu masing-masing penderita menunjukkan satu atau lebih gejala-gejala tersebut. Ada enam gejala klinis gangguan jiwa sebagai komplikasi psikiatrik (kejiwaan) dan salah satunya adalah kecemasan (anxiety). Reaksi kecemasan ini sering muncul tidak saja sewaktu penderita diberitahu mengenai penyaktnya, tetapi juga setelah menjalani operasi, kecemasan tersebut lazimnya mengenai masalah finansial, kekhawatiran tidak dterima di lingkungan keluarga atau masyarakat (Hawari, 2009).
            Kecemasan yang dialami pasien yang akan dioperasi disebabkan oleh bermacam- macam alasan di antaranya adalah : cemas menghadapi ruangan operasi dan peralatan operasi, cemas menghadapi body image yang berupa cacat anggota tubuh, cemas dan takut mati saat dibius, cemas bila operasi gagal, cemas masalah biaya yang membengkak. Beberapa pasien yang mengalami kecemasan berat terpaksa menunda jadwal operasi karena pasien merasa belum siap mental menghadapi operasi (Sawitri, 2008).
Perbedaan tingkat kecemasan dapat mempengaruhi persiapan operasi. Tingkat kecemasan sedang merupakan waktu yang optimal untuk mengembangkan mekanisme strategi koping pada pasien yang bersifat membangun. Perawat dalam melakukan tindakan proses keperawatan komunikasi terapeutik tetap harus berpegang pada konsep bahwa pasien adalah manusia yang bersifat unik dan kompleks yang dipengaruhi oleh faktor biopsikososial dan spiritual (Sawitri, 2008).

. Aspek Kejiwaan Penderita Kanker (skripsi dan tesis)


            Bagi kebanyakan orang, kanker adalah suatu jenis penyakit yang amat mengerikan. Masyarakat sadar akan besarnya potensi bahaya yang ditimbulkannya, sehinga orangpun berpendapat dan yakin bahwa manakala sekali seseorang didiagnosis mengidap kanker, maka berarti seolah-olah “surat kematian telah ditandatangani”. Cara, sikap atau reaksi orang dalam menghadapi penyakit kanker yang menyerang dirinya, berbeda satu sama lain tergantung pada sifat individualnya. Hal ini juga tergantung pada sebagaimana jauhkah individu yang bersangkutan untuk menyesuaikan diri terhadap situasi yang mengancam kehidupannya (Hawari, 2009).
            Hal tersebut di atas juga tergantung pada usia, kematangan emosional, perilaku, reaksi-reaksi emosional dalam mengahadapi stress, hubungan kekeluargaan, keadaan sosial ekonomi dan juga pendidikan ataupun pengetahuan umum tentang kanker. Berbagai faktor psikososial di atas akan mempengaruhi kondisi jiwa seseorang untuk bereaksi. Hal ini perlu diketahui, kira-kira di antara faktor-faktor psikososial tadi, mana yang dominan.
            Kepentingan untuk mengetahui reaksi emosional penderita tersebut adalah dalam rangka menentukan sikap atau pendekatan (appoach) berbagai tehnik pengobatan dan perawatan yang menyangkut empat aspek, yaitu aspek organobiologik, psikologik, soaial-kultural dan spiritual. Berbagai reaksi penderiata kanker di bidang kejiwaan antara lain kecemasan (anxiety), ketakutan (fear), dan depresi. Demikian pula halnya dengan macam-macam kepercayaan yang hidup di masyarakat (traditional beliefs), perlu mendapatkan perhatian dalam penatalaksanaan penderita kanker. 
            Penatalaksanaan penderita kanker dilakukan dengan pendekatan holistic yang meliputi terapi fisik, psikologik, sosial dan agama (WHO, 1984). Oleh karena itu pada penderita kanker seyogyanya tidak hanya dokter ahli bedah yang terlibat, tetapi juga psikiater/psikolog dan rohaniawan/agamawan. Sedangkan bagi perawat, dokter ataupun tenaga kesehatan lainnya juga harus mampu untuk membangkitkan motivasi penderita agar yang bersangkutan dapat menerima kenyataan manakala kanker yang diidapnya tidak lagi dapat diobati, namun masih ada alternatif lain, yang diatur dan dikontrol.

Pengobatan Kanker Serviks (skripsi dan tesis)

            Menurut (Wiknjosasto, 2006), pengobatan kanker serviks pada tingkat klinik tidak dibenarkan dilakukan elektrokoagulasi atau elektrofulgerasi, bedah mikro (cryosurgery) atau dengan sinar laser. Kecuali bila yang menangani seorang ahli dalam kolposkopi dan penderitanya masih muda dan bahkan belum mempunyai anak. Bila penderita telah cukup tua, atau sudah mempunyai cukup anak, uterus tidak perlu ditinggalkan, agar penyakit tidak kambuh (relapse) dapat dilakukan histerektomi sederhana.
Karsinoma serviks menyebar dengan cara invasi local, invasi ke organ sekitarnya, tumor dapat berinfiltrasi sepanjang ligamentum sakro–uterina, sepanjang parametrium. Kandung kemih pun dan rectum dapat terinfiltrasi oleh proses kanker. Penyebaran dapat pula terjadi secara  hematogenik, penyebaran hematogenik dapat mencapai paru-paru,liver dan tulang. Kanker servik dapat bermetastasi ke ruang intraperioneal, bila bermetastasi ke intraperioneal, maka umumnya mempunyai prognosis yang buruk
Pada tingkat klinik IA, umumnya dianggap dan ditangani sebagai kanker yang invasive. Bilamana kedalaman invasi <1mm dan tidak meliputi area yang luas serta tidak melibatkan pembuluh limfa, atau pembuluh darah.
            Pada klinik IB,IB occ dan IIA dilakukan histerektomi radikal dengan limfadenektomi panggul. Pasca bedah biasanya dilakukan dengan penyinaran, tergantung ada tidaknya sel tumor dalam kelenjar limfa regional yang diangkat.
            Pada tingkat IIB,III dan IV tidak dibenarkan melakukan tindakan bedah, untuk stadium ini tindakan primer adalah radioterapi. Sebaiknya karsinoma serviks selekasnya segera dikirim ke pusat penanggulangan kanker.
            Pada tingkat klinik IVA dan IVB penyinaran hanya bersifat paliatif. Pemberian kemoterapi dapat dipertimbangkan. Pada penyakit yang kambuh satu tahun sesudah penanganan lengkap dapat dilakukan operasi jika terapi terdahulu adalah radiasi dan prosesnya masih terbatas pada panggul. Bilamana proses sudah jauh atau operasi tak mungkin dilakukan, harus dipilih pengobatan secara khemoterapi bila syarat-syarat terpenuhi.

Gejala Kanker Serviks (skripsi dan tesis)

            Tidak seperti kanker payudara, kanker leher rahim (serviks) adalah kanker yang tidak menimbulkan adanya benjolan. Namun, kanker ini bisa dirasakan keberadaanya oleh penderitanya. Kemungkinan terserang kanker serviks dapat dipelajari dari gejala-gejala seperti berikut :
  1. Keluar cairan encer dari vagina atau biasa disebut keputihan. Bahkan, pada stadium lanjut cairan tersebut berwarna kuning kemerahan dengan bau yang sangat menyengat.
  2. Sering timbul rasa gatal yang berlebihan di bagian dalam vagina. Bahkan terkadang timbul koreng di bagian dalam vagina.
  3. Sering timbul rasa nyeri di bagian bawah perut.
  4. Sering terjadi perdarahan setelah melakukan hubungan seksual.
  5. Sering timbul perdarahan setwlah memasuki area menoupouse (Lina Mardiana, 2004)

Faktor risiko kanker serviks (skripsi dan tesis)

            Kejadian kanker serviks dapat disebabkan oleh beberapa factor risiko (Maharani, 2009) antara lain adalah :
  1. Hubungan seks pada usia muda atau pernikahan pada usia muda
  2. Berganti-ganti pasangan
  3. Defisiensi zat gizi
  4. Trauma kronis pada serviks seperti persalinan, infeksi, dan iritasi
  5. Gangguan system kekebalan
  6. Pemakaian pil KB
  7. Infeksi herpes genitalis atau infeksi klamidia menahun
  8. Golongan ekonomi lemah (karena tidak mampu melakukan Pap Smear secara rutin)

Pengertian Kanker dan Kanker Serviks (skripsi dan tesis)

          Kanker leher rahim (kanker serviks) merupakan sebuah tumor ganas yang tumbuh didalam leher rahim/serviks, yaitu bagian terendah dari rahim yang menempel pada puncak vagina. Kanker serviks ini dapat muncul pada perempuan usia 35 sampai 55 tahun (Sukaca, 2009)

Karakteristik Cemas (skripsi dan tesis)

Menurut (Hawari, 2009), untuk mengetahui sejauh mana derajat kecemasan seseorang apakah ringan, sedang, berat atau panik, maka digunakan alat ukur yang dikenal dengan Hamilton Ansiety Rating Scale (HARS) atau dusebut juga Hamilton Rating Scale of Ansiety (HRS-A). Adapun cara penilaian tingkat kecemasan menggunakan skala HARS yang terdiri dari 14 kelompok gejala yang masing-masing kelompok dirinci lagi dengan gejala-gejala yang lebih spesifik. Masing-masing kelompok gejala diberi bobot skor 0 – 4, yaitu:
Nilai    0 = tidak ada gejala (keluhan)
            1 = gejala ringan
            2 = gejala sedang
            3 = gejala berat
            4 = gejala berat sekali
            Selanjutnya masing-masing nilai angka kelompok gejala tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat kecemasan seseorang dengan menggunakan pengukuran tingkat kecemasan HARS, yaitu:
Total nilai (score) :
Kurang dari 14 = tidak ada kecemasan
14 – 20             = kecemasan ringan
21 – 27             = kecemasan sedang
28 – 41            = kecemasan berat
42 – 56             = kecemasan berat sekali
            Perlu diketahui bahwa alat ukur HRS-A ini bukan dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis gangguan cemas. Diagnose gangguan cemas ditegakkan dari pemeriksaan klinis oleh dokter (psikiater), sedangkan untuk mengukur derajat berat ringannya gangguan kecemasan itu digunkaan alat ukur HRS-A (Hawari, 2009).
Adapun hal-hal yang dinilai dengan alat ukur skala HARS ini adalah gejala yang meliputi :
  1. Perasaan cemas
Cemas, firasat buruk, takut akan pikiran sendiri.
  1. Ketegangan
Merasa tegang, lesu, tidak bisa istirahat, mudah terkejut, mudah menangis, gemetar dan gelisah.


  1. Ketakutan
Pada gelap, pada orang asing, ditinggal sendiri, pada binatang besar, kerumunan orang banyak, pada keramaian lalu lintas.
  1. Gangguan tidur
Sukar tertidur, terbangun dimalam hari, tidur tidak nyeyak, bangun dengan lesu, mimpi buruk, mimpi menakutkan.
  1. Gangguan kecerdasan
Sukar konsentrasi, daya ingat buruk, daya ingat menurun.
  1. Perasaan depresi atau murung
Hilangnya minat, berkurang kesenangan pada hobi, sedih, bangun dini hari, perasaan berubah-rubah sepanjang hari.
  1. Gejala somatik atau otot sakit dan nyeri otot, gigi gemerutuk, suara tidak stabil.
  2. Gejala sensorik
Tinitus atau telinga berdengung, penglihatan kabur, merasa lemas
  1. Gejala kardivaskuler
Jantung berdebar-debar, nyeri dada, rasa lesu dan lemas seperti mau pingsan, detak jantung menghilang atau berhenti sekejap.
  1. Gejala pernafasan
Rasa sesak, rasa tercekik, sering menarik nafas, nafas pendek.
  1. Gejala gastrointestinal
Sulit menelan, perut melilit, nyeri sebelum dan sesudah makan, perasaan  terbakar diperut, kembung, mual, muntah, sukar buang air besar.
  1. Gejala urogenital dan kelamin
Sering buang air kecil, tidak dapat menahan buang air kecil, tidak datang bulan atau haid, darah haid berlebihan, masa haid berkepanjangan, ejakulasi dini, ereksi melemah, impotensi.
  1. Gejala autonom
Mulut kering, muka merah, muka berkeringat, kepala pusing, kepala terasa berat, kepala terasa sakit, bulu-bulu berdiri.
  1. Tingkah laku pada saat wawancara
Gelisah, tidak tenang, jari gemetar, muka tegang, kerut pada kening, nafas pendek, muka pucat, otot tegang atau mengeras.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan (skripsi dan tesis)

  1. Umur
Wiknjosastro (2006) menspesifikasikan umur ke dalam tiga kategori, yaitu : kurang dari 30 tahun (tergolong muda), 20-30 tahun(tergolong menengah), dan lebih dari 30 tahun (tergolong tua), umur yang lebih muda menderita stres daripada umur tua.
  1. Status ekonomi
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kecemaan adalah stres psikososial, yang termasuk stres klinik adalah kemiskinan. Status ekonomi yang tinggi pada seseorang akan menyebabkan orang tersebut tidak mudah mengalami stres dan kecemasan
  1. Tingkat pendidikan
Status pendidikan yang rendah akan menyebabkan seseorang mudah mengalami stres. Stres dan kecemasan ini biasa terjadi pada orang yang tingkat pendidikannya rendah, disebabkan kurangnya informasi yang dapat didapat orang tersebut.
  1. Keadaan Fisik
Individu yang mengalami gangguan fisik seperti cidera, operasi, abortus dan cacat badan akan mengalami kecemasan dan stres.
  1. Sosial Budaya
Cara hidup orang dimasyarakat juga sangat mempengaruhi timbulnya kecemasan. Individu yang mempunyai cara hidup yang teratur dan falsafah hidup yang jelas pada umumnya lebih sukar mengalami kecemasan.

Respons fisiologis dan psikologisKecemasan (skripsi dan tesis)

Secara langsung kecemasan dapat diekspresikan melalui respons fisiologis dan psikologis dan secara tidak langsung melalui pengembangan mekanisme koping sebagai pertahanan melawan kecemasan :
  1. Respons fisiologis: secara fisiologis respon tubuh terhadap kecemasan adalah dengan mengaktifkan sistem saraf otonom (simpatis maupun parasimpatis). Sistem saraf simpatis akan mengaktivasi proses tubuh, sedangkan sistem saraf parasimpatis akan meminimalkan respons tubuh. Reaksi tubuh terhadap stres (kecemasan) adalah “flight”.
  2. Respons psikologis: kecemasan dapat mempengaruhi aspek interpersonal maupun personal. Kecemasan tinggi akan mempengaruhi koordinasi dan gerak refleks. Kesulitan mendengarkan akan mengganggu hubungan dengan orang lain. Kecemasan dapat membuat individu menarik diri dan menurunkan keterlibatan dengan orang lain.
  3. Respons kognitif: kecemasan dapat mempengaruhi kemampuan berpikir baik proses pikir maupun isi pikir di antaranya adalah tidak mampu memperhatikan, konsentrasi menurun, mudah lupa, menurunnya lapangan persepsi, bingung.
  4. Respons efektif: secara efektif klien akan mengekspresikan dalam bentuk kebingungan dan curiga berlebihan sebagai reaksi emosi terhadap kecemasan. (Suliswati, dkk, 2005: 115)

Teori Membahas Kecemasan (skripsi dan tesis)

Beberapa teori yang membahas mengenai kecemasan pada individu antara lain (Stuart dan Sundeen, 1998):
  1. Teori Psikoanalitik
Menurut Freud dalam Stuart dan Sudeen (1998), penyebab kecemasan adalah konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian Id dan Super ego-Id yang mewakili dorongan insting dan impuls primitive seseorang sedangkan super ego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikembangkan oleh norma-norma budayanya.
  1. Teori Interpersonal
Menurut pandangan interpersonal kecemasan timbul dari perasaan  takut terhadap adanya penerimaan dan penolakan interpersonal. Kecemasan juga berhubungan dengan perkembangan dan kecemasan yang berat.
  1. Teori Prilaku
Kecemasan merupakan produk dari perilaku frustrasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
  1. Teori Biologi
Menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus untuk benzoadiazepin. Reseptor ini mungkin membantu mengatur ansietas.

  1. Kajian Keluarga
Menunjukkan bahwa ansietas merupakan hal yang biasa ditemui dalam suatu keluarga. Ada tumpang tindih dalam gangguan ansietas dan gangguan depresi.

Tingkat Kecemasan (skripsi dan tesis)

Menurut Poplou (1998) dalam Suliswati dkk (2005) ada empat tingkat kecemasan yang dialami oleh individu-individu yaitu kecemasan ringan, sedang, berat dan panik :
  1. Kecemasan ringan
Dihubungkan dengan ketegangan yang dialami sehari-hari, individu masih waspada serta bidang persepsinya meluas, menajamkan indra. Dapat memotivasi individu untuk belajar dan mampu memecahkan masalah secara efektif dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas, contohnya:
  • Seseorang yang menghadapi ujian akhir
  • Pasangan dewasa yang akan memasuki jenjang pernikahan
  • Individu yang akan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi
  • Individu yang tiba-tiba dikejar anjing menggonggong
  1. Kecemasan sedang
Individu terfokus hanya pada pikiran yang menjadi perhatiannya. Terjadi penyempitan lapangan persepsi, masih dapat melakukan sesuatu dengan arahan orang lain. Contohnya:
  • Pasangan suami istri yang menghadapi kelahiran bayi pertama dengan risiko tinggi
  • Keluarga yang menghadapi perceraian
  • Individu yang mengalami konflik dalam pekerjaan
    1. Kecemasan berat
Lapangan persepsi individu sangat sempit. Pusat perhatiannya pada detil yang kecil (spesifik) dan tidak dapat berfikir tentang hal-hal lain. Seluruh perilaku dimaksudkan untuk mengurangi kecemasan dan perlu perintah atau arahan untuk terfokus pada area lain. Contohnya:
  • Individu yang mengalami kehilangan harta benda dan orang yang dicintai karena bencana alam.
  • Individu dalam penyanderaan
    1. Panik
Individu kehilangan kendali diri dan detil perhatiannya hilang karena hilangnya kontrol, sehingga tidak mampu melaksanakan apapun meskipun dengan perintah. Terjadi peningkatan aktivitas motorik, berkurangnya kemampuan berhubungan dengan orang lain, penyimpangan persepsi dan hilangnya pikiran rasional, tidak mampu berfungsi secara efektif biasanya disertai dengan disorganisasi kepribadian.

Tanda dan Gejala kecemasan (skripsi dan tesis)

Sindrom kecemasan bervariasi tergantung tingkat kecemasan yang dialami seseorang. Menurut Capernito (1998), sindrom kecemasan sendiri dapat diuraikan menjadi:
  1. Gejala fisiologis
Peningkatan frekuensi denyut nadi, TD, nafas, diaforosis, gemetar, mual dan muntah, sering berkemih, diare, insomnia, kelelahan, kemerahan atau pucat pada wajah, mulut kering, nyeri (khususnya dada, leher), gelisah, pusing, rasa panas.
  1. Gejala emosional
Individu mengatakan merasa ketakutan, tidak berdaya, gugup, kehilangan percaya diri, tegang, tidak mau rileks. Individu juga memperlihatkan kepekaan terhadap rangsangan, tidak sabar, mudah marah, menangis, cenderung menyalahkan orang lain, mengkritik diri sendiri dan orang lain.
  1. Gejala kognitif
Tidak mampu berkonsentrasi, kurang orientasi lingkungan, pelupa, memblok pikiran dan perhatian yang berlebihan.

Pengertian Kecemasan (skrispi dan tesis)

Menurut Mappiare (2006) anxiety adalah suatu perasaan kacau atau tidak enak yang memperingatkan individu akan adanya suatu ancaman atau bahaya namun wujudnya tidak jelas atau belum nampak.  Davidoff (1991) mendefinisikan kecemasan sebagai emosi yang ditandai oleh perasaan bahaya yang akan diantisipasi, termasuk juga ketegangan dan stres yang menghadang disertai bangkitnya system saraf parasimpatetik. Kecemasan dan ketakutan sering kali dibedakan dalam dua dimensi yaitu :
  1. Objek suatu ketakutan biasanya mudah dispesifikasikan, sedangkan objek kecemasan biasanya tidak.
  2. Intensitas rasa takut itu sesuai dengan besar kecilnya ancaman, sedangkan intensitas kecemasan sering kali jauh lebih besar dari pada objek yang belum begitu jelas pula.
Nevid dkk (2007) menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Kecemasan adalah respons yang tepat terhadap ancaman, tetapi kecemasan bisa menjadi abnormal bila tingkatnya tidak sesuai dengan proporsi ancaman. Menurut American Psychiatric Association dalam Durand dan Barlow (2009) kecemasan adalah keadaan suasana, perasaan (mood) yang ditandai oleh gejala-gejala jasmaniah seperti ketegangan fisik dan kekhawatiran tentang masa depan. Kekhawatiran terjadi karena kita tidak dapat memprediksi atau mengontrol kejadian yang akan datang.             Menurut Hawari (2009) definisi kecemasan adalah gangguan alam perasaan (afektif) yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh orang yang mengalami gangguan kecemasan antara lain :
  1. Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung
  2. Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut
  3. Takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang
  4. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan
  5. Gangguan konsentrasi dan daya ingat
  6. Keluhan-keluhan somatic misalnya rasa sakit pada otot dan tulang, pendengaran berdenging (tinitus), berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, gangguan perkemihan, sakit kepala, dsb.