Showing posts with label ilmu ekonomi. Show all posts
Showing posts with label ilmu ekonomi. Show all posts

Wednesday, February 15, 2023

ndeks Kemampuan Rutin (IKR)

 Kemampuan rutin daerah atau kemampuan PAD dalam membiayai pengeluaran rutin daerah yang tercermin dalam Indeks Kemampuan Rutin (IKR) yaitu ratio pendapatan Asli Daerah terhadap total belanja rutin daerah, digunakan tolok ukur  yang dikemukakan Tumilar (1997: 38), sebagai berikut.

DOF =

PAD / APBD

(%)

 

KRITERIA

IKR =

PAD / BL. RUTIN

(%)

 

KRITERIA

0,00 – 10,00

Sangat Kurang

0,00 – 20,00

Sangat Kurang

10,10 – 20,00

Kurang

20,10 – 40,00

Kurang

20,10 – 30,00

Sedang

40,10 – 60,00

Cukup

30,10 – 40,00

Cukup

60,10 – 80,00

Baik

40,10 – 50,00

Baik

80,10 – 100,00

Sangat Baik

Di atas 50,00

Sangat baik

-

-

 

Posisi fiskal (fiscal position) suatu daerah dapat dipelajari dengan menggunakan konsep-konsep rasio pajak (tax ratio), upaya pengumpulan pajak (tax effort), kapasitas pajak (taxable capacity), kebutuhan fiscal (fiscal needs), indeks penampilan pajak (tax performance index) dan elastisitas pajak. Menurut Musgrave dan Musgrave, (1984 : 530-534) posisi fiskal disebut kuat kalau kapasitas pajak lebih tinggi dari kebutuhan, dan disebut lemah apabila terjadi sebaliknya. (lihat Ahmad, 1990 :36).

Sumbangan dan bantuan

  

Sebelum diberlakukannya UU Nomor 22 dan Nomor 25 Tahun 1999 bantuan pembangunan di Indonesia dikenal dengan bantuan pembangunan daerah atau Inpres yang terdiri dari dua bentuk.

  1. Bantuan Umum atau block grant yang terdiri dari bantuan pembangunan propinsi, bantuan pembangunan kabupaten/kodya dan bantuan pembangnan desa.
  2. Bantuan khusus atau specific grant yang terdiri dari bantuan penunjang jalan dan jembatan, bantuan sekolah dasar, bantuan sarana kesehatan, bantuan penghijauan dan reboisasi serta inpres desa tertinggal (IDT).

Dilihat dari segi penggunaan dana bantuan umum (block grant) tidak ditetapkan oleh pemerintah pusat dalam pengertian bahwa pemerintah daerah mempunyai kewenangan dalam menentukan untuk apa bantuan tersebut dengan ketentuan penggunaannya sejalan dengan sektor-sektor yang sesuai dengan program yang telah disetujui sebelumnya. Bantuan khusus (specific grant) pemerintah daerah hanya terbatas pada wewenang dalam hal penentuan lokasi proyek dan cara pelaksanaannya dan pemerintah pusatlah yang akan menentukan prioritas penggunaan dan alokasi dananya.

Setelah UU Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 mulai diberlakukan, maka bantuan umum berubah menjadi Dana Alokasi Umum (DAU) yaitu dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan antara daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang pengelolaannya sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota.  Bantuan khusus (specific grant) berubah menjadi Dana Alokasi Khusus (DAK) yaitu dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus / tertentu sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh menteri teknis yang terkait dengan tetap memperhatikan kebutuhan yang merupakan komitmen atau perioritas nasional.

Derajat Otonomi Fiskal (DOF)

 Salah satu aspek yang dapat menentukan keberhasilan otonomi daerah adalah kemandirian pemerintah daerah. Dengan demikian implikasi dari pengembangan otonomi daerah bukan semata-mata merupakan penambahan urusan yang diserahkan, akan tetapi juga seberapa besar wewenang yang diserahkan tersebut memberikan kemampuan mengambil prakarsa dalam pengelolaan keuangan daerah termasuk desentralisasi fiskal sehingga daerah dapat mengurangi derajat ketergantungannya kepada pusat dan dapat membiayai kegiatan pembangunan daerahnya.

Derajat otonomi fiskal di Kabupaten dan Kota di Indonesia pada umumnya masih rendah. Hal ini tercermin dalam indeks kemampuan rutin (IKR) yang masih rendah, artinya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari masing-masing Kabupaten dan Kota belum mampu untuk membiayai keseluruhan belanja rutin daerahnya. Pengukuran derajat otonomi fiskal daerah menjelaskan mengenai kemampuan suatu daerah dalam membiayai urusan rumahtangganya dengan menghitung rasio pendapatan asli derah terhadap total penerimaan daerah tanpa transfer (Radianto, 1997 : 47). Pada struktur pengeluaran daerah, derajat otonomi fiskal dapat tercermin dalam angka indeks kemampuan rutin yaitu proporsi antara Pendapatan Asli Daerah dengan pengeluaran rutin tanpa transfer pemerintah pusat (Kuncoro, 1995 : 9 dan Radianto, 1997 :42).

Selanjutnya Bird dan Vaillancourt (2000 :167-169) menyatakan bahwa sistem fiskal yang sangat sentralistik merupakan penyebab mengapa kemampuan pemerintah daerah untuk menjalankan fungsi-fungsinya tergantung kepada pusat. Hal ini telah mengakibatkan kecilnya porsi penerimaan sendiri dalam struktur penerimaan daerah. Ketergantungan yang tinggi terhadap transfer pemerintah pusat telah menyebabkan kurangnya insentif pencarian sumber-sumber untuk menutupi biaya daerah.

Ketergantungan terhadap subsidi pemerintah pusat memang umum terjadi hampir di semua negara tidak terkecuali negara-negara maju seperti Amerika Serikat, di mana pada tahun 1900, sekitar 34% dari pengeluaran pelayanan publik dilaksanakan oleh pemerintah federal dan 66% oleh negara bagian dan pemerintah lokal. Sejak tahun 1949, komposisi pengeluaran sektor publik tersebut bergeser menjadi 70% dilaksanakan oleh pemerintah federal dan 30% oleh negara bagian dan pemerintah lokal. Proporsi ini bergerak pada tingkat yang hampir sama sampai tahun 1990, yaitu 67% dilaksanakan oleh pemerintah federal dan 33% oleh negara bagian dan pemerintah lokal. Namun tingkat ketergantungan negara bagian dan pemerintah  lokal  tersebut  tentu  saja  tidak  mengurangi  kewajiban mereka

untuk meningkatkan PAD-nya, (Sidik 2000 : 3).

Pendapatan Asli Daerah (PAD)

 

Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber pendapatan daerah telah  diatur secara tegas  dalam Undang-undang No. 22 tahun 1999 yakni pasal 79 huruf a yang menyebutkan bahwa Pendapatan Asli Daerah terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) menduduki posisi yang sangat penting dalam setiap penyelenggaraan pemerintah daerah, karena PAD-lah yang secara ideal diharapkan menjadi pilar utama dalam membiayai kegiatan-kegiatan pemerintahan dan pembangunan, sedangkan penerimaan yang bersumber di luar Pendapatan Asli Daerah hanya sebagai pendukung saja. Demikian juga dalam perspektif otonomi daerah, PAD menjadi sumber keuangan yang paling utama di samping penerimaan lainnya yang berupa dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Namun harus diakui bahwa Pendapatan Asli Daerah belum dapat diandalkan sebagai sumber pembiayaan yang dominan dalam pengeluaran pemerintah daerah lebih khususnya pada belanja rutin daerah.

            Rendahnya Pendapatan Asli Daerah tersebut diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Balitbang Depdagri dengan FISIPOL – UGM tahun 1991 terkait dengan kemampuan untuk melaksanakan otonomi daerah dengan salah satu variabel utama yaitu keuangan daerah menyebutkan bahwa dari seluruh daerah tingkat II di Indonesia (292) sebanyak 71,23% hanya memberikan kontribusi PAD terhadap APBD sebesar 20% atau kurang dan 41,78% yang hanya memberikan kontribusi 10% atau kurang (Nugroho, 2000 : 119).

            Menurut Jaya (1996 : 5) masih rendahnya Pendapatan Asli Daerah yang mengakibatkan masih besarnya tingkat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat adalah disebabkan karena kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah, tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan, pajak daerah kendati jumlahnya cukup beragam namun hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber pendapatan, alasan praktis dimana ada kehawatiran bahwa apabila daerah memiliki sumber pendapatan yang tinggi akan mendorong disintegrasi bangsa dan yang terakhir adalah karena pola pemberian subsidi dari pemerintah pusat yang hanya sedikit memberi kewenangan kepada daerah untuk merencanakan pembangunan daerahnya sendiri. Pendapatan Asli Daerah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah merupakan tolok ukur terpenting bagi kemampuan daerah dalam menyelenggarakan dan mewujudkan otonomi daerah dan dapat dipandang sebagai indikator penting dalam mengukur tingkat ketergantungan suatu daerah terhadap pemerintah pusat (Insukindro, dkk, 1994 :1).

Dalam kenyataannya pada hampir semua daerah tingkat II, sumber PAD belum menunjukkan peranan yang berarti. Hasil penelitian Devas, dkk (1989:163) dan Nazara (1997:9) menunjukkan bahwa pada daerah tingkat II di Indonesia, PAD hanya menempati porsi sekitar dua persen dari keseluruhan anggaran pembangunan, sementara itu pada tingkat propinsi, PAD hanya menyumbang sekitar tujuh persen. Meskipun PAD tidak seluruhnya dapat membiayai APBD, namun proporsi PAD terhadap total penerimaan tetap merupakan indikasi derajat kemandirian suatu daerah dalam rangka membiayai segala urusan otonomi daerah.

kontribusi dan pertumbuhan dari penerimaan dan belanja daerah beserta komponennya

 alat analisis penunjang untuk menghitung kontribusi dan pertumbuhan dari penerimaan dan belanja daerah beserta komponennya dengan menggunakan alat analisis menurut Widodo (1993 : 20)   sebagai berikut :

 

  1. Kontribusi

                                      Vi

Kontribusi (kvi)=                          X100%

                                     Vtotal    

 

…………..……….    2.5

di mana ; Kvi    =  Kontribusi variabel komponen APBD

                           Vi      = Variabel Komponen APBD

                           Vtotal   ­=  Total  Variabel  (APBD)    

  1. Pertumbuhan

 

                                      Vx – Vx-1

  Pertumbuhan (DY)=                       X 100%

                                           Vx-1    

 

……..…………       2.6

 

di mana ; (DY)     =   Laju pertumbuhan                  

       Vx       =   Variabel tahun tertentu                              

       Vx-1    =   Tahun sebelumnya  

 

Batas Maksimal Pinjaman (BMP

 Batas Maksimal Pinjaman (BMP) adalah  jumlah kumulatif pokok pinjaman daerah yang wajib dibayar tidak melibihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya. Batas Maksimal pinjaman ini merupakan batas paling tinggi jumlah pinjaman daerah yang dianggap layak menjadi beban APBD, dapat ditulis dengan rumus sebagai berikut :

                 Kumulatif Pokok Pinjaman Daerah                      

BMP=                                                         ≤ 75 % ………………….2.2
                Penerimaan Umum APBDt-1    

 

Debt Service Coverage Ratio (DSCR)

 Debt Service Coverage Ratio (DSCR) adalah perbandingan antara penjumlahan Pendapatan Asli Daerah, Bagian Daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, penerimaan sumber daya alam dan bagian daerah lainnya seperti Pajak Penghasilan Perseorangan, serta Dana Alokasi Umum, setelah dikurangi Belanja Wajib, dengan penjumlahan angsuran pokok, bunga dan biaya pinjaman lainnya yang jatuh tempo, 

Di mana ; PAD adalah  Pendapatan Asli Daerah; BD adalah Bagian Daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan sumber daya alam, serta bagian daerah lainnya seperti Pajak Penghasilan Perseorangan; DAU adalah  Dana Alokasi Umum; BW  adalah   Belanja Wajib yaitu belanja yang harus dipenuhi/tidak bisa dihindarkan dalam tahun anggaran yang bersangkutan oleh Pemerintah Daerah seperti belanja pegawai; P adalah   Angsuran pokok  pinjaman  yang  jatuh  tempo  pada tahun anggaran yang bersangkutan; B adalah Bunga   pinjaman  yang jatuh tempo pada tahun anggaran  yang bersangkutan; dan BL adalah  Biaya lainnya (biaya komitmen,  biaya bank, dll) yang jatuh  tempo.

Jumlah Pinjaman Daerah.

 

         Jumlah pinjaman daerah dapat dihitung berdasarkan kemampuan keuangan daerah, dengan mempertimbangkan jangka waktu, masa tenggang dan bunga pinjaman. Menurut  Sartono (1997), formula yang digunakan sebagai berikut;

 

  1. Pinjaman daerah.

 

       ..……….…………..(2.5)

 

 

 

Keterangan ;

                 PD   =  Pinjaman daerah.

                 A     =  Angsuran pinjaman.

                 r      =  Tingkat suku bunga

                 n     =  Jangka waktu pinjman

 

 

  1. Angsuran Pinjaman.

 

A = P [ r : {1 – (1 + r)‾ⁿ}]          ……………………………..(2.6)

 

Keterangan ;

                A  = Besarnya angsuran per periode.

P  = Pokok pinjaman.

r   = Tingkat suku bunga.

                n  = Jangka waktu pembayaran angsuran pokok.

 

 

 

Batas Maksimum Pinjaman (BMP).

  

         Batas maksimum pinjaman merupakan batas yang dianggap layak  menjadi beban APBD. Perhitungan batas maksimum pinjaman ini diperoleh dengan  menggunakan formula sebagai berikut;

 

                                  Komulatif Pokok Pinjaman Daerah

               BMP =  ---------------------------------------------------------   75 %     

                              Penerimaan Umum APBD tahun sebelumnya               ……..(2.4)

 

 

 Keterangan ;

Komulatif Pokok Pinjaman Daerah = Pokok Pinjaman Lama + Pinjaman baru               

Penerimuaan Umum APBD = Semua  Penerimaan  daerah  tidak    termasuk               

                                                DAU,  dana  darurat,  pinjaman  lama  dan  lain                

                                                Penerimaan.  

Kemampuan Pengembalian Pinjaman (DSCR),

 

 

                         (PAD+BD+DAU) – BW

DSCR = ----------------------------------- ≥ 2,5     ……….…  ( 2.3)

                                       P + B + BL                      

                                       

             

Keterangan;

      DSCR = Debt Service Coverage Ratio.

Penerimaan daerah.

       (1). PAD      =  Pendapatan Asli Daerah.

       (2). BD        =  Bagian daerah yang terdiri dari PBB,BPHTB,SDA.

       (3). DAU     =  Dana Alokasi Umum.

       (4). BW       =  Belanja Wajib, belanja yang harus dipenuhi/tidak bisa     

                              dihindari dalam tahun anggaran yang bersangkutan

                              seperti belanja rutin.       

Pengeluaran daerah.

        (1). Rutin     =  Pengeluaran Rutin.

        (2). DIK        = Daftar Isian Kegiatan yang akan di daerahkan.

Angsuran Pokok.

         (1).  P         =  Angsuran pokok pinjaman.

         (2).  B         =  Bunga Pinjaman.

         (3).  BL       =  Biaya lainnya.

Laju pertumbuhan

 Menurut Widodo (1991:20), untuk mengetahui pertumbuhan dan kontribusi digunakan formula  berikut ini;

  1. Laju pertumbuhan dapat diketahui dengan model sebagai berikut;

                                                   Vx – Vx -1

       Pertumbuhan (∆Y) =                                    X  100 %   …….. …….. (2.1)

                                                       Vx –1

 

 

       dimana ;  ∆Y   = Laju Pertumbuhan .    x  =  tahun tertentu,

                      x -1  = tahun sebelumnya,     V  = variabel tertentu.

 

  1. Kontribusi dapat diketahui dengan model sebagai berikut;

                   ……………… (2.2)

                   

    dimana;  Kvi    =  kontribusi variabel komponen APBD

                    Vi    = Variabel komponenen APBD

                  Vtotal  =  Total Variabel (APBD)

Pinjaman Publik.

  

         Ada dua pandangan yang dikemukakan tentang pinjaman publik, yang mempunyai pemikiran berbeda satu sama lainnya. Menurut aliran klasik (lihat Simanjuntak, et .al., 2000:18), menyatakan bahwa pinjaman publik akan menghambat pembangunan, karena pengeluaran publik bersipat non produktif. Sedangkan menurut aliran Keynesian menyatakan bahwa kredit publik dapat berfungsi sebagai basis jumlah uang beredar dan dapat meningkatkan produktivitas, karena hutang dapat membantu tercapainya transformasi ekonomi dengan cara;

  1. Menutupi kekurangan sumberdaya manusia dan permodalan dalam jangka pendek.
  2. Meningkatkan aktivitas perekonomian yang strategis.
  3. Meningkatkan kinerja pemerintah secara positif.
  4. Menyediakan sumberdaya yang memungkinkan untuk menjalankan reformasi struktural perekonomiannya.

         Dari kedua pandangan tersebut menunjukkan, bahwa pinjaman dapat diperkenankan asalkan digunakan untuk menutupi kekurangan dana dan hal-hal yang bersipat produktif, yang langsung dapat menghasilkan penerimaan bagi daerah, seperti mendirikan pasar, terminal dan hotel (Devas, 1989:221).

         Secara umum, kebijaksanaan untuk melakukan pinjaman, merupakan kebijakan pemerintah daerah, akan tetapi dalam hal ini, pemerintah yang lebih tinggi memegang kuasa atas pemerintah daerah, karena pinjaman pemerintah daerah baru akan dapat dilakukan apabila telah mendapat persetujuan dari pemerintah pusat. Hal ini, dimaksudkan agar pinjaman pemerintah daerah hendaknya tertanan pada kegiatan-kegiatan yang dapat mendorong pendapatan daerah, sehingga daerah akan mampu membayar kembali pinjaman yang dilakukan. Dengan demikian seberapa besarpun pinjaman yang dilakukan daerah tidak menjadi masalah, selama daerah memiliki kemampuan membayarnya.

Pertumbuhan dan otonomi fiskal.

  

         Menurut teori pertumbuhan ekonomi klasik, yang dipelopori oleh Adam Smith, mengatakan bahwa sumber-sumber pertumbuhan produksi nasional (Boediono, 1999:9) terdiri dari pertumbuhan tenaga kerja dan kapital, perbaikan efisiensi dalam penggunaan kapital oleh tenaga kerja melalui spesialisasi dan kemajuan teknologi, serta perdagangan internasional yang dapat memperluas pasar. Selanjutnya, menurut Adam Smith (lihat Arsyad,1997:51), makin besar stok modal makin besar pula kemungkinan spesialisasi dan pembagian kerja yang akan meningkatkan produktivitas perkapita, sehingga akan menghasilkan output. Jadi pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauhmana aktivitas perekonomian akan menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu.

         Berdasarkan pada teori tersebut, karena adanya perbedaan potensi sumber daya alam dan sumberdaya manusia antar daerah, akan menyebabkan perbedaan pertumbuhan antar daerah. Bagi daerah yang memiliki sumberdaya alam berupa minyak dan gas alam cenderung mempunyai laju pertumbuhan yang cukup tinggi (Syafrizal, 1997:27-38).

         Secara umum, kebijaksanaan pertumbuhan daerah merupakan hasil kombinasi antara kebijaksanaan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, akan tetapi dalam hal ini pemerintah yang lebih tinggi memegang kuasa atas pemerintah daerah, sehingga kebijaksanaan pemerintah pusat lebih dominan dari pemerintah daerah (Nazara, 1994:19-36). Implikasi dari kebijakan tersebut diwujudkan dalam perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yang mempengaruhi kegiatan pembangunan di daerah, karena ada daerah yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup banyak, akan tetapi belum sepenuhnya menikmati dari hasil sumberdaya yang dimilikinya.

         Di dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, sebutan daerah otonom tidak mengalami perubahan, hanya diubah sebutannya menjadi daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota, yang berarti ada tiga bentuk daerah otonom, yang masing-masing berdiri sendiri, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan aspirasi masyarakat. Implikasinya, bagi daerah kabupaten dan kota, yang wilayahnya mempunyai potensi ekonomi cukup banyak, maka laju pertumbuhan daerah dan kemandirian otonomi daerahnya  akan lebih terjamin. Sebaliknya bagi daerah yang potensinya terbatas, maka akan mendapatkan kesulitan dalam mengejar pertumbuhan daerahnya dan kemandirian otonominya juga akan terhambat. Namun demikian kelemahan ini setidak-tidaknya akan dapat dikurangi melalui kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 (E.Koswara:2000:47).

         Menurut Davey K, et.al. (1989:179) hubungan keuangan pusat dan daerah menyangkut pembagian tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan -kegiatan tertentu antara tingkat pemerintahan dan pembagian sumber penerimaan untuk menutupi pengeluaran akibat kegiatan-kegiatan itu. Tujuan utama hubungan pusat dan daerah untuk mencapai perimbangan antara pembagian potensi dan sumber daya dapat sesuai dengan peranan yang dimainkan oleh pemerintah daerah..

         Mahi, (2000:56), mengemukakan bahwa, untuk menentukan besarnya ketersediaan dana antar pemerintah daerah digunakan prinsip kebutuhan daerah melalui pembagian fungsi-fungsi (urusan-urusan) yang direfleksikan dalam kebijaksanaan otonomi daerah, yang didalamnya mengatur mengenai pembagian kewenangan sekaligus pembiayaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Pinjaman daerah

  

 Sumber-sumber penerimaan daerah selain diperoleh dari sumber-sumber keuangan yang dimiliki oleh daerah, pemerintah daerah untuk menutup kekurangan sumber-sumber keuangannya  dapat juga melakukan pinjaman.  Dana pinjaman ditujukan untuk membiayai pengadaan prasarana daerah atau harta tetap lain yang berkaitan dengan kegiatan yang bersifat meningkatkan penerimaan yang dapat digunakan untuk mengembalikan pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat.

 Sidik (1998 : 28) mengemukakan bahwa pinjaman daerah merupakan salah satu instrumen bagi pemerintah daerah untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahannya. Daerah dapat melakukan pinjaman atau menerbitkan obligasi untuk membiayai pembangunan daerah. Sumber pinjaman daerah berasal dari pemerintah pusat, negara donor melalui pemerintah pusat (two step loan), pasar modal dan tabungan masyarakat.  .  

 Menurut Riphat dan Hutahaean ( 1997 : 33)  sumber pinjaman daerah secara teoritis dapat dikelompokan menjadi sembilan jenis yaitu (1) pinjaman dari pemerintah yang lebih tinggi; (2) pinjaman dari lembaga keuangan internasional; (3) pinjaman dari bank kredit pusat (central credit bank) atau dana pinjaman pusat (central loan fund); (4) penerbitan saham atau obligasi daerah; (5) pinjaman atau penarikan uang melebihi saldo bank (overdraft); (6) pinjaman dengan jaminan asset Pemda; (7) pinjaman dari dana cadangan sendiri (internal reserve fund); (8) pinjaman dalam bentuk pembelian atau sewa peralatan; dan (9) pembiayaan pendahuluan pembangunan proyek oleh kontaktor.  Namun kenyataannya sumber dana pinjaman daerah di Indonesia baru dapat dikelompokan menjadi : pinjaman dari pemerintah pusat atau Rekening pembangunan Daerah (RPD) dan pinjaman non RPD. Sumber dana RPD selain berasal dari dana sendiri (revolving fund) dan APBN, juga berasal dari luar negeri yang disalurkan ke daerah dengan prosedur Subsidiary loan agreement (SLA). Pinjaman non RPD adalah dana pinjaman yang bersumber dari dalam negeri diluar RPD, seperti pinjaman dari Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan Bank Umum lainnya. Untuk pinjaman yang bersumber dari luar negeri harus melalui pemerintah pusat. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pengontrolan dan pengendalian devisa, sehingga tidak berdampak pada terganggunya stabilitas ekonomi makro nasional. Menurut Devas dkk (1999 : 222) di berbagai negara pada umumnya, kewenangan pemerintah daerah untuk melakukan pinjaman dibatasi hal tersebut terjadi karena :

  1. pinjaman sektor pemerintah secara keseluruhan perlu dikendalikan dalam hubungan dengan kebijaksanaan moneter, terutama untuk mengendalikan inflasi;
  2. untuk mencegah jangan sampai pemerintah daerah terjerumus ke dalam kesulitan keuangan.

Dengan adanya batasan tersebut, apabila pemerintah daerah akan melakukan pinjaman harus mengetahui dulu kemampuan keuangannya dan sampai sejauh mana pemerintah daerah sanggup membayar kembali hutangnya. Hal ini perlu diketahui karena apabila pinjaman tersebut tidak terkendali, maka pemerintah daerah akan berhadapan dengan berbagai kesulitan.

Selanjutnya Devas dkk (1999 : 223),  mengemukakan bahwa  sebagian besar pinjaman daerah dipergunakan untuk membiayai pembangunan perkotaan dengan beberapa alasan :

  1. sektor kota mencakup banyak sekali kegiatan yang memungkinkan pemerintah menembus biaya yang dikeluarkan;
  2. wilayah kota paling banyak menghasilkan penerimaan yang dapat digunakan untuk mengangsur hutang;
  3. lembaga pemberi pinjaman seperti Bank Dunia , yang bekerja atas dasar asas pinjaman yang dibayar dari penerimaan, dan dalam terlibat di sektor ini di Indonesia. Proyek-proyek yang mendapat dana pinjaman termasuk proyek air minum kota, pembuangan air, pembuangan air limbah dan kesehatan lingkungan, pembuangan sampah, perbaikan kampung, dan pembangunan jalan.

Pengertian pinjaman daerah menurut   Peraturan Pemerintah Nomor : 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah  adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali, tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim terjadi dalam perdagangan. Dalam peraturan pemerintah tersebut dijelaskan mengenai persyaratan pinjaman daerah yang meliputi jumlah, jangka waktu dan larangan penjaminan pinjaman daerah. Dengan adanya persyaratan tersebut maka perlu dilakukan proyeksi terhadap kemampuan keuangan daerah, penerimaan daerah, jumlah dan angsuran jangka panjang yang optimal bagi pemerintah daerah. Jangka waktu pinjaman  perlu disesuaikan dengan pengalokasian pinjaman tersebut. Pinjaman jangka panjang, dapat digunakan daerah untuk membiayai sarana dan prasarana yang merupakan asset daerah dan menghasilkan sejumlah pendapatan bagi daerah (cost recovery) yang bisa digunakan untuk melunasi pinjaman tersebut serta dapat memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat.   Pinjaman jangka pendek dapat digunakan untuk pengaturan arus kas dalam rangka pengelolaan kas daerah.

 Untuk menilai kemampuan keuangan suatu daerah dapat mengembalikan pinjaman pada dasarnya merupakan kondisi pinjaman total yang optimal dan relatif aman ditinjau dari aspek keuangan dengan menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor : 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah, pada pasal 6 dan pasal 7 disebutkan tentang Batas Maksimum Pinjaman (BMP) daerah yang bersifat jangka panjang harus memenuhi ketentuan sebagai berikut : (a) jumlah kumulatif pokok pinjaman daerah yang wajib dibayar tidak melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya; dan (b) berdasarkan proyeksi penerimaan dan pengeluaran daerah tahunan selama jangka waktu pinjaman, Debt Service Coverage Ratio (DSCR) paling sedikit 2,5 (dua setengah). Untuk pinjaman jangka pendek ketentuannya sebagai berikut : (a) jumlah maksimum pinjaman jangka pendek adalah 1/6 ( satu per enam) dari jumlah APBD tahun anggaran yang berjalan; (b) pinjaman jangka pendek dilakukan dengan mempertimbangkan kecukupan penerimaan daerah untuk membayar pinjaman tersebut pada waktunya.

Keuangan daerah

  

Faktor keuangan merupakan faktor yang penting dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. keadaan keuangan daerahlah yang menentukan bentuk dan ragam yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah. Usman (1998:63) mengatakan salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata, kemampuan daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri adalah kemampuan “self supporting” dalam bidang keuangan.

Mamesah (1995: 16) mengemukakan bahwa keuangan  daerah secara sederhana dapat dirumuskan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun  barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai dengan ketentuan/peraturan perundangan yang berlaku. Dari  pengertian tersebut di  atas dapat dilihat bahwa dalam keuangan daerah terdapat dua unsur penting yaitu :

  1. semua hak dimaksudkan sebagai hak untuk memungut pajak daerah, retribusi daerah dan/atau penerimaan dan sumber-sumber lain sesuai ketentuan yang berlaku merupakan penerimaan daerah sehingga menambah kekayaan daerah;
  2. kewajiban daerah dapat berupa kewajiban untuk membayar atau sehubungan adanya tagihan kepada daerah dalam rangka pembiayaan rumah tangga daerah serta pelaksanaan tugas umum dan tugas pembangunan oleh daerah yang bersangkutan.

Pemerintah Daerah di dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan memerlukan sumber dana/modal untuk membiayai pengeluaran pemerintah tersebut (government expenditure) terhadap barang-barang publik (publik goods) dan jasa pelayanannya.  Menurut  Kunarjo (1996 : 181)  bahwa untuk melaksanakan pembangunan prasarana, pemerintah daerah dapat membiayai dari sumber pendapatan asli daerah, dana perimbangan maupun pinjaman daerah. Karena kecilnya pendapatan asli daerah dibanding dengan kebutuhan pembangunan maka dalam beberapa hal pemerintah daerah memerlukan pinjaman untuk digunakan pada proyek-proyek yang dapat menghasilkan pendapatan.

Kemampuan keuangan daerah

  

Untuk melaksanakan otonomi daerah tentunya tidak  mudah, karena menyangkut masalah kemampuan daerah itu sendiri dalam membiayai penyelenggaraan urusan pemerintahan beserta pelaksanaan pembangunan dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, masalah kemampuan daerah berarti menyangkut masalah bagaimana daerah dapat memperoleh dan meningkatkan sumber-sumber pendapatan daerah untuk menjalankan kegiatan pemerintahannya.  Menurut Prabowo (1999 : 4) sesuai dengan konsep asas desentralisasi dalam rangka menunjang pelaksanaan pembangunan di daerah sangat dibutuhkan dana dan sumber-sumber pembiayaan yang cukup memadai, karena kalau daerah tidak mempunyai sumber keuangan yang cukup akibatnya tergantung terus kepada pemerintah pusat. 

Selanjutnya  Hirawan (1990: 26) mengemukakan bahwa dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan di daerah, semakin besar pula kebutuhan akan dana yang harus dihimpun oleh Pemerintah Daerah, kebutuhan dana tersebut tidak dapat sepenuhnya disediakan oleh dana yang bersumber dari pemerintah daerah sendiri. Dengan demikian kita perlu  mengetahui apakah suatu daerah  itu mampu untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, maka kita harus mengetahui keadaan kemampuan keuangan daerah. seperti yang dikemukakan oleh Syamsi (1986 ; 199)   ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan ukuran.

  1. Kemampuan struktural organisasinya.

Struktur organisasi Pemerintah Daerah harus mampu menampung segala aktivitas dan tugas-tugas yang menjadi beban dan tanggung jawabnya, jumlah unit-unit beserta macamnya cukup mencerminkan kebutuhan, pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab yang cukup jelas.

  1. Kemampuan aparatur Pemerintah Daerah

Aparat  Pemerintah Daerah harus mampu menjalankan tugasnya dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Keahlian, moral, disiplin dan kejujuran saling menunjang tercapainya tujuan yang diidam-idamkan oleh  daerah.

  1. Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat

Pemerintah Daerah harus mampu mendorong agar masyarakat mau berperan serta dalam kegiatan pembangunan.

  1. Kemampuan keuangan daerah

Pemerintah Daerah harus mampu membiayai semua kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sebagai pelaksanaan pengaturan dan pengurusan rumah tangganya sendiri.  Untuk itu kemampuan keuangan daerah harus mampu mendukung terhadap pembiayaan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.

Soediyono (1992: 7)  mengemukakan bahwa selain faktor alam, tenaga kerja, dan teknologi, maka salah satu faktor utama lainnya adalah faktor kapital,  yang biasa disebut sumber daya modal atau capital resources. Dari pengertian tersebut  kita dapat menyimpulkan  bahwa penerimaan daerah merupakan sumber modal, yang dihimpun dan dimanfaatkan untuk membiayai berbagai  kegiatan pelaksanaan pembangunan daerah. Selanjutnya  Davey (1988: 258) mengungkapkan bahwa otonomi daerah menuntut adanya kemampuan pemerintah daerah untuk menggali sumber-sumber penerimaan yang tidak tergantung kepada pemerintah pusat dan mempunyai keleluasaan di dalam menggunakan dana-dana untuk kepentingan masyarakat daerah dalam batas-batas yang ditentukan peraturan perundang-undangan.

Teori Pertumbuhan Ekonomi

  

Pertumbuhan ekonomi (economic growth) berkaitan erat dengan peningkatan dalam produksi barang dan jasa, yang diukur adalah kenaikan GNP/GDP tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertambahan penduduk atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak. Penilaian ini dapat dilakukan atas dasar harga berlaku pada tahun perhitungan atau atas dasar harga konstan dari satu tahun yang dipilih sebagai tahun dasar. Meningkatnya produksi barang dan jasa maka akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat.

Menurut Boediono (1981: 43) mendefinisikan teori tentang pertumbuhan ekonomi sebagai suatu aktivitas kegiatan, dan menjelaskan mengenai faktor-faktor apa saja yang menentukan output per kapita dalam jangka panjang. Penjelasan mengenai bagaimana faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain sehingga terjadinya suatu proses pertumbuhan ekonomi.

Kinerja pengelolaan keuangan daerah

  

Indikasi keberhasilan otonomi daerah adalah adanya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, kehidupan demokrasi yang semakin maju, keadilan, pemerataan, serta adanya hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. Keadaan tersebut hanya akan tercapai apabila lembaga sektor publik  dikelola dengan memperhatikan  value for money (VFM). Konsep VFM tersebut penting bagi pemerintah sebagai pelayan masyarakat, karena implementasi konsep tersebut memberikan manfaat:

  1. efektivitas pelayanan publik, dalam arti pelayanan tepat sasaran;
  2. meningkatkan mutu pelayanan publik;
  3. biaya pelayanan yang murah karena hilangnya inefisiensi dan penghematan dalam penggunaan resources;
  4. alokasi belanja yang lebih berorientasi pada kepentingan publik; dan
  5. meningkatkan public cost awareness sebagai pelaksanaan pertanggungjawaban publik.

Dalam kontek otonomi daerah, VFM merupakan jembatan untuk menghantarkan Pemerintah Daerah mencapai good governance, yaitu Pemerintah Daerah yang transparan, ekonomis, efisien, efektif, responsif, dan akuntabel. VFM tersebut harus dioperasionalkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah.

Akuntabilitas publik merupakan kata kunci, karena pemerintah sebagai pengemban amanat masyarakat bertanggungjawab atas kinerja yang telah dilakukannya, hal tersebut karena pemerintah berkewajiban untuk mengelola dana masyarakat dalam rangka menjalankan pemerintahannya. Untuk mendukung  dilakukannya pengelolaan dana masyarakat yang mendasarkan konsep VFM, maka diperlukan sistem pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah yang berorientasi pada kinerja (performance budget). Anggaran kinerja tersebut adalah untuk mendukung terciptanya akuntabilitas publik Pemerintah Daerah dalam rangka otonomi daerah dan desentralisasi.

Pemberian otonomi yang luas dan desentralisasi kepada Kabupaten dan Kota memberikan jalan bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan pembaharuan dalam sistem pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Dalam pengelolaan keuangan daerah Pemerintah Daerah dituntut untuk melakukan pengelolaan keuangan daerah  yang berorientasi pada kepentingan publik (public oriented). Hal tersebut meliputi tuntutan kepada Pemerintah Daerah untuk membuat laporan keuangan dan transparansi informasi anggaran kepada publik.

 

Perubahan dalam sistem anggaran daerah yang dikehendaki adalah:

  1. Anggaran daerah harus bertumpu pada kepentingan publik.
  2. Anggaran daerah harus dikelola dengan hasil yang baik dan biaya rendah (work better and cost less).
  3. Anggaran daerah harus mampu memberikan transparansi dan akuntabilitas secara rasional untuk keseluruhan siklus anggaran.
  4. Anggaran daerah harus dikelola dengan pendekatan kinerja (performance oriented) untuk seluruh jenis pengeluaran maupun pendapatan.
  5. Anggaran daerah harus mampu menumbuhkan profesionalisme kerja di setiap organisasi yang terkait.
  6. Anggaran daerah harus dapat memberikan keleluasaan bagi para pelaksananya untuk memaksimalkan pengelolaan dananya dengan memperhatikan prinsip VFM (Mardiasmo,2000: 9).

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

  

Mardiasmo (2001) mengemukakan bahwa salah satu aspek dari Pemerintah Daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah.  Anggaran daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah merupakan instrumen kebijakan, anggaran daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas Pemerintah Daerah.  Anggaran daerah seharusnya dipergunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran, alat bantu untuk pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, alat otoritas pengeluaran di masa yang akan datang. Ukuran standar untuk evaluasi kinerja serta alat koordinasi bagi semua aktivitas disemua aktivitas berbagai unit kerja.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya  merupakan instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah.  Oleh karena itu DPRD dan Pemerintah Daerah harus berupaya secara nyata dan terstruktur guna menghasilkan APBD yang dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat sesuai dengan potensi daerah masing-masing serta dapat memenuhi tuntutan terciptanya anggaran daerah yang berorientasi pada kepentingan masyarakat.

Peran anggaran dalam penentuan arah dan kebijakan Pemerintah Daerah, tidak terlepas dari kemampuan anggaran tersebut dalam mencapai tujuan Pemerintah Daerah sebagai  penyelenggara pelayanan publik.  Oleh karena itu Pemerintah Daerah perlu memperhatikan bahwa pada hakekatnya anggaran daerah merupakan perwujudan amanat rakyat pada pihak eksekutif dan legislatif untuk meningkatkan kesejahtraan dan pelayanan umum kepada masyarakat dalam batas otonomi daerah yang dimilikinya. Untuk itu Menteri Negara Otonomi Daerah Republik Indonesia dan PAU-SE Universitas Gadjah Mada mengemukakan bahwa prinsip-prinsip penyusunan anggaran daerah adalah sebagai berikut.

  1. Keadilan anggaran. Keadilan merupakan salah satu misi utama yang diemban oleh Pemerintah Daerah dalam melaksanakan berbagai kebijakan, khususnya dalam pengelolaan anggaran daerah. Pelayanan umum akan meningkat dan kesempatan kerja juga akan makin bertambah apabila fungsi aloksi dan distribusi dalam pengelolaan anggaran telah dilakukan dengan benar, baik melalui alokasi belanja maupun mekanisme perpajakan serta retribusi yang lebih adil             dan transparan. Hal tersebut mengharuskan Pemerintah Daerah       untuk merasionalkan pengeluaran atau belanja secara adil untuk     dapat dinikmati hasilnya secara proporsional oleh para wajib pajak, retribusi maupun masyarakat luas. Penetapan besaran pajak daerah dan retribusi daerah harus mampu menggambarkan nilai-nilai rasional yang transparan dalam menentukan tingkat pelayanan bagi masyarakat daerah.
  2. Efisiensi dan efektivitas anggaran yang perlu diperhatikan dalam prinsip ini adalah bagaimana memanfaatkan uang sebaik mungkin agar dapat menghasilkan perbaikan pelayanan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat. Secara umum kelemahan yang sangat menonjol dari anggaran selama ini adalah keterbatasan daerah untuk mengembangkan instrumen teknis perencanaan anggaran yang berorientasi pada kinerja, bukan pendekatan incremental yang sangat lemah landasan pertimbangannya. Oleh karenanya dalam penyusunan anggaran harus memperhatikan tingkat efisiensi alokasi dan efektivitas kegiatan dalam pencapaian tujuan dan sasaran yang jelas.  Berkenaan dengan itu maka penetapan standar kinerja proyek dan kegiatan serta harga satuannya akan merupakan faktor penentu dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas anggaran.
  3. Anggaran berimbang dan defisit. Pada hakekatnya penerapan prinsip anggaran berimbang adalah untuk meghindari terjadinya hutang pengeluaran akibat rencana pengeluaran yang melampaui kapasitas penerimaannya. Apabila penerimaan yang telah ditetapkan dalam APBD tidak mampu membiayai keseluruhan pengeluaran, maka dapat dipenuhi melalui pinjaman daerah yang dilaksanakan secara taktis dan strategis sesuai dengan prinsip defisit anggaran. Penerapan prinsip ini agar alokasi belanja yang dianggarkan sesuai dengan kemampuan penerimaan daerah yang realistis, baik berasal dari PAD, dana perimbangan keuangan, maupun pinjaman daerah. Di sisi lain kelebihan target penerimaan tidak harus dibelanjakan, tetapi dicantumkan dalam perubahan anggaran dalam pasal cadangan atau pengeluaran tidak tersangka, sepanjang tidak ada rencana kegiatan mendesak yang harus segera dilaksanakan.
  4. Disiplin anggaran. Struktur anggaran harus disusun dan dilaksanakan secara konsisten. APBD adalah rencana pendapatan dan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah untuk       satu tahun anggaran tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Pencatatan atas penggunaan anggaran daerah sesuai dengan prinsip akuntansi keuangan daerah Indonesia. Tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan/proyek yang belum atau tidak tersedia kredit anggarannya dalam APBD perubahan APBD.  Bila terdapat kegiatan baru yang harus dilaksanakan dan belum tersedia kredit anggarannya, maka perubahan APBD dapat disegerakan atau dipercepat dengan memanfaatkan pasal pengeluaran tak tersangka, bila masih memungkinkan. Anggaran yang tersedia pada setiap pos atau pasal merupakan batas tertinggi pengeluaran, oleh karenanya tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan atau proyek melampaui batas kredit anggaran yang telah ditetapkan. Di samping itu  pula, harus dihindari kemungkinan terjadinya duplikasi anggaran baik antar unit kerja, antara belanja rutin dan belanja pembangunan, serta harus diupayakan terjadinya integrasi kedua jenis belanja tersebut dalam satu indikator kinerja. Pengalokasian anggaran harus didasarkan atas skala prioritas yang telah ditetapkan, terutama untuk program yang ditujukan pada upaya peningkatan pelayanan masyarakat. Dengan demikian akan dapat dihindari pengalokasian anggaran pada proyek-proyek yang tidak efisien.
  5. Transparansi dan akuntabilitas anggaran. Transparansi dan Akuntabilitas dalam penyusunan anggaran, penetapan anggaran, perubahan anggaran dan perhitungan anggaran merupakan wujud pertanggungjawaban Pemerintah Daerah kepada masyarakat, maka dalam proses pengembangan wacana publik di daerah sebagai salah satu instrumen kontrol pengelolaan anggaran daerah, perlu diberikan keleluasaan masyarakat untuk mengakses informasi tentang kinerja dan akuntabilitas anggaran.  Oleh karena itu, anggaran daerah harus mampu memberikan informasi yang lengkap, akurat dan tepat waktu, untuk kepentingan masyarakat, Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, dalam format yang akomodatif dalam kaitannya dengan pengawasan dan pengendalian anggaran daerah. Sejalan dengan hal tersebut, maka perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan proyek dan kegiatan harus dilaksanakan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara teknis maupun ekonomis kepada pihak legislatif, masyarakat, maupun pihak-pihak yang bersifat independen yang memerlukan.  

Strategi dan prioritas APBD adalah suatu tindakan dan ukuran untuk menentukan keputusan perencanaan anggaran daerah yang berkaitan dengan pelaksanaan suatu kegiatan yang dipilih diantara alternatif kegiatan-kegiatan yang lain, untuk mencapai tujuan dan sasaran dari Pemerintah Daerah. Plafon anggaran adalah batasan anggaran tertinggi/maksimum yang dapat diberikan kepada unit kegiatan dalam rangka membiayai segala aktivitasnya. Plafon anggaran hanya ditujukan untuk perencanaan anggaran belanja investasi, bukan belanja rutin.

Belanja rutin adalah pengeluaran yang manfaatnya hanya untuk satu tahun anggaran dan tidak menambah aset atau kekayaan bagi daerah.  Anggaran biaya rutin dibiayai dari PAD dan sumber-sumber lainya. Belanja investasi adalah pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah, serta selanjutnya akan menambah anggaran rutin untuk biaya operasional dan pemeliharaannya.

Untuk menentukan strategi dan prioritas APBD, diperlukan beberapa kriteria atau variabel.  Beberapa variabel yang digunakan untuk menentukan strategi dan prioritas APBD adalah sebagai berikut.

  1. Kemampuan fungsi dan program tersebut dalam mencapai arah dan kebijakan APBD. Arah dan kebijakan umum APBD merupakan hasil kesepakatan antara legislatif dengan Pemerintah Daerah, yang berisi aspirasi-aspirasi masyarakat daerah. Dengan demikian, pelaksanaan fungsi-fungsi yang sesuai dengan arah dan kebijakan umum APBD, berarti melaksanakan segala hal yang menjadi aspirasi masyarakat.
  2. Kemampuan program tersebut dalam mencapai tujuan dan sasaran yang diterapkan. Tujuan dan sasaran Pemerintah Daerah dikembangkan dalam pelaksanaan program/kegiatan oleh unit kerja. Program-program yang dilaksanakan tersebut seharusnya merupakan program-program yang mempu mendukung tujuan dan sasaran pembangunan daerah, sehingga tujuan dan sasaran pembangunan daerah dapat tercapai.
  3. Kemampuan program tersebut dalam memenuhi kebutuhan riil masyarakat. Tuntutan masyarakat terhadap kebutuhan dan fasilitas publik semakin nyata dan kian hari kian banyak. Pemerintah seharusnya peka terhadap tuntutan tersebut. Namun demikian kepekaan tersebut harus diimbangi dengan pilihan yang tepat akan kebutuhan-kebutuhan yang mendesak, dan yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat.
  4. Kemampuan program tersebut dalam pendanaan pembangunan. Keterbatasan dana pembangunan yang ada menghendaki pemilihan pada pembangunan kebutuhan masyarakat yang menjadi skala prioritas.  Untuk itu maka pelaksanaan program pun harus sesuai dengan besarnya dana yang tersedia.

  Aspek pengelolaan keuangan daerah

           

Aspek pengelolaan keuangan daerah, pada dasarnya menyangkut tiga hal yang saling terkait satu dengan yang lainya,  yaitu:

  1. Aspek Penerimaan, yaitu mengenai seberapa besar kemampuan Pemerintah Daerah dapat menggali sumber-sumber pendapatan yang potensial dan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk meningkatkan pendapatan tersebut.
  2. Aspek Pengeluaran, yaitu mengenai seberapa besar biaya-biaya dari suatu pelayanan publik dan faktor-faktor yang menyebabkan biaya-biaya tersebut meningkat.
  3. Aspek Anggaran, yaitu mengenai hubungan antara pendapatan dan pengeluaran  serta kecenderungan yang diproyeksikan untuk masa depan.

Pendapatan daerah dapat diklasifikasikan dalam dua katagori yaitu sumber-sumber pendapatan dari daerah sendiri dan sumber-sumber dari luar daerah. Sumber-sumber pendapatan dari daerah sendiri adalah sumber-sumber pendapatan yang dikumpulkan secara langsung dari masyarakat daerah yang bersangkutan, misalnya pajak dan retribusi yang langsung dipungut dan dimiliki daerah yang bersangkutan. Sumber-sumber pendapatan daerah sendiri dapat juga diperoleh dari hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainya yang dipisahkan     dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Sumber-sumber pendapatan eksternal adalah sumber-sumber pendapatan yang berasal dari luar daerah seperti pemerintah diatasnya (propinsi) dan pemerintah pusat dan pinjaman serta lain-lain penerimaan yang sah.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999, sumber sumber penerimaan daerah dapat berasal dari berbagai sumber/jenis, namun demikian secara garis besarnya dapat dikelompokan ke dalam tiga  sumber penerimaan yaitu:

  • Pendapatan Asli Daerah, yang terdiri dari:
    • Hasil pajak daerah;
    • Hasil retribusi daerah;
    • Hasil Perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan;
    • Lain-lain pendapatan daerah yang sah:
  • Dana perimbangan yang terdiri dari:
    • Bagian daerah dari penerimaan PBB, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam;
    • Dana Alokasi Umum;
    • Dana Alokasi Khusus;
    • Pinjaman daerah:
  • Lain-lain pendapatan daerah

Pengeluaran daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang mengurangi kekayaan Pemerintah Daerah.  Dalam struktur anggaran daerah dengan pendekatan kinerja, pengeluaran daerah (belanja daerah) dirinci menurut organisasi, fungsi kelompok, dan jenis belanja.

  1. Belanja daerah menurut organisasi adalah suatu kesatuan pengguna anggaran seperti Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, dan lembaga teknis daerah lainnya.
  2. Fungsi belanja misalnya pendidikan, kesehatan, dan fungsi-fungsi lainnya.
  3. Kelompok belanja misalnya belanja administrasi umum, belanja operasi dan  pemeliharaan, belanja modal, belanja transfer, dan belanja tidak terduga.
  4. Jenis belanja misalnya belanja pegawai, belanja barang, belanja perjalanan dinas, belanja pemeliharaan dan belanja lain-lain.