Friday, February 1, 2019

Pengertian Gapoktan (skripsi dan tesis)


Gabungan Kelompok Tani adalah kumpulan beberapa Kelompok tani yang bergabung dan bekerjasama untuk meningkatkan skala ekonomi  dan  efisiensi  usaha  (Permentan  No.  82 tahun  2013 tentang    Pedoman    Pembinaan Kelompoktani dan Gabungan Kelompoktani). Sedangkan    menurut Pujiharto (2010: 70-71) Gapoktan adalah gabungan dari  beberapa Kelompok  Tani yang melakukan usaha agribisnis di atas   prinsip kebersamaan dan kemitraan sehingga mencapai peningkatan  produksi  dan  pendapatan usaha tani bagi anggotanya.
Gapoktan dapat sebagai sarana untuk bekerjasama antar Kelompok Tani yaitu kumpulan dari beberapa Kelompok Tani yang mempunyai kepentingan yang sama dalam pengembangan komoditas usaha tani tertentu untuk menggalang kepentingan bersama. Di samping itu menurut Hermanto dan Dewa Swastika (2011: 375) pembentukan dan penumbuhan Kelompok Tani dapat ditempatkan dalam konteks yang lebih luas yaitu konteks pengembangan ekonomi dan kemandirian masyarakat menuju pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Rural Development). Gabungan Kelompok Tani ini terbentuk atas beberapa dasar yaitu kepentingan bersama antar anggota, berada pada wilayah usaha tani yang sama yang menjadi tanggung jawab bersama antar anggota, mempunyai kader pengelolaan yang berkompeten untuk menggerakkan petani, memiliki kader yang diterima oleh petani lainnya, adanya dorongan dari tokoh masyarakat, dan mempunyai kegiatan yang bermanfaat bagi sebagian besar anggotanya. Oleh karena itu salah satu usaha yang dilakukan pemerintah bersama dengan petani dalam rangka membangun upaya kemandiriannya maka telah di bentuk kelompok-Kelompok Tani di pedesaan (Sukino, 2014: 66).
Salah satu ciri yang ada pada suatu kelompok adalah kesatuan sosial yang memiliki kepentingan dan tujuan bersama. Tujuan bersama dapat tercapai ketika terdapat pola interaksi yang baik antara masing-masing individu dan individu-individu tersebut memiliki peran serta mampu menjalankan perannya. Tujuan utama pembentukan dan penguatan Gapoktan adalah untuk memperkuat kelembagaan petani yang ada, sehingga pembinaan pemerintah kepada petani akan terfokus dengan sasaran yang jelas (Deptan, 2006). Adapun tujuan lain dari pembentukan Gapoktan diantaranya adalah sebagai berikut :
1) Gapoktan dapat meningkatkan kesejahteraan anggota secara keseluruhan yang terlibat dalam kepengurusan maupun hanya sebagai anggota baik secara materiil maupun non material sesuai dengan kontribusi yang telah diberikan kepada pengembangan organisasi Gapoktan.
2)   Gapoktan dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan sumber daya manusia semua anggota melalui pendidikan pelatihan dan study banding sesuai kemampuan keuangan Gapoktan.
3) Gapoktan dapat mengembangkan dan menyelenggarakan kegiatan usaha di bidang pertanian dan jasa yang berbasis pada bidang pertanian.
Gapoktan juga dapat menjadi lembaga yang menjadi penghubung petani dari satu desa dengan lembaga-lembaga lainnya. Gapoktan diharapkan berperan untuk fungsi-fungsi pemenuhan permodalan, pemenuhan sarana produksi, pemasaran produk, dan termasuk menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan petani. Menurut Permentan Nomor 273/Kpts/OT.160/4/2007 tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani Gapoktan memiliki fungsi-fungsi yaitu sebagai berikut :
1) Merupakan satu kesatuan unit produksi untuk memenuhi kebutuhan pasar (kuantitas, kualitas, kontinuitas, dan harga);
2) Penyediaan saprotan (pupuk bersubsidi, benih bersertifikat, pestisida, dan lainnya) serta menyalurkan kepada para petani melalui kelompoknya;
3) Penyediaan modal usaha dan menyalurkan secara kredit/ pinjaman kepada para petani yang memerlukan;
4) Melakukan proses pengolahan produk para anggotanya (penggilingan, grading, pengepakan dan lainnya) yang dapat meningkatkan nilai tambah;
 5) Menyelenggarakan perdagangan, memasarkan/ menjual produk petani kepada pedagang/ industri hilir.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi fungsi dari Gapoktan adalah unit produksi untuk memenuhi kebutuhan pasar; penyediaan saprotan serta menyalurkannya kepada para petani melalui kelompoknya; penyediaan modal usaha dan menyalurkan secara kredit/ pinjaman kepada para petani yang memerlukan; melakukan proses pengolahan produk para anggotanya yang dapat meningkatkan nilai tambah; dan menyelenggarakan perdagangan, memasarkan/ menjual produk petani kepada pedagang/ industri hilir.
Gabungan Kelompok Tani memiliki peran tunggal maupun ganda menurut Hermanto dan Dewa Swastika (2011: 373) seperti penyediaan input usaha tani (misalnya pupuk), penyediaan modal (misalnya simpan pinjam), penyediaan air irigasi (kerjasama dengan P3A), penyedia informasi (penyuluhan melalui Kelompok Tani), serta pemasaran hasil secara kolektif. Selain itu menurut Pujiharto (2010: 72-73) terdapat tiga peran pokok yang diharapkan dapat dijalankan oleh Gapoktan yaitu sebagai berikut :
1)      Gapoktan berperan sebagai lembaga sentral dalam sistem yang terbangun dan strategis. Gapoktan berperan sebagai lembaga sentral dalam sistem yang terbangun dapat dicontohkan terlibat dalam penyaluran benih bersubsidi yaitu bertugas merekap daftar permintaan benih dan nama anggota. Gapoktan merupakan lembaga strategis yang merangkum seluruh aktivitas kelembagaan petani di wilayah tersebut.Gapoktan dapat pula dijadikan sebagai basis usaha petani di setiap pedesaan.
2)      Gapoktan berperan dalam meningkatan ketahanan pangan. Dalam rangka mengatasi kerawanan dan kemiskinan di pedesaan, Badan Ketahanan Pangan telah melaksanakan “Program Desa Mandiri Pangan” dimulai pada tahun 2006. Pengentasan kemiskinan dan kerawanan pangan dilakukan melalui pendekatan masyarakat secara partisipatif. Masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Taniakan dibimbing agar mampu menemukan dan menggali permasalahan yang dihadapi dan potensi yang dimiliki, serta mampu secara mandiri membuat rencana kerja untuk meningkatkan pendapatannya melalui usaha tani dan usaha agribisnis berbasis pedesaan. Beberapa Kelompok Tani dalam satu desa yang telah dibina akan difasilitasi untuk membentuk Gapoktan. Melalui cara ini, petani miskin dan rawan pangan akan meningkat kemampuannya dalam mengatasi masalah pangan dan kemiskinan di dalam suatu ikatan Kelompok Tani untuk memperjuangkan nasib para anggotanya dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan bersama dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal.
3)      Gapoktan dapat dianggap sebagai Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP). Gapoktan sebagai Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan dapat menerima Dana Penguatan Modal (DPM), yaitu dana peminjaman yang dapat digunakan untuk membeli gabah petani pada saat panen raya. Kegiatan DPM-LUEP telah dimulai sejak tahun 2003 tetapi baru mulai pada tahun 2007 Gapoktan dapat sebagai penerima dana tersebut. Gapoktan dapat bertindak sebagai pedagang gabah, dimana akan membeli gabah dari petani lalu menjualkannya berikut berbagai fungsi pemasaran lainnya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Gapoktan memiliki banyak peran antara lain penyediaan input usaha tani (misalnya pupuk), penyediaan modal (misalnya simpan pinjam), penyediaan air irigasi (kerjasama dengan P3A), penyedia informasi (penyuluhan melalui Kelompok Tani), pemasaran hasil secara kolektif, Gapoktan sebagai lembaga sentral yang terbangun dan strategis yang diharapkan mampu menangani seluruh basis aktivitas kelembagaan petani, Gapoktan dapat meningkatkan ketahanan pangan melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat yang partisipatif, dan Gapoktan sebagai Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP).
Organisasi menurut Mills dan Mills dalam Kusdi (2009: 4), yaitu kolektivitas khusus manusia yang aktivitas-aktivitasnya terkoordinasi dan terkontrol dalam dan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sementara itu pandangan lainnya menyebutkan bahwa organisasi adalah suatu strategi besar yang diciptakan individu-individu dalam rangka mencapai berbagai tujuan yang membutuhkan usaha dari banyak orang (C. Argyris dalam Kusdi, 2009: 4). Dari dua pandangan tersebut terdapat unsur karakteristik utama dari sebuah organisasi yaitu Pusposes, People, dan Plan (Gerloff dalam Kusdi, 2009: 4).  Sesuatu tidak dapat disebut organisasi jika tidak memiliki tujuan (purposes), anggota (people), dan rencana (plan). Dalam aspek rencana (plan) ini terkandung semua ciri-ciri seperti sistem, struktur, desain, strategi, dan proses, yang seluruhnya dirancang untuk menggerakkan unsur manusia (people) dalam mencapai berbagai tujuan (purpose) yang telah ditetapkan.
Pembentukan organisasi petani seperti Kelompok Tani dan gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) merupakan alat utama untuk mendistribusikan bantuan dan sekaligus sebagai wadah untuk berinteraksi secara vertikal antara pemerintah dengan petani dan secara horizontal antar sesama petani. Organisasi petani diharapkan sebagai komponen pokok dalam pertanian yaitu berperan dalam mengatasi kemiskinan, memperbaiki degradasi sumber daya alam, meningkatkan ketelibatan perempuan, kesehatan dan pendidikan, dan sosial politik (Rita N. Suhaeti, 2014: 159-160).
Kelompok Tani dan Gapoktan menurut Mariani (2010) dapat sebagai wadah yaitu wadah belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para anggotanya, wadah produksi untuk meningkatkan efisiensi dalam usaha tani para anggotanya, dan wadah kegiatan sosial bagi para anggotanya. Jadi dapat disimpulkan bahwa Kelompok Tani dan Gapoktan sebagai wadah bagi anggota petani untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya, untuk meningkatkan efisiensi dalam usaha taninya, dan untuk bersosialisasi antar anggota petani.


Implikasi Tax Amnesty Terhadap Perlindungan Hukum Wajib Pajak (skripsi dan tesis)



a.      Perlindungan Hukum Preventif
Setiap tindakan hukum yang dilakukan oleh wajib pajak pasti akan menimbulkan konsekuensi bagi wajib pajak itu sendiri, tidak terkecuali dalam pelunasan PPh, yang mana secara formil pembayaran PPh tersebut masih dalam ruang lingkup Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER -26/PJ/2014, sehingga terdapat tata cara penerimaan pajak melalui ke-empat cara yang telah disebutkan sebelumnya.
Pada setiap transaksi atau setiap pelunasan PPh, wajib pajak akan mendapatkan tanda bukti pelunasan PPh yang mana berdasarkan pasal (1) angka 26 Permenkeu Nomor 242/PMK.03/2014 Surat Setoran Pajak atau SSP merupakan bukti pembayaran pajak dengan menggunakan formulir, lalu berdasarkan pasal 15 ayat (1) Permenkeu nomor 242/PMK.03/2014 menjelaskan bahwa BPN merupakan bukti pembayaran pajak secara elektronik, dari sini terlihat bahwa terdapat dua jenis bukti pembayaran pajak, akan tetapi berdasarkan pasal 3 ayat (3) huruf d Peraturan Direktorat Jendral Pajak Nomor Per -26/PJ/2014 BPN diterbitkan dalam bentuk teraan BPN pada SSP, sehingga teraan BPN pada SSP inilah yang diakui sebagai bukti pembayaran pajak.
Berdasarkan pasal 19 ayat (6) Peraturan Menteri Keuangan nomor 32/PMK.05/2014 menjeleaskan bahwa pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak diakui sebagai pelunasan kewajiban sesuai dengan tanggal bayar yang tertera pada BPN, pasal ini mempertegas bahwa BPN merupakan bukti pelunasan kewajiban pembayaran pajak dalam hal ini PPh. Payung hukum untuk melindungi wajib pajak yang telah melakukan pembayaran PPh dengan cara cessie adalah Bukti Penerimaan Negara atau yang dikenal dengan nama BPN melalui pasal tersebut.
Pada permenkeu Nomor 32/PMK.05/2014 dijelaskan mengenai BPN (Bukti Peneriman Negara) sebagai bukti pelunasan pajak lalu wujud BPN dijelaskan melalui pasal 3 ayat 3 huruf a,b,c,d Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER -26/PJ/2014 yaitu :
1)      Dokumen bukti pembayaran yang diterbitkan Bank/Pos Persepsi, untuk pembayaran/penyetoran melalui Teller dengan Kode Billing;
2)      Struk bukti transaksi, untuk pembayaran melalui ATM dan EDC
3)      Dokumen elektronik, untuk pembayaran/penyetoran melalui internet banking
4)      Teraan BPN pada SSP, untuk pembayaran melalui Teller Bank/Pos Persepsi dengan menggunakan SSP
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keempat hal diatas adalah bentuk BPN yang sah dan juga sekaligus sebagai perlindungan hukum preventif bagi wajib pajak yang melakukan pelunasan PPh
b.      Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum represif adalah suatu perlindungan hukum yang ditempuh apabila telah terdapat keputusan pemerintah dan telah memberikan akibat hukum, dimana akibat hukum ini memicu terjadinya suatu sengketa. sehingga perlindungan hukum represif memilki tujuan untuk menyelesaikan sengketa. Walaupun pemerintah bersikap hati-hati dalam mengeluarkan keputusan bisa saja terjadi suatu keputusan tersebut menimbulkan kerugian bagi rakyat, sehingga perlindungan hukum represif sangat diperlukan untuk melindungi hak dan pelaksanaan kewajiban saat telah terjadi sengketa.[1]
Dalam hal ini yang akan dibahas adalah perlindungan hukum bagi wajib pajak ketika fiskus menilai bahwa tidak terdapat pembayaran PPh dengan dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar untuk selanjutnya disebut SKPKB oleh fiskus, akan tetapi wajib pajak telah melakukan pembayaran PPh.
Berdasarkan pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 wajib pajak dapat mengajukan keberatan terhadap SKPKB kepada Direktorat Jenderal Pajak, sedangkan pada ayat 3 pasal yang sama menjelaskan bahwa batas waktu pengajuan keberatan adalah 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya (force majeur), lalu pada ayat (3a) pasal yang sama menjelaskan bahwa wajib pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.
Kemudian pada ayat (9) pasal yang sama menjelaskan bahwa Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan, akan tetapi jika terhadap keputusan keberatan dilakukan banding maka denda denda sebesar 50% (lima puluh persen) tidak berlakukan menurut ayat (10) pasal yang sama.
Berdasarkan pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan, kemudian pada ayat (3) menjelaskan bahwa Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar, kemudian pada ayat 5 menjelaskan apabila dalam jangka 12 bulan tanggal surat keberatan diterima direktur jendral pajak tidak mengeluarkan keputusan maka dianggap mengabulkan keberatan wajib pajak.
Berdasarkan pasal 27 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 terhadap keputusan keberatan dapat dilakukan upaya banding ke pengadilan pajak, berdasarkan pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 definisi banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[2]
Pada pasal 36 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 menjelaskan bahwa73:
1)      Terhadap satu keputusan diajukan satu surat banding.
2)      Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas dan dicantumkan tanggal diterima keputusan yang dibanding.
3)      Pada Surat Banding dilampirkan salinan keputusan yang dibanding.
4)      Banding hanya dapat diajukan jika jumlah yang terutang dimaksud telah terbayar sebesar 50% (lima puluh persen)

Berdasarkan pasal 37 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 menjelaskan bahwa yang memiliki hak mengajukan banding adalaj wajib pajak, ahli warisnya, seorang pengurus atau kuasa hukumnya atau pengampunya dalam hal pemohon banding pailit. Apabila selama proses banding pemohon banding melakukan penggabungan, peleburan, pemecahan (pemekaran) usaha likuidasi dimaksud. [3]
Berdasarkan ketentuan pasal 38 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002, pemohon banding dapat melengkapi surat bandingnya untuk memenuhi ketentuan yang berlaku sepanjang masih dalam jangka waktu sebagaimana pasal 35 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002. Berdasarkan pasal 39 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 menjelaskan bahwa surat banding yang diajukan oleh pihak yang berkepentingan dapat ditarik kembali dalam pencabutan berdasarkan surat pernyataan pencabutan kepada pengadilan pajak. Pencabutan surat banding dapat dilakukan oleh pembanding atau kuasa hukum pembanding karena : [4]
1)      Surat banding itu mengandung cacat yuridis sehingga tidak dapat dibuktikan kebenarannya berdasarkan alat bukti yang ada.
2)      Adanya perdamaian yang terjadi antara pembanding dan terbanding.
3)      Telah dikabulkannya tuntutan pembanding seperti yang tercantum dalam surat bandingnya.

Berdasarkan pasal 27A ayat (1) Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 Apabila permohonan banding atas SKPKB dikabulkan sebagian atau seluruhnya menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) dengan ketentuan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding.
Bukti Penerimaan Negara merupakan alat bukti pelunasan pajak PPh, akan tetapi dengan berlakunya pasal (3) ayat 6 Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER -26/PJ/2014 maka kekuatan pembuktikan BPN menjadi terbantahkan, atas peraturan kebijakan yang dikeluarkan oleh Direktur Jendral Pajak tersebut, terdapat suatu perlindungan hukum bagi pihak yang dirugikan. Terdapat dua cara untuk meninjau kembali peraturan kebijakan, yaitu dengan judicial review dan executive review.
Executive review dapat dilakukan oleh pejabat tata usaha negara atas dasar asas contrarius actus (siapa yang membuat aturan, dia yang berhak mencabut), akan tetapi menurut Nalle tidak hanya pembuat peraturan kebijakan tersebut yang boleh melakukan executive review melainkan lembaga yang secara struktural berada diatas pembuat peraturan kebijakan berhak melakukan executive review atas peraturan kebijakan yang dibuat oleh lembaga yang secara struktural berada dibawahnya. Menurut Nalle untuk melakukan executive review tidak terbatas pada peraturan tersebut bertentangan dengan undang-undang atau tidak melainkan juga dapat diuji dengan Asas Umum Pemerintahan yang baik (AUPB) dan asas-asas pembentukan peraturan perundang undangan yang baik. Dalam hal ini Kementrian Keuangan dapat melakukan executive review atas Peraturan Direktur Jendral Pajak, karena berdasarkan sturktur lembaga Dierktorat Jenderal Pajak dibawah Menteri Keuanngan. Dalam hal ini terdapat pertentangan peraturan pada pasal (3) ayat 6 Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER -26/PJ/2014 bertentangan dengan peraturan diatasnya yaitu pasal 19 ayat (6) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/PMK.05/2014 dan berlaku asas lex superiori derogat lege inferiori yaitu peraturan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan yang lebih rendah. Sehingga dapat dismpulkan bahwa Kementrian Keuangan atau Direktur Jenderal Pajak dapat mencabut peraturan kebijakan tersebut.
Berdasarkan Nalle untuk melihat dapat atau tidaknya peraturan kebijakan dapat dialukan uji materil di Mahkamah Agung maka peraturan kebijakan tersebut harus dicermati, peraturan kebijakan tersebut bersifat materiil atau formil. Peraturan kebijakan materiil melihat peraturan kebijakan sebagai implementasi dari wewenang bebas atau diskresi oleh badan atau pejabat Administrasi. Seringkali peraturan yang dibentuk dalam menjalankan wewenang bebeas tersebut justru dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Dalam kondisi inilah suatu peraturan dapat disebut sebagai peraturan kebijakan materiil. Sedangkan kebijakan formil adalah peraturan kebijakan yang selama ini dikenal dalam konsep aslinya, baik dalam hal substansi kekuatan mengikat, dan nomenklaturnya.
Berdasarkan pasal 24 A Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang, lalu pada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2011 pada pasal 1 ayat (2) dijelaskan bahwa peraturan perundang-undangan yang dapat diuji oleh Mahkama Agung adalah kaidah hukum tertulis yang mengikat umum dibawah undang-undang. Menurut Nalle pengujian peraturan kebijakan oleh MA cukup dibatasi pada peraturan kebijakan materiil saja, karena jika MA dapat menguji peraturan kebijakan yang bersifat formil akan mengaburkan perbedaan antara peraturan kebijakan dan peraturan perundang-undangan.[5]
Dalam hal ini pembentukan Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER - 26/PJ/2014 merupakan suatu perintah dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/PMK.05/2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011, Sehingga bentuk dari peraturan kebijakan ini adalah berbentuk peraturan perundang-undangan, yang mana dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut bersifat mengatur (regelend), sifat mengatur pada peraturan kebijakan ini dapat dilihat dari substansi peraturan tersebut yang memberikan pengaturan yang lebih rinci terhadap sistem pembayaran pajak secara elektronik yang sebelumnya diatur pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/PMK.05/2014. Menurut Nalle ciri-ciri dari peraturan kebijakan yang bersifat materiil adalah dibentuk atas dasar diskresi, berbentuk peraturan perundang-undangan dan bersifat mengatur (regelend).Sehingga wajib pajak yang telah membayar atau melunasi utang pajak penghasilan dapat menggunakan perlindungan hukum dengan mekanisme keberatan dan banding.



Makna Yuridis Tax Amnesty (skripsi dan tesis)



Pengampunan Pajak (tax amnesty) merupakan kebijakan pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak untuk penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan sebagaimana diatur dalam undang-undang pengampunan pajak. [1]
Peraturan tersebut berlaku terhadap wajib pajak dengan mengungkap harta yang dimilikinya dalam surat pernyataan. Adapun pengampunan pajak dilakukan kepada berbagai macam jenis pajak diantaranya:[2]
a. Pajak Penghasilan.
b. Pajak Pertambahan Nilai
c. Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Adapun tujuan dari pengampunan pajak (tax amnesty) adalah sebagai berikut; Pertama, untuk mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan Harta, yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar Rupiah, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi. Kedua, mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi. Ketiga, meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan.[3]
Dalam kebijakan pengampunan pajak terhadap wajib pajak yang mempunyai utang pajak dan tunggakan pajak, negara memungut uang tebusan kepada wajib pajak.[4] Utang pajak merupakan jumlah pokok utang yang belum dibayar yang berkaitan langsung dengan perolehan harta,[5] sedangkan tunggakan pajak adalah jumlah pokok pajak yang belum dilunasi berdasarkan Surat Tagihan Pajak yang di dalamnya terdapat pokok pajak yang terutang, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, dan Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah termasuk pajak yang seharusnya tidak dikembalikan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.[6]
Pengampunan pajak merupakan salah satu cara inovatif untuk meningkatkan penerimaan pajak tanpa menambah beban pajak baru kepada masyarakat, dunia usaha, dan para pekerja adalah melalui program pengampunan pajak. Program ini diambil sebagai langkah negara mengambil kembali pajak yang hilang atau belum dibayar, dengan memasukkan para penyelundup pajak tersebut ke dalam jaringan sistem administrasi perpajakan. Meski cukup banyak penelitian tentang ekonomi bawah tanah, namun belum banyak menghitung besarnya potensi pajak yang lolos dari kegiatan ekonomi bawah tanah. Sasmito Wibowo pernah memprediksikan besarnya nilai ekonomi bawah tanah yakni 25% dari PDB, 15% dari PDB (Luki Alfirman), Enste & Schneider memperkirakan 70% dari PDB, dengan prakiraan nilai kegiatan ekonomi bawah tanah Indonesia Tahun 2004 sebesar 1750 trilyun rupiah dan asumsi tax ratio 15%, besarnya potensi pajak yang hilang dari kegiatan ekonomi bawah tanah Indonesia mencapai sekitar 262 trilyun rupiah.[7]
Kebijakan pengampunan pajak atau dikenal dengan istilah tax amnesty sebenarnya pernah dilakukan Indonesia pada tahun 2008 melalui program sunset policy. Pada dasarnya tujuan tax amnesty dan sunset policy adalah kesadaran masyarakat untuk memenuhi kewajiban perpajakannya semakin meningkat sehingga pada akhirnya penerimaan negara dari sektor pajak akan semakin meningkat pula. Sunset Policy adalah kebijakan pemberian fasilitas perpajakan dalam bentuk penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga yag diatur dalam pasal 37A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.[8]
Kebijakan ini memberi kesempatan kepada masyarakat untuk memulai kewajiban perpajakannya dengan benar. Sunset Policy telah dilakukan pada tahun 2008. Sejak Program sunset policy diimplementasikan sepanjang tahun 2008 telah berhasil menambah jumlah NPWP baru sebanyak 5.653.128 NPWP, bertambahnya SPT tahunan sebanyak 804.814 SPT dan bertambahnya penerimaan PPh sebesar Rp 7,46 triliun. Jumlah NPWP orang pribadi 15,07 juta, NPWP bendaharawan 447.000, dan NPWP badan hukum 1,63 juta. Jadi totalnya 17,16 juta.[9]


[1] Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak
[2] Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.
[3] Pasal 2 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.
[4] 9Pasal 1 Ayat 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Menyebutkan bahwa uang tebusan adalah sejumlah uang yang dibayarkan ke kas negara untuk mendapatkan Pengampunan Pajak
[5] Pasal 1 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak
[6] Pasal 1 Ayat 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak
[7]Direktorat Jenderal Pajak, 2016. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak, (Jakarta: Badan Pembina Hukum Nasional, 2016), p. 5-10
[8] Pasal 37A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
[9] Departemen Keuangan Republik Indonesia, Laporan Tahunan 2008, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak, 2008), p. 25

Tahapan dan Peran PR dalam Krisis Komunikasi (skripsi dan tesis)



Peran PR dalam menangani krisis komunikasi sangat berkaitan dengan mengidentifikasi tahapan dalam krisis komunikasi itu sendiri. Dengan demikian antara tahapan dan peran PR sesungguhnya menjadi satu pembahasan yang tidak bisa saling dipisahkan. Peran lain yang harus dilakukan PR dalam menangani krisis komunikasi adalah mengidentifikasi pihak mana yang haru menpatkan perhatian penting.  Dengan demikian PR kemudian membentuk suatu tim manajemen krisis yang permanen dan ramping, agar mereka dapat secara mudah berkomunikasi dan memberikan garis perintah dengan jelas. Bila terjadi krisis, tim ini harus mengambil inisiatif dan memberikan respon pertama untuk menjelaskan kepada publik, jangan sampai tim merespon akibat pertanyaan pers. Upaya menutup-nutupi krisis bisa berakibat fatal, misalnya pers semakin aktif menurunkan tim investigasinya untuk mengorek krisis lebih dalam (Steven Fink dalam Rhenald Kasali 2006:225)..
Tugas utama yang harus dilakukan oleh tim krisis adalah melakukan identifikasi krisis dan menentukan langkah-langkah apa yang harus dilakukan. Semua tim harus bisa menjelaskan pesan-pesan komunikasi yang sudah disepakati. Tim manajemen krisis harus menghindari pernyataan off the record, karena dia benar-benar menguasai masalahnya. Baik sekali kalau diterbitkan buku petunjuk penanggulangan krisis.
Untuk mengidentifikasi tahapan dalam krisis komunikasi di dasarkan pada bagaimana krisis komunikasi telah menunjukkan suatu permasalahan yang dapat mengancam eksistensi perusahaan itu sendiri. Secara khusu maka menurut Peter M Sandman (2006), terdapat 4 (empat) tahapan yang dilalui suatu krisis, yaitu:
         1. Tahap Prodromal.
Krisis pada tahap ini sering dilupakan orang karena perusahaan masih bisa bergerak dengan lincah. Pada tahap ini, bukan pada tahap krisis sudah kronis (meledak), krisis sudah mulai muncul. Tahap prodromal sering disebut pula warning stage karena ia memberi sirene tanda bahaya mengenai simtom-simtom yang harus segera diatasi.
Mengacu pada defenisi krisis, tahap ini juga merupakan bagian dari turning point. Bila manajer gagal mengartikan atau menangkap sinyal ini, krisis akan bergeser ke tahap yang lebih serius yaitu tahapa akut.
Sering pula eksekutif menyebut tahap prodromal sebagai taha sebelum krisis (precrisis). Tetapi sebutan ini hanya dapat dipakai untuk melihat krisis secara keseluruhan dan disebut demikian setelah krisis memasuki tahap akut sebagai retrospeksi.
Tahap prodromal biasanya muncul dalam salah satu dari 3 bentuk ini:
a.   Jelas sekali, dimana gejala-gejala awal kelihtan jelas sekali.
b.  Samar-samar, yaitu gejala yang muncul tampak samar-samar karena sulit menginterpretasikan dan menduga luasnya suatu kejadian. Perusahaan atau organisasi memerlukan bantuan para analis untuk menganalisis hal-hal yang samar-samar itu sebelum tergulung oleh ombak krisis.
c.   Sama sekai tidak kelihatan, gejala-gejala krisis bisa tak terlihat sama sekali. Perusahaan tidak dapat membaca gejala ini karena kelihatannya segalanya oke-oke saja.
Para ahi krisis umumnya sependapat bahwa sekalipun krisis pada tahap ini sangat ringan, pemecahan dini secara tuntas sangat penting. Alasanya adalah karena masih mudah untuk ditangani sebelum ia memasuki tahap akut, sebelum ia meledak dan sebelum menimbulkan komplikasi.
        2. Tahap Akut.
Inilah tahap ketika orang mengatakan : “telah terjadi krisis”. Meski bukan di sini awal mulanya krisis, orang menganggap suatu krisis dimulai dari sini karena gejala yang samar-samar atau sama sekali tidak jelas itu mulai kelihatan jelas.
Dalam banyak hal, krisis yang akut sering disebut sebagai the point of no return. Artinya, sekali sinyal-sinyal yang muncul pada tahap peringatan (prodromal stage) tidak digubris, ia akan masuk ke tahap akut dan tidak bisa kembali lagi. Kerusakan sudah mulai bermunculan, reaksi mulai berdatangan, isu menyebar luas. Namun, berapa besar kerugian lain yang akan muncul amat tergantung dari para aktor yang mengendalikan krisis.
Salah satu kesulitan besar dalam menghadapi krisis pada tahap akut, sekalipun Saudara sangat siap, adalah intensitas dan kecepatan serangan yang datang dari berbagai pihak yang menyertai tahap ini. Kecepatan ditentukan oleh jenis krisis yang menimpa perusahaan, sedangkan intensitas ditentukan oleh kompleksnya permasalahan.
Tahap akut adalah tahap antara, yang paling pendek waktunya bila dibandingkan dengan tahap-tahap lainnya. Bila ia lewat, maka umumnya akan segera memasuki tahap kronis.
       3.Tahap Kronik.
Badai mulai reda, yang tersisa adalah reruntuhan bangunan dan sejumlah bangkai, korban dari sebuah krisis. Berakhirnya tahap akut dinyatakan dengan langkah-langkah pembersihan.
Tahap ini sering juga disebut sebagai the clean up phase atau the post mortem. Sering pula tahap ini disebut sebagai tahap recovery atau self analysis. Di dalam perusahaan, tahap ini ditandai dengan perubahan struktural. Mungkin penggantian manajemen, mungkin penggantian pemilik, mungkin masuk nama-nama baru sebagai pemilik atau mungkin pula bangkrut dan perusahaan dilikuidasi.
Seorang crisis manager harus bisa memperpendek tahap ini karena semua orang sudah sangat letih. Juga pers sudah mulai bosan memberitakan kasus ini. Namun yang paling penting adalah perusahaan harus memutuskan mau hidup terus atau tidak. Kalau ingin hidup terus tentu ia harus sehat dan mempunyai reputasi yang baik.
Tahap kronis adalah tahap yang terenyuh. Kadang-kadang dengan bantuan seorang crisis manager yang handal, perusahaan akan memasuki keadaan yang lebih baik, sehingga pujian-pujian berdatangan dan penyembuhan (resolution) mulai berlangsung.
        4. Tahap Resolusi (penyembuhan).
Tahap ini adalah tahap penyembuhan (pulih kembali) dan tahap terakhir dari 4 tahap krisis. Meski bencana besar dianggap sudah berlalu, crisis manager tetap perlu berhati-hati, karena riset dalam kasus-kasus krisis menunjukkan bahwa krisis tidak akan berhenti begitu saja pada tahap ini. Krisis umumnya berbentuk siklus yang akan membawa kembali keadaan semula (prodromal stage).
Untuk mengidentifikasi peran PR maka dapat dilakukan dengan mengidentifikasi pihak mana yang harus mendapatkan perhatian PR. Dengan demikian PR dapat berperan sebagai penarik dan penilai kesimpulan atas opini, sikap serta aspirasi dari berbagai kelompok masyarakat (internal dan eksternal) yang terkena dampak kegiatan PR. Selain itu, PR dapat juga mengajukan usul atau saran kebijakan atau etika perilaku tertentu yang akan menyelaraskan kepentingan klien dengan kelompok masyarakat tertentu. Juga, PR dapat merencanakan dan melaksanakan rencana janga pendek, menengah, dan panjang untuk menciptakan dan meningkatkan pengertian dan pemahanan terhadap objek, kegiatan, metode dan masalah yang dihadapi.
Menurut Siti Komsiah (2009; 2) ada beberapa pihak terkait yang harus diperhatikan oleh PR apabila sedang menangani PR. Pihak ini merupakan pihak terkiat yang memegang informasi kunci dan mempunyai kemampuan untuk menentukan informasi tersebut menjadi mempengaruhi citra perusahaan. Berikut merupakan pihak-pihak yang harsu diperhatikan dalam menangani krisis komunikasi yaitu:
a.         Pers
Hal penting yang diingat oleh praktisi PR, soal pers, dalam situasi krisis, yaitu pers beranggapan bahwa berita buruk adalah berita yang baik bagi pers dan akan mencecar korban dengan pertanyaan-pertanyaan yang bisa memojokkan. Dalam konteks tersebut, penting untuk diketahui bagaimana strategi berhubungan dengan media yang baik. Karena hal demikian akan menjadi salah satu kunci penting, bagaimana PR dapat mengambil peranannya dengan baik.
b.        Pihak Terkait
Pihak terkait yang dimaksud adalah pihak tokoh masyarakat, para pengamat, LSM, karyawan berpengaruh, dapat menjadi pihak ketiga yang penting untuk memuluskan program PR, baik sebagai nara sumber pers, atau pun menjelaskan kepada publik mengenai masalah yang terjadi. Disinilah peranan lobbying yang seharusnya selalu dilakukan oleh PR menjadi sangat berarti. Melalui peran lobbying ini maka PR dapat menggunakan pihak terkiat sebagai pihak ketiga ini bisa perorangan maupun organisasi yang dianggap bisa memberikan opini yang independen, namun menguntungkan.
Untuk membedakan suatu krisis komunikasi maka juga dapat dibedakan berdasarkan dimensi dalam komunikasi organisasi itu sendiri. Menurut Djoko Purwanto (2006: 35), dimensi dalam komunikasi organisasi dibedakan berdasarkan unsur yang ada dalam organisasi tersebut. Unsur yang dimaksud adalah unusr yang ada lingkungan dalam organisasi maupun yang berasal lingkungan eksternal organisasi. Secara lebih terperinci akan diuraikan sebagai berikut:
a.         Hubungan eksternal, digunakan anggota organisasi untuk interaksi dengan individu di luar organisasi. Komunikasi eksternal membawa pesan organisasi dan lingkungan organisasi yang relevan. Sistim pesan eksternal digunakan untuk menyampaikan informasi dari lingkungan organisasi dan untuk memberikan lingkungan informasi dari organisasi.
b.         Hubungan internal, ialah pola pesan yang dibagi (share) antara anggota organisasi, interaksi manusia yang terjadi dalam organisasi dan antar anggota organisasi. Saat organisasi tumbuh pada ukuran atau kompleksitas atau menyebar keluar area dan zona waktu, ini memerlukan program komunikasi internal yang membantu membangun tim.
Dengan demikian berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa peran PR yang dapat dilakukan dalam menangani suatu krisis adalah; Pertama mengidentifikasi tahapan dalam krisis itu sendiri yaitu: Tahap Prodromal, Tahap Akut, Tahap Kronik dan Tahap Resolusi (penyembuhan). Identifikasi tahapan dalam krisis komunikasi di dasarkan pada gejala-gejala bagaimana suatu krisis dapat mengancam eksistensi perusahaan itu sendiri. Kedua, mengidentifikasi pihak mana yang harus mendaptkan perhatian penting yaitu: pihak pers serta pihak terkiat. Ketiga mengidentifikasi dimensi yang dilibatkan sebagai sumber krisis yaitu Komunikasi eksternal, digunakan anggota organisasi untuk interaksi dengan individu di luar organisasi.Komunikasi internal, ialah pola pesan yang dibagi (share) antara anggota organisasi, interaksi manusia yang terjadi dalam organisasi dan antar anggota organisasi. Dengan demikian PR dapat penarik dan penilai kesimpulan atas opini, sikap serta aspirasi dari berbagai kelompok masyarakat (internal dan eksternal) yang terkena dampak kegiatan PR.