Thursday, March 14, 2019

Pengertian Disiplin (skripsi dan tesis)


Kedisiplinan adalah sikap yang secara sukarela mentaati semua peraturan dan menyadari semua tugas dan tanggungjawabnya. Dalam dunia kerja disiplin kerja dapat diartikan sebagai sikap karyawan yang mematuhi semua peraturan perusahaan; datang dan pulang tepat waktu, mengerjakan semua pekerjaan dengan baik, tidak mangkir (Fathoni, 2006 : 130). Disiplin kerja dapat diartikan sebagai suatu sikap menghormati, menghargai, patuh, dan taat terhadap peraturan uang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tak tertulis serta sanggup menjalankannya dan tidak mengelak untuk menerima sanksi-sanksinya apabila ia melanggar tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya (Sastrodiwiryo, 2002:192).
Disiplin kerja adalah sikap pribadi karyawan dalam hal ketertiban dan keteraturan diri yang dimiliki oleh karyawan dalam bekerja di perusahaan tanpa ada pelanggaran-pelanggaran yang merugikan dirinya, orang lain, atau lingkungannya (Aritonang, 2005). Soedjono (dalam Farida, 2002) mengemukakan bahwa dalam pembicaraan sehari-hari disiplin biasanya dikaitkan dengan keadaan tertib, artinya sesuatu keadaan dimana perilaku seseorang mengikuti pola-pola tertentu yang telah ditetapkan terlebih dahulu.Atmosudirjo (dalam Farida, 2002) mengatakan bahwa disiplin kerja adalah ketaatan pada lembaga beserta aturan-aturannya dengan kesadaran bahwa dengan ketaatan semacam itu maka tujuan perusahan akan dicapai. Pengertian ketaatan dalam disiplin ini adalah pengendalian diri yang sifatnya sadar dan rasional, sama sekali tidak ada emosi di Prijodarminto, (2003: 15) mengemukakan disiplin adalah suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, keteraturan dan ketertiban

Aspek Komitmen Organisasi (skripsi dan tesis)



Tipologi komitmen organisasi yang pertama dikemukakan oleh Potter, et al (1982). Komitmen organisasi yang dikemukakan oleh Potter, et al ini bercirikan adanya: (1) belief yang kuat serta penerimaan terhadap tujuan dan nilai organisasi; (2) kesiapan untuk bekerja keras; serta (3) keinginan yang kuat untuk bertahan dalam organisasi. Komitmen ini tergolong komitmen sikap atau afektif karena berkaitan dengan sejauhmana individu merasa nilai dan tujuan pribadinya sesuai dengan nilai dan tujuan organisasi. Semakin besar kongruensi antara nilai dan tujuan individu dengan nilai dan tujuan organisasi maka semakin tinggi pula komitmen karyawan pada organisasi.
Tipologi terakhir dikemukakan oleh Meyer dan Allen (1991) dalam Luthans (2011). Menurutnya faktor-faktor penyebab komitmen organisasi mengakibatkan timbulnya perbedaan bentuk komitmen organisasi yang dibaginya atas tiga komponen, yaitu: komitmen afektif (affective commitment), komitmen kontinuans (continuence commitment), dan komitmen normative (normative commitment). Hal yang umum dari ketiga komponen komitmen ini adalah dilihatnya komitmen sebagai kondisi psikologis yang: (1) menggambarkan hubungan individu dengan organisasi, dan (2) mempunyai implikasi dalam keputusan untuk meneruskan atau tidak keanggotaannya dalam organisasi.
Allen dan Meyer (1990) lebih memilih untuk menggunakan istilah komponen komitmen organisasi daripada tipe komitmen organisasi karena hubungan karyawan dengan organisasinya dapat bervariasi dalam komponen tersebut. Adapun definisi dari masing-masing komponen tersebut adalah sebagai berikut:
1)   Komitmen Afektif (Af ective Commitment)
Komitmen afektif berkaitan dengan keterikatan emosional karyawan, pada siapa karyawan mengidentifikasikan dirinya, dan keterlibatan karyawan pada organisasi. Dengan demikian, karyawan yang memiliki komitmen afektif yang kuat akan terus bekerja dalam organisasi karena mereka memang ingin (want to) melakukan hal tersebut (Allen dan Meyer, 1990).
Menurut Morgan (1988) dalam (Ahmad, S, K. Shahzad, S. Rehman, N. A. Khan & I.U. Shad 2010) komitmen afektif merupakan perasaan pribadi karyawan dan identifikasi dirinya pada organisasi dikarenakan kepercayaan yang kuat terhadap fungsi dan tujuan organisasi. Komitmen afektif dapat dikelompokkan menjadi empat kategori utama yaitu karakteristik pribadi, karakteristik struktur, karakteristik yang berhubungan dengan pekerjaan dan pengalaman kerja. Walaupun keempat kategori ini mempengaruhi komitmen afektif secara signifikan, kebanyakan literatur mendukung bukti bahwa pengalaman kerja mempunyai hubungan pengaruh yang lebih kuat (Mowder, et al, 1982 dalam Azliyanti, 2009).
2)   Komitmen Kontinuans (Continuence Commitment)
Komitmen kontinuans berkaitan dengan adanya pertimbangan untung rugi dalam diri karyawan yang berkaitan dengan keinginan untuk tetap bekerja atau justru meninggalkan organisasi. Komitmen kontinuans sejalan dengan pendapat Becker yaitu bahwa komitmen kontinuans adalah kesadaran akan ketidakmungkinan memilih identitas sosial lain ataupun alternatif tingkah laku lain karena adanya ancaman akan kerugian besar. Karyawan yang terutama bekerja berdasarkan komitmen kontinuans ini bertahan dalam organisasi karena mereka butuh (need to) melakukan hal
tersebut karena tidak adanya pilihan lain (Allen dan Meyer, 1990).
Menurut Morgan (1988) dalam Ahmad, et al (2010) komitmen kontinuans merupakan persepsi seseorang terhadap kerugian yang akan dialaminya apabila meninggalkan organisasi. Komitmen kontinuans berdasarkan pada persepsi karyawan tentang kerugian yang akan dihadapinya jika ia meninggalkan organisasi. Komitmen ini pada saat awal dikembangkan dianggap sebagai aktifitas yang dianggap konsisten. Ketika individu tak melanjutkan lagi aktifitasnya pada suatu organisasi, maka akan timbul di hatinya suatu perasaan kehilangan. Oleh sebab itu selanjutnya komitmen ini disebut juga dengan exchanged oriented commitment atau komitmen yang berorientasi pada pertukaran atau biasa juga disebut komitmen komulatif (Dewayani, 2007).
3)   Komitmen Normatif (Normative Commitment)
Komitmen normatif berkaitan dengan perasaan wajib untuk tetap bekerja dalam organisasi. Ini berarti, karyawan yang memiliki komitmen normatif yang tinggi merasa bahwa mereka wajib (ought to) bertahan dalam organisasi (Allen dan Meyer, 1990). Wiener (dalam Allen dan Meyer, 1990) mendefinisikan komponen komitmen ini sebagai tekanan normatif yang terinternalisasi secara keseluruhan untuk bertingkah laku tertentu sehingga memenuhi tujuan dan minat organisasi.
Menurut Morgan (1988) dalam Ahmad, et al (2010) komitmen normatif adalah perilaku yang ditunjukkan karyawan atas pertimbanan moral dan apa yang benar untuk dilakukan. Chang, Tsai dan Tsai (2011), menyatakan bahwa komitmen normatif mengacu kepada perasaan pekerja bahwa mereka berkewajiban untuk tetap tinggal dalam organisasi. Sedangkan Dewayani (2007) mengatakan bahwa komitmen normatif ini juga disebut sebagai komitmen moral, merefleksikan persepsi individu terhadap norma, perilaku yang dapat diterima, yang timbul sebagai akibat perlakuan organisasi terhadap karyawan. Misalnya dengan gaji yang mereka terima serta pelatihan-pelatihan yang mereka ikuti. Perasaan wajib ini terus tumbuh sampai mereka merasa impas dan tidak mempunyai kewajiban lagi.
 Meyer dan Allen (1991) dalam Yonel (2007) berpendapat bahwa setiap komponen memiliki dasar yang berbeda. Karyawan dengan komponen afektif tinggi, masih bergabung dengan organisasi karena keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi. Sementara itu karyawan dengan komponen continuance tinggi, tetap bergabung dengan organisasi tersebut karena mereka membutuhkan organisasi. Karyawan yang memiliki komponen normatif yang tinggi, tetap menjadi anggota organisasi karena mereka harus melakukannya.

Pengertian Komitmen Organisasi (skripsi dan tesis)



Robbins dan Judge (2007) mendefinisikan komitmen sebagai suatu keadaan dimana seorang individu memihak organisasi serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keangotaannya dalam organisasi. Mathis dan Jackson (dalam Sopiah, 2008: 155) mendefinisikan komitmen orgnisasional sebagai derajad dimana karyawan percaya dan mau menerima tujuan-tujuan organisasi dan akan tetap tinggal atau tidak akan meninggalkan organisasinya.
Salancik (1977) dalam Tsai, et al (2011) menganggap bahwa komitmen organisasi adalah prilaku dari seorang individu dalam ketergantungannnya pada organisasi. Mowday, et al (1982) dalam Anggi (2008) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kekuatan relatif identifikasi individu dengan dan keterlibatan khusunya dalam organisasi, melibatkan kepercayaan dan penerimaan dari sebuah tujuan organisasi dan nilai-nilai, kemauan untuk mengerahkan usaha yang cukup atas nama organisasi, dan keinginan kuat untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi.
Porter dan Smith (Temaluru, 2001) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai sifat hubungan antara pekerja dan organisasi yang dapat dilihat dari keinginan kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi tersebut, kesediaan untuk menjadi sebaik mungkin demi kepentingan organisasi tersebut dan kepercayaan dan penerimaan yang kuat terhadap nilai – nilai dan tujuan organisasi.

Aspek Konsep Diri (skripsi dan tesis)



Fitts (Agustiani,2006) mengemukakan bahwa aspek-aspek konsep diri, yaitu:
a.         Diri fisik (physical self). Aspek ini menggambarkan bagaimana individu memandang kondisi kesehatannya, badannya, dan penampilan fisiknya.
b.        Diri moral-etik (moral-ethical self). Aspek ini menggambarkan bagaimana individu memandang nilai- nilai moral-etik yang dimilikinya. Meliputi sifat–sifat baik atau sifat-sifat jelek yang dimiliki dan penilaian dalam hubungannya dengan Tuhan.
c.         Diri pribadi (personal self). Aspek ini menggambarkan perasaan mampu sebagai seorang pribadi, dan evaluasi terhadap kepribadiannya atau hubungan pribadinya dengan orang lain.
d.        Diri sosial (sosial self). Aspek ini mencerminkan sejauhmana perasaan mampu dan berharga dalam lingkup interaksi sosial dengan orang lain.
e.         Diri keluarga (family self). Aspek ini mencerminkan perasaan berarti dan berharga dalam kapasitasnya sebagai anggota keluarga.

Pengertian Konsep Diri (skripsi dan tesis)



Konsep diri adalah cara individu memandang dirinya secara utuh, baik fisikal, emosional intelektual, sosial dan spiritual. Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 2008). Individu dengan konsep diri positif dapat berfungsi lebih efektif yang terlihat dari kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan. Konsep diri yang negatif dapat dilihat dari hubungan sosial yang maladaptif (Keliat, 2002). Burns (2003) mendefinisikan konsep diri sebagai perasaan, pandangan, dan penilaian individu mengenai dirinya yang didapat dari hasil interaksi dengan lingkungan sekitarnya.
Menurut Hurlock (2009) konsep diri adalah pandangan individu mengenai dirinya. Konsep diri terdiri dari dua komponen, yaitu konsep diri sebenarnya (real self) yang merupakan gambaran mengenai diri, dan konsep diri ideal (ideal self) yang merupakan gambaran individu mengenai kepribadian yang diinginkan. Agustiani (2009) mengungkapkan bahwa konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan. Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan, melainkan berkembang dengan pengalaman yang terus menerus dan terdiferensiasi. Dasar dari konsep diri individu ditanamkan pada saat-saat dini kehidupan anak dan menjadi dasar yang mempengaruhi tingkah lakunya dikemudian hari.
Sedangkan menurut Fitts (Tarakanita, 2001) konsep diri adalah bagaimana diri diamati, dipersepsikan, dan dialami oleh orang tersebut, karena makna konsep diri ini mengandung unsur penilaian dan mempengaruhi perilaku seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain. Baron dan Byrne (2003) mengungkapkan bahwa konsep diri adalah kumpulan keyakinan dan persepsi diri terhadap diri sendiri yang terorganisir.

Aspek Pada Efikasi Diri (skripsi dan tesis)



Bandura (1997) menyebutkan tiga aspek efikasi diri, diantaranya adalah:
a.    Level (tingkatan)
Tingkat dari kesulitan tugas yang diyakini seseorang bahwa tugas yang sulit itu akan dapat diselesaikan dengan berhasil (Greenberg dan Baron, 2003). Konsep ini berkaitan dengan pencapaian tujuan. Beberapa individu berfikir bahwa mereka dapat menyelesaikan tugas yang sulit. Tingkat dari suatu tugas dapat dinilai dari tingkat kecerdikan, adanya usaha, ketelitian, produktivitas, cara menghadapi ancaman dan pengaturan diri yang dikehendaki. Pengaturan diri tidak hanya dilihat dari apakah seseorang dapat melakukan suatu pekerjaan pada saat tertentu namun apakah seseorang dapat memiliki efikasi diri pada setiap saat untuk menghadapi situasi bahkan ketika individu diharapkan untuk pasif.
b.    Strength (kekuatan)
Tingkat kepercayaan seseorang apakah dapat melakukan pada masing-masing tingkatan atau komponen tugas. Ada individu yang memiliki kepercayaan kuat bahwa mereka akan berhasil walaupun dalam tugas yang berat, sebaliknya ada juga yang memiliki kepercayaan rendah apakah dapat melakukan tugas tersebut. Individu dengan efikasi diri yang rendah mudah menyerah apabila mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan, sementara individu dengan yang memiliki keyakinan kuat terhadap kemampuannya akan tekun berusaha menghadapi kesulitan dan rintangan. Individu yang memiliki keyakinan kuat terhadap kemampuannya menganggap tugas yang sulit sebagai tantangan yang harus dihadapi daripada sebagai ancaman atau sesuatu yang harus dihindari (Bandura, 1997).
c.    Generality (Generalitas)
Tingkatan harapan seseorang yang digeneralisasikan pada banyak situasi atau hanya terbatas pada tugas tertentu. Aspek ini menunjukkan apakah individu mampu memiliki efikasi diri pada banyak situasi atau pada situasi-situasi tertentu. Generalitas dapat dinilai dari tingkatan aktivitas yang sama, cara-cara dalam melakukan sesuatu dimana kemampuan dapat diekspresikan melalui proses kognitif, afektif dan konatif, jenis situasi yang dihadapi dan karakteristik individu dalam berperilaku sesuai tujuan.

Pengertian Efikasi Diri (skripsi dan tesis)



Self efikasi menurut Bandura adalah tingkat kepercayaan diri akan kemampuan individu untuk melakukan tugas tertentu. Ini berkaitan dengan situasi yang dihada-pi oleh individu dan tempat sebagai bagian dari proses belajar kognitif (1994). Defenisi lain yang lebih spesifik dikemukakan oleh Jones, dkk (2008:390), efikasi diri adalah keyakinan seseorang tentang kemampuannya untuk melaksanakan suatu tingkah laku dengan berhasil.
Efikasi diri merupakan satu kesatuan arti yang diterjemahkan dari Bahasa Inggris, self efficacy. Konstruk tentang self efficacy diperkenalkan pertama kali oleh Bandura yang menyajikan satu aspek pokok dari teori kognitif sosial. Efficacy didefenisikan sebagai kapasitas untuk mendapatkan hasil atau pengaruh yang diinginkannya, dan self sebagai orang yang dirujuk (Wallatey, 2001:2). Defenisi ini merujuk pada orang yang mempunyai kapasitas yang digunakan untuk mendapatkan hasil atau pengaruh yang diinginkannya.
Menurut Liden dkk (2000) mengenai hasil riset pada efikasi diri yang menunjukkan bahwa individu yang memiliki kepercayaan diri bahwa ia mampu melakukan pekerjaan dengan sukses akan merasa lebih bahagia dengan pekerjaannya dibandingkan dengan individu yang takut bahwa kemungkinan mereka gagal. Ketakutan akan kegagalan membuat individu mengalami perasaan ketidakberdayaan dan selanjutnya individu akan merasa kurang puas dengan pekerjaannya dibandingkan dengan individu yang percaya diri bahwa dirinya kompeten.