Showing posts with label Judul Geografi. Show all posts
Showing posts with label Judul Geografi. Show all posts

Thursday, July 12, 2018

Tata ruang (skripsi dan tesis)



Tata ruang menurut Eko Budiharjo (1995: 21) adalah wujud struktural  dan pola pemanfaatan ruang, baik yang direncanakan. Wujud struktural pemanfaatan ruang adalah susunan unsur-unsur pembentuk rona lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingkungan buatan yang secara hierarkis dan struktural berhubungan satu dengan yang lainnya membentuk tata ruang. Wujud pemanfaatan ruang diantaranya meliputi pola lokasi, sebaran permukiman, tempat kerja, industri, serta pola penggunaan tanah pedesaan dan perkotaan.
Perencanaan tata ruang wilayah menurut Robinson Tarigan (2005: 58) adalah suatu proses yang melibatkan banyak pihak dengan tujuan agar penggunaan ruang itu memberikan kemakmuran yang sebesar-besarnya kepada masyarakat dan terjaminnya kehidupan yang berkesinambungan. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010, Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penataan ruang menyangkut seluruh aspek kehidupan sehingga masyarakat perlu mendapat akses dalam proses perencanaan tersebut. Penataan ruang wilayah dilakukan pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten.
Tujuan penataan ruang menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010, sebagai berikut: 1) mewujudkan ketertiban dalam penyelenggaraan penataan ruang; 2) memberikan kepastian hukum bagi seluruh pemangku kepentingan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab serta hak dan kewajibannya dalam penyelenggaraan penataan ruang; dan 3) mewujudkan keadilan bagi seluruh pemangku kepentingan dalam seluruh aspek penyelenggaraan penataan ruang. Tujuan penataan ruang adalah menciptakan hubungan yang serasi antara berbagai kegiatan di berbagai subwilayah agar tercipta hubungan yang harmonis dan serasi. Dengan demikian, akan  mempercepat proses tercapainya  kemakmuran dan terjaminnya kelestarian lingkungan hidup. Tata ruang membutuhkan pengendalian dengan kebijakan dan strategi agar menuju sasaran yang diinginkan (Robinson Tarigan, 2005: 59)
Peran tata ruang dalam mitigasi bencana dapat membantu perencanaan fisik sebagai upaya meminimalkan akibat negatif dari bencana yang terjadi. Coburn (1994: 37) berpendapat bahwa banyak terdapat bahaya yang bersifat lokal dengan kemungkinan pengaruhnya yang terbatas pada daerah-daerah tertentu yang sudah diketahui. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat dikurangi jika memungkinkan untuk menghindarkan penggunaan daerah-daerah bahaya untuk tempat-tempat hunian atau sebagai lokasi-lokasi struktur-struktur yang penting. Perencanaan perkotaan perlu memadukan kesadaran akan bahaya-bahaya alam dan mitigasi risiko bencana ke dalam proses-proses normal dari perencanaan pembangunan dari satu kota.

Mitigasi Bencana Gunungapi (skripsi dan tesis)



Tujuan mitigasi bencana gunungapi menurut Oman Abdurahman (2011: 32), yaitu untuk meminimalisir atau meniadakan jatuhnya korban akibat letusan gunungapi. Kegiatan utama mitigasi bencana gunungapi adalah melakukan evaluasi bahaya gunungapi. pemantauan dan peningkatan kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bahaya gunungapi. Evaluasi bahaya menghasilkan Peta Daerah Bahaya Gunungapi atau Peta Rawan Bahaya (KRB) Gunungapi. Peta ini menggambarkan kawasan yang berpotensi terkena dampak letusan. Peta tersebut berguna sebagai acuan bagi pemerintah daerah dalam menata tataruang wilayah dan menyiapkan evakuasi pada saat masa kritis.  
Upaya mitigasi juga dilakukan melalui identifikasi jenis bahaya dan karakternya. Bahaya gunungapi mempunyai karakter yang tidak dapat diubah. Dengan memahami jenis bahaya dan karakternya, maka dapat dilakukan antisipasi bahayanya. Pemberdayaan masyarakat menjadi sangat vital, terutama pada masyarakat yang belum pernah mengalami peristiwa letusan gunungapi. Pemberdayaan masyarakat ini dilakukan melalui peningkatan kapasitas untuk mengurangi kerentanan dengan membutuhkan kesadaran dan meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi bahaya letusan gunungapi menjadi hal yang sangat penting dalam mitigasi bencana.
Pergerakan magma yang mengawali suatu letusan dapat dideteksi oleh peralatan pemantauan. Salah satu unsur dalam kesiapsiagaan, pemantauan gunungapi dilakukan untuk memberikan peringatan dini letusan gunungapi kepada masyarakat. Pemberian peringatan dini dilakukan secara bertahap, karena letusan memperlihatkan gejala awal (precursor) atau tanda-tanda sebelum kejadian. Semakin dekat dengan letusan, maka semakin jelas tanda-tandanya. Tingkatan aktivitas gunungapi secara bertahap dimulai dari Normal, Waspada, Siaga, dan Awas. 




 
  Tabel 4. Penetapan Status Bahaya Gunung Meletus
1
Aktif Normal (level I)
Kegiatan gunungapi berdasarkan pengamatan dan hasil visual, kegempaan, dan gejala vulkanik lainnya tidak memperlihatkan adanya kelainan.
2
Waspada (level II)
Terjadi peningkatan kegiatan berupa kelainan tampak secara visual atau hasil pemeriksaan kawah, kegempaan dan gejala vulkanik lainnya.
3
Siaga (level III)
Peningkatan semakin nyata hasil pengamatan visual/pemeriksaan kawah, kegempaan dan metoda lain saling mendukung. Berdasarkan analisis perubahan kegiatan cenderung diikuti letusan.
4
Awas (level IV)
Menjelang letusan utama, letusan awal mulai terjadi berupa abu/asap. Berdasarkan analisis data pengamatan, segera akan diikuti letusan pertama.
Sumber: Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (2008)


Prinsip penanggulangan bencana (skripsi dan tesis)



Meliza Rafdiana (2011: 22 - 24) mengatakan bahwa besar kecilnya dampak dalam sebuah bencana diukur dari korban jiwa, kerusakan, atau biaya-biaya kerugian yang ditimbulkan. Dampak sebuah bencana dapat diprediksi dengan mengidentifikasi:
a)  Bahaya (Hazard) = H
Bahaya merupakanfenomena atau  situasi yang memiliki potensi untuk menyebabkan gangguan atau kerusakan terhadap orang, harta benda, fasilitas, maupun lingkungan. Bahaya merupakan potensi penyebab bencana.
b)  Kerentanan (vulnerability) = V
Kerentanan  merupakan suatu kondisi yang menurunkan kemampuan seseorang atau komunitas masyarakat untuk menyiapkan diri, bertahan hidup atau merespon potensi bahaya. Kerentanan dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni: kemiskinan, pendidikan, sosial budaya, dan aspek infrastruktur.
c)  Kapasita (Capacity) = C
Kapasitas adalah kekuatan dan sumber daya yang ada pada setiap individu dan lingkungan  yang mampu mencegah, melakukan mitigasi, siap menghadapi, dan pulih dari akibat bencana dengan cepat.
d)  Risiko Bencana (Risk) = R
Risiko bencana merupakan interaksi tingkat kerentanan dengan bahaya yang ada. Ancaman bahaya alam bersifat tetap karena merupakan bagian dari dinamika proses alami, sedangkan tingkat kerentanan dapat dikurangi sehingga kemampuan menghadapi bencana semakin meningkat.
Prinsip atau konsep yang digunakan dalam penilaian risiko bencana adalah:
Keterangan:
R: Risiko (Risk)
H: Bahaya (Hazard)
V: Kerentanan (Vulnerability)
C: Kapasitas (Capacity)





Mitigasi Bencana (skripsi dan tesis)



Mitigasi (mitigation) merupakan tindakan struktural dan non struktural yang diambil untuk menghadapi dampak merugikan dari potensi bahaya alam, kerusakan lingkungan, dan behaya teknologi (Strategi Internasional PBB dalam Neeraj Prasad, dkk. 2010: 23). Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (UU RI No. 24 Tahun 2007). Berikut ini adalah tahapan penting dalam mitigasi bencana, yaitu:
a)  Kesiapsiagaan (preparedness) terdapat dua bagian penting yaitu danya perencanaan yang matang dan persiapan yang memadai sehubungan dengan tingkat risiko bencana.
b)  Respon (response) merupakan tindakan tanggap bencana yang meliputi dua unsur terpenting, yaitu tindakan penyelamatan dan pertolongan. Pertama-tama tindakan tersebut ditujukan untuk menyelamatkan dan menolong jiwa manusia baik secara personal, kelompok maupun masyarakat secara keseluruhan. Kedua, ditujukan untuk menyelamatkan harta benda yang berhubungan dengan keberlangsungan hidup personal, kelompok maupun masyarakat selanjutnya.
c)  Pemulihan (recovery) merupakan tahap atau langkah pemulihan sehubungan dengan kerusakan atau akibat yang ditimbulkan oleh bencana. Dalam tahap ini terdapat terdapat dua bagian, yaitu pemulihan dan pengawasan yang ditujukan untuk memulihkan keadaan ke kondisi semula atau setidaknya menyesuaikan kondisi pascabencana, guna keberlangsungan hidup selanjutnya.


 













Bencana Gunung Meletus (skripsi dan tesis)



Penyebab terjadinya bencana gunung meletus menurut Coburn (1994: 22) yaitu keluarnya magma dari kedalaman bumi, terkait dengan penutupan arus-arus konveksi. Gunung meletus juga bisa terjadi akibat proses-proses tektonis dari gerakan yang lambat dari daratan dan pembentukan lempengan. Meliza Rafdiana (2011: 9) mengemukakan bahwa bencana gunung meletus merupakan peristiwa yang terjadi akibat endapan magma di dalam perut bumi yang didorong keluar oleh gas yang bertekanan tinggi. Magma adalah cairan pijar yang terdapat di dalam lapisan bumi dengan suhu yang sangat tinggi, yakni diperkirakan lebih dari seribu derajat celcius. Cairan magma yang keluar dari dalam bumi disebut lava. Suhu lava yang dikeluarkan bisa mencapai 700- 1.200 derajat celcius. Letusan gunungapi yang membawa batu dan abu dapat menyembur sampai 18 Km atau lebih, sedangkan lavanya bisa membanjiri sampai sejauh 90 Km.
Gunungapi yang sering meletus disebut gunungapi aktif. Gunungapi yang akan meletus dapat diketahui melalui beberapa tanda, antara lain: suhu di sekitar gunung naik, mata air menjadi kering, sering mengeluarkan suara gemuruh disertai getaran (gempa), tumbuhan disekitar gunung layu, dan binatang di sekitar gunung bermigrasi. 
Bahaya yang ditimbulkan dari letusan gunungapi dibagi menjadi dua jenis. Bahaya yang pertama adalah bahaya primer: berupa guguran lava pijar, awan panas, jatuhan bahan letusan, sebaran abu,  dan gas beracun. Bahaya selanjutnya adalah bahaya sekunder yang berupa aliran lahar (Muzil Azwar, 1998: 82-84). Lahar merupakan istilah bahasa jawa yang pertama kali diperkenalkan oleh Schrivenor tahun 1929. Lahar berarti aliran air yang membawa bongkah-bongkah batu dan material sedimen lainnya (pasir) menuruni lereng gunungapi dengan kecepatan tinggi, sebagai aliran pekat (Sudibyakto, 2011: 14). Besar kecilnya lahar hujan ditentukan oleh volume air hujan yang turun di atas endapan abu gunungapi (Djauhari Noor, 2005: 124)
Elemen-elemen yang berisiko terkena letusan gunungapi adalah semua yang berada dekat dengan gunungapi tersebut. Elemen-elemen itu antara lain: atap-atap rumah atau bangunan-bangunan yang mudah terbakar, persediaan air yang rentan terkena jatuhan debu, bangunan-bangunan yang lemah dapat runtuh terkena tekanan-tekanan abu, tanaman pangan dan ternak menjadi risiko (Coburn, 1994: 22).

Jenis Bencana (skripsi dan tesis)



Meliza Rafdiana (2011: 6) menjelaskan jenis-jenis bencana yaitu:
a)    Bencana alam
Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. 
b)    Bencana non - alam
Bencana yang disebabkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
c)    Bencana sosial
Bencana yang disebabkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.
Menurut Arie Priambodo (2009: 23), dalam menghadapi bencana, dibutuhkan perhitungan skala bencana, tingkat bahaya, serta risiko yang dapat ditimbulkan. Berikut rincian tabel skala bencana:
Tabel 3. Skala Bencana
Skala
Tingkat bahaya
Manusia
Bangunan
A
Ringan
Cedera
Rusak ringan
B
Menengah
Luka parah
Rusak sedang
C
Berat
Cacat permanen
Rusak parah
D
Dahsyat
Meninggal dunia
Hancur




Sumber: Arie Priambodo (2009: 23)

Pengertian Bencana (skripsi dan tesis)



Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 mendefinisikan bencana adalah peristiwa atau serangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Menurut Rautela dalam Bevaola Kusumasari (2014: 6), bencana merupakan kejadian yang tidak dapat diprediksikan dan terjadi secara tiba-tiba yang menyebabkan kerusakan dan kehancuran yang besar serta penderitaan bagi umat manusia.

Zonasi (skripsi dan tesis)



Zonasi secara bahasa adalah pembagian atau pemecahan suatu areal menjadi beberapa bagian, sesuai dengan fungsi dan tujuan pengelolaan. Zonasi merupakan langkah dasar dari perencanaan tata ruang. Robinson tarigan (2005: 49) menjelaskan bahwa perencanaan tata ruang wilayah pada dasarnya adalah menetapkan bagian-bagian wilayah (zona) yang dengan tegas diatur penggunaannya (jelas peruntukannya) dan ada bagian-bagian yang kurang/tidak diatur penggunaannya. Dalam pembuatan zonasi harus ada pembagian atau pengelompokan kesatuan wilayah yang mempunyai kriteria tertentu dengan tujuan untuk membedakan dengan kesatuan yang lain. Dalam perencanaan tata ruang wilayah, pembuatan zonasi sangat penting untuk memperjelas perencanaan pemanfaatan penggunaan lahan pada ruang tersebut.
Zonasi yang dilakukan pada penelitian ini didasarkan pada tingkat bahaya erupsi Merapi. Tingkat bahaya erupsi dibagi menjadi tiga zona bahaya. Zonasi daerah bahaya gunungapi menurut Suprapto Dibyosaputro (2001: 10) yaitu:
1.    Daerah Terlarang (Forbidden Zone)
Daerah terlarang adalah daerah di sekitar gunungapi yang letaknya terdekat dengan sumber bahaya (titik letusan), sehingga secara langsung daerah ini terkena aliran panas piroklastik (awan panas), jatuhan tefra berukuran bongkahan, bom, lapili, pasir kasar, dan aliran lava pijar sangat besar. Daerah terlarang harus dikosongkan secara tetap. Bentuk daerah terlarang seperti corong menghadap ke beratdaya – selatan dengan ujung utara dan timur merupakan sebuah sektor lingkaran agak bulat dengan jari-jari 3-4 km.
2.    Daerah Bahaya Pertama (First Danger Zone)
Daerah bahaya pertama adalah daerah yayng dianggap berbahaya berdasarkan pengalaman letusan yang lampau. Daerah tersebut tidak terkena awan panas tetapi dapat tertimpa piroklastik jatuhan, bom yang masih membara, dan piroklastik lainnya. Bentuk sebarannya hampir mengikuti daerah terlarang yang diperluas. Pemanfaatan daerah untuk permukiman tidak diperbolehkan.
3.    Daerah Bahaya Kedua (Second Danger Zone)  
Daerah bahaya kedua adalah daerah yang letaknya disepanjang dan berdekatan dengan sungai yang berhulu di puncak gunungapi, secara topografi mempunyai elevasi rendah, sehingga pada musim hujan dapat terlandaaliran lahar. Daerah tersebut dibagi lagi kedalam daerah siap siaga dan daerah yang dikosongkan. Daerah siap siaga merupakan daerah yang secara topografi lebih tinggi, seperti bukit yang digunakan oleh penduduk menyelamatkan diri apabila alahar datang. Daeerah yang dikosongkan merupakan daerah yang sedemikian rupa, sehingga pada waktu terjadi banjir lahar, penduduk tidak sempat menyelamatkan diri.
Penelitian ini merupakan pemetaan daerah rawan bencana akibat erupsi Gunung Merapi. Peta kerawanan bencana dibuat dengan cara zonasi. Zonasi dibuat untuk mmengetahui zona rawab akibat erupsi Gunung Merapi di Kabupaten Magelang. Hasil zonasi kemudian dijadikan sebagai arahan untuk penataan ruang Kabupaten Magelang yang berbasis mitigasi bencana.   

Geomorfologi (skripsi dan tesis)



Heru pramono dan Arif Ashari (2014: 3) mengemukakan bahwa geomorfologi adalah Ilmu tentang berbagai bentuklahan di permukaan bumi di atas maupun di bawah permukaan permukaan laut dengan pendekatan studinya pada asal, sifat, proses, perkembangan, susunan material, dan kaitannya dengan lingkungan.
Menurut Verstappen (1983: 3) pada dasarnya terdapat empat aspek besar dalam geomorfologi yaitu geomorfologi statik, geomorfologi dinamik, geomorfologi genetik dan geomorfologi lingkungan.
1.    Studi bentuk lahan (geomorfologi statik) yaitu berupa studi kualitatif dan atau kualitatif (morfometri) tentang relief permukaan bumi yang meliputi unsur-unsur seperti: bentuk lereng, amplitude relief, tingkat pengikisan dan lain sebagainya.
2.    Studi proses (geomorfologi dinamik) yaitu mempelajari perubahan-perubahan bentuklahan dalam waktu yang singkat. Geomorfologi modern mempelajari proses-proses yang aktif baik secara kualitatif maupun kuantitatif dan juga mencoba memahami proses-proses pada masa lampau dengan memperhatikan adanya perubahan iklim.
3.    Studi cara terbentuk (geomorfologi genetik) yaitu mempelajari tentang cara terbentuknya bentuklahan dan perkembangannya dalam waktu yang lama serta dalam hubungannya dengan waktu yang akan datang.
4.    Studi lingkungan (geomorfologi lingkungan). Lingkungan adalah suatu konsep antardisiplin ilmu yang sangat mempengaruhi geomorfologi akhir-akhir ini. Hubungan bentuklahan dan proses-prosesnya dengan unsur-unsur bentanglahan yang lain (misalnya tanah, air tanah, air permukaan, serta vegetasi) melalui hubungan ekologis termasuk didalamnya manusia sebagai suatu agen, telah menjadi bidang studi baru.
Heru Pramono dan Arif Ashari (2014 :14) mengemukakan manfaat studi geomorfologi untuk penelitian bagi pembangunan yaitu  penting diperhatikan bahwa setiap proses geomorfologis meninggalkan jejak karakteristik pada bentuklahan, sehingga memungkinkan untuk menelusuri proses apa yang telah menyebabkannya. Dalam banyak kejadian, manusia melalui berbagai kegiatannya secara tidak langsung atau tidak sengaja telah mengubah dan sering merusak lahan secara berulang-ulang. Relief mempunyai peranan penting dalam menentukan posisi saluran irigasi dan pola penggunaan lahan di daerah irigasi. Relief juga memainkan peranan penting dalam manentukan rute jalan raya yang akan dibangun. Dalam pembangunan jembatan maka tiang penopangnya harus diletakkan pada posisi yang tepat sesuai dengan kondisi geomorfologi yang ada. Pemanfaatan studi geomorfologi yang lain adalah dalam pembangunan permukiman penduduk dan tempat-tempat industri, serta pembangunan kawasan pantai.  
Kajian geomorfologi dapat memberikan informasi mengenai karakteristik relief, material tanah/batuan, dan proses geomorfik, dan memperkirakan proses geomorfik yang akan datang (Sutikno, 1999: 3). Penyusunan peta satuan medan yang unsur pembentuknya adalah: satuan bentuklahan, relief/topografi dan penggunaan lahan. Peta ini digunakan untuk mengidentifikasi daerah yang kemungkinan akan terkena bencana dan dapat digunakan sebagai penentuan faktor penyebab bencana alam. Peta ini dapat digunakan untuk menentukan tindakan pencegahan, penentuan daerah yang aman dari bahaya yang digunakan sebagai tempat untuk pengungsian, serta digunakan sebagai rekomendasi untuk rehabilitasi dan kontruksi terutama dalam pemilihan lokasi yang lebih aman dan material bahan bangunan (Sutikno, 1999: 6).
1.    Satuan Medan
Medan menurut Van Zuidam dan Cancelado, (1979: 3-4) adalah suatu bidang lahan yang berhubungan dengan sifat-sifat fisik permukaan dan dekat permukaan yang kompleks dan penting bagi manusia. Medan meliputi unsur fisikal dimana termasuk diantaranya adalah iklim, relief, proses geomorfologi, batuan dan strukturnya, tanah, hidrologi, dan vegetasi. Dasar untuk mempelajari medan adalah analisis dan klasifikasi bentuklahan, sehingga analisis dan klasifikasi medan akan selalu terkait dengan geomorfologi.
Satuan medan adalah kelas medan yang menunjukkan suatu bentuklahan atau kompleks bentuklahan yang sejenis dalam hubungannya dengan karakteristik medan dan komponen-komponen medan yang utama. Satuan medan juga dapat diartikan sebagai satuan ekologis yang dapat berupa bentuklahan, proses, batuan, tanah, air, dan vegetasi yang masing-masing saling mempengaruhi untuk membentuk suatu keseimbangan alamiah.