Thursday, March 30, 2023

Dimensi Modal Psikologis

Definisi modal psikologis yang dibuat oleh Luthans et al. (2007b) menjelaskan karakteristik perkembangan secara positif dari kondisi psikologis seseorang. Karakteristik tersebut merupakan penjabaran secara singkat dari dimensi yang digunakan dalam pengukuran modal psikologis, yaitu kepercayaan diri (efikasi diri), optimisme, harapan, dan resiliensi. Sedangkan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hobbfol (2002), dimensi kepercayaan diri, harapan, optimisme, dan karakteristik seseorang dalam mengejar tujuan digunakan untuk mengukur modal psikologis seseorang. Sementara itu, Khatri (2017) memberikan dimensi lain dalam mengukur modal psikologis, yaitu kepercayaan diri atau efikasi diri atau kepercayaan diri, harapan, optimisme, kesejahteraan subjektif, kecerdasan emosional, dan resiliensi. Kesimpulnnya, modal psikologis dapat diukur dengan empat dimensi yaitu efikasi diri, harapan, optimisme, dan resiliensi (Hobbfol, 2002; Luthans et,.al, 2007b; Khatri, 2017)
 Efikasi diri menurut Bandura (1997) adalah penilaian seseorang mengenai kemampuannya dalam mengatur dan menjalankan tindakan untuk mencapai  tujuannya serta mengukur level tingkatan, keumuman, dan kekuatan kemampuan tersebut dalam setiap kegiatan dan konteks. Stajkovic dan Luthans (1998) memliki definisi yang serupa, yaitu kepercayaan seseorang mengenai kemampuannya dalam menjalankan motivasi, sumber daya kognitif, dan meakukan tindakan yang diperlukan untuk melakukan tugas dalam suatu konteks tertentu. Selain itu, ada juga pendapat dari Grenee (2018) yang mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan seseorang mengenai kemampuannya untuk berhasil menyelesaikan suatu tugas yang diberikan. Kesimpulannya, efikasi diri merupakan kepercayaan seseorang dalam menajalankan proses untuk mencapai tujuannya. Ketiga pendapat tersebut memperlihatkan efikasi diri mencerminkan kepercayaan seseorang pada dirinya sendiri untuk mengerahkan motivasi diri, menggunakan sumber daya kognitif yang dimiliki, dan melakukan tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Indikator pada dimensi ini diambil dari Stajkovic & Luthans (1998), yaitu mengerahkan motivasi diri, menggunakan sumber daya kognitif yang dimiliki, dan melakukan tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Menurut Luthans et al. (2007b), istilah efikasi digunakan untuk mewakili kepercayaan diri karena dalam beberapa penelitian mengenai psikologis positif, kedua istilah tersebut menjelaskan konteks yang sama. 
Luthans dan Youssef (2004) mengidentifikasi ciri-ciri orang yang memiliki efikasi diri akan (1) memilih tugas yang menantang, (2) memperluas motivasi dan usahanya untuk mencapai tujuan, dan (3) bertahaan saat dihadapkan pada rintangan. 
Optimisme dalam teori modal psikologi didefinisikan sebagai cara pandang seseorang yang mengaitkan peristiwa positif dengan penyebab internal, permanen dan meluas, serta mengaitkan peristiwa negatif dengan penyebab eksternal, sementara, dan spesifik untuk suatu kejadian (Luthans dan Youssef, 2004). Carver, Scheier, dan Segerstrom (2010) memiliki pendapat lain mengenai optimisme, yaitu sikap yang mencerminkan sejauh mana seseorang secara umum memiliki harapan baik bagi masa depannya. Sedangkan Stein dan Book (2011) mendefinisikan optimisme menjadi kemampuan untuk melihat sisi baik dari kehidupan dan mempertahankan sikap positif saat menghadapi kesulitan. Definisi yang dikemukakan oleh ketiga ahli tersebut memiliki persamaan, yaitu melihat   optimisme sebagai cara pandang seseorang terhadap suatu hal secara positif. Kesimpulannya, optimisme dapat didefinisikan sebagai sikap positif yang mencerminkan harapan baik bagi masa depan seseorang dengan mengaitkan peristiwa positif pada faktor internal, permanen, dan universal. Dimensi ini terdiri dari tiga indikator, yaitu personalization, permance, dan pervasive (Seligman dalam Luthans & Youssef, 2004). Luthans et al. (2007b) menyatakan seseorang yang optimis menganggap kejadian baik dalam hidup merupakan hasil dari usahanya. Hal tersebut menyebabkan orang yang optimis akan menganggap mereka memiliki kekuatan dan pengaruh untuk mendapatkan keinginannya, sehingga mereka akan memiliki kemampuan untuk melihat secara positif dan menginternalisasi hal-hal baik dalam hidupnya. Luthans dan Youssef (2004) mendefinisikan harapan sebagai keadaan motivasional yang didasari perencanaan dan tindakan yang dilakukan seseorang untuk mencapai suatu hasil.
 Salah satu definisi harapan yang serupa adalah emosi positif yang muncul meskipun terdapat ketidakpastian hasil (MacInnis & de Mello, 2005). Selain itu, Cetin dan Basim (2011) mendefinisikan harapan sebagai keyakinan dalam menentukan tujuan yang signifikan serta proses dimana individu mengatasi suatu hambatan. Kesimpulan dari ketiga definisi harapan adalaah proses perencanaan dan tindakan yang muncul dari ketidakpastian hasil. Dimensi ini terdiri dari dua dimensi, yaitu agency dan pathways (Snyder, et al., 1991). Luthans et al. (2007b) menyatakan bahwa harapan pada karyawan merupakan sesuatu yang dapat dikembangkan dengan melakukan delapan cara, yaitu: (1) menentukan tujuan yang harus dicapai oleh karyawan, (2) membuat tujuan yang menantang dan sulit namun masih dapat dicapai, (3) memecah tujuan jangka panjang dan sulit menjadi tujuan yang lebih kecil dalam jangka yang lebih pendek, (4) memberikan kesempatan bagi karyawan untuk turut andil dalam pengambilan keputusan, (5) sistem penghargaan yang baik, (6) memberikan dukungan sumber daya bagi karyawan yang kesulitan dalam mencapai tujuan, (7) menyelaraskan bakat dan kekuatan tiap karyawan untuk menciptakan keselarasan strategis, dan (8) memberikan pelatihan kepada karyawan untuk meningkatkan kemampuannya.  
 Resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan untuk bangkit dari kesulitan, ketidakpastian, kegagalan, atau perubahan positif yang sangat besar seperti bertambahnya tanggung jawab (Luthans dan Youssef, 2004). Norris et al. (2008) menjelaskan resiliensi sebagai arah positif yang diambil seseorang setelah melewati gangguan, kesedihan, maupun kesulitan. Sedangkan Hendriks et al. (2019) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan untuk bangkit dari kesulitan dan pengalaman emosional yang negatif serta beradaptasi dengan rintangan. Dimensi ini terdiri dari dua indikator, yaitu asset dan risk-factor (Masten, 2001). Kesimpulan yang dapat diambil mengenai resiliensi adalah kemampuan untuk bertahan dan tetap bersifat positif walaupun mendapatkan masalah atau kesulitan. Pengembangan resiliensi karyawan dapat dilakukan dengan tiga macam strategi, yaitu: (1) fokus pada peningkatan persepsi dan jumlah sebenarnya dari aset perusahaan yang dapat meningkatkan peluang terjadinya hasil positif, (2) fokus pada pencegahan resiko yang dapat menyebabkan hasil negatif, dan (3) melakukan identifikasi, pemilihan, peningkatan, penggunaan, dan pemeliharaan untuk gabungan aset dalam mengelola faktor resiko.

No comments:

Post a Comment