Lahan gambut adalah hasil dekomposisi sisa atau bagian
tanaman baik tumbuhan air (paku, lumut dan ganggang) atau rumput maupun tanaman
keras (tumbuhan tingkat tinggi) (Sitorus, 2003). Lahan gambut terbentuk dimana
tanamantanaman yang tergenang oleh air terurai secara lambat. Gambut yang
terbentuk terdiri dari berbagai bahan organik tanaman yang membusuk dan
terdekomposisi pada berbagai tingkatan. Ciri khas dari suatu lahan gambut
adalah kandungan bahan organiknya yang tinggi (lebih dari 65%). Gambut yang
terbentuk dapat mencapai kedalaman lebih dari 15 meter (PFFSEA, 2003).
Lahan gambut merupakan penyimpan karbon yang sangat penting.
Lahan gambut hanya menutupi 3% dari luas bumi namun mengandung sekitar 75% dari
semua CO2 di atmosfir (Wetlands, 2007). Lahan gambut mempunyai sifat
seperti spon yang berarti mampu menyimpan air tawar dalam jumlah besar,
sehingga mencegah banjir pada musim hujan dan menyediakan air pada musim
kemarau. Hal ini menjadi penting ketika perubahan iklim menghilangkan glasier,
curah hujan berubah dan kekeringan yang tak terduga. Lahan-lahan gambut yang
digenangi air tidak terbakar secara alami, kecuali pada tahun-tahun yang luar
biasa keringnya.
Gambut memiliki daya hantar hidrolik (penyaluran air) secara
horizontal yang cepat sehingga memacu percepatan pencucian unsur-unsur hara ke
saluran drainase. Hal ini menyebabkan gambut miskin unsur hara. Walaupun
tanahnya miskin hara dan sangat sulit digunakan untuk usaha pertanian skala
besar, namun semakin banyak kawasankawasan gambut yang dimanfaatkan untuk
perkebunan dan perindustrian. Di kawasan dimana
lahan gambut ingin dimanfaatkan dibangun kanal-kanal yang bertujuan untuk
mengeringkan gambut tersebut sehingga lahan dapat disiapkan untuk usaha-usaha
pertanian. Cara ini sangat bermasalah karena mengakibatkan turunnya permukaan
air tanah dan menghilangkan air di permukaan tanah. Irigasi atau pengairan di
lahan-lahan pertanian sekitarnya juga dapat menyebabkan turunnya permukaan air
tanah.
Setelah kering, maka gambut akan kehilangan sifat-sifat
alaminya yang seperti spon sehingga gambut tidak dapat mengatur keluar masuknya
air. Lahan-lahan gambut yang kering secara tidak alami sangat mudah menjadi
kering. Kebakaran, baik yang disengaja maupun tidak, akan diikuti dengan
kerusakaan dan kerugian yang proporsional terhadap kegiatan manusia dan tingkat
gangguan yang terjadi.` Drainase dan kebakaran digabungkan dengan perubahan
iklim mengkonversi lebih banyak gambut menjadi sumber karbon dibandingkan
sebagai penyimpan (Holden, 2005)
Akasia dapat tumbuh pada lahan gambut di Provinsi Riau
meskipun bukan habitat aslinya.
Hasil penelitian Ratna (2008) menunjukkan bahwa A. crassicarpa sebagai tanaman
ungglan HTI di hutan rawa gambut memiliki potensi rosot karbon yang tinggi. A. crassicarpa
yang berumur 4 tahun mampu menyimpan karbon sebesar 52.82 ton/ha, sedangkan
yang berumur 2 tahun menyimpan karbon sebesar 21.93 ton/ha. Besarnya rosot karbon pada A.
crassicarpa tersebut apabila dikonversi kepada tingkat penyerapan CO2 maka
tanaman yang berumur 4 tahun mampu mengikat CO2 sebesar 158,33 ton/ha sedangkan
tanaman 2 tahun sebesar 111,94 ton/ha Kondisi ini menunjukkan bahwa A.
crassicarpa dapat menurunkan gas CO2 di atmosfer dalam proses fotosintesisnya
yang mengakibatkan penurunan gas rumah kaca sehingga efek kenaikan suhu bumi
dan perubahan iklim dapat dikurangi. Pengelolaan HTI perlu
diarahkan untuk mencapai profitabilitas yang tinggi dan pemenuhan fungsi rosot
karbon dengan cara perdagangan karbon yang perlu ditangkap oleh pemerintah dan
swasta dalam mengembangkan HTI.